Bab 19

1.3K 109 10
                                    

"Gue minta maaf."

Raksa pulang kerumahnya dengan senyum mengembang, dirinya baru saja berkencan dengan Arana. Ini memang bukan yang pertama, namun hal ini menjadi favorit untuknya. Bertemu dengan gadis berambut pendek itu ada dalam daftar kegiatan yang selalu ingin dilakukan olehnya. 

"Bunda, Aksa pulang," ucapnya sembari memasuki rumahnya dengan langkah dan senyum lebar. Tak ada sahutan dari dalam membuat pemuda itu menduga-duga dimana sang bunda berada. Hingga akhirnya, sosok itu menemukan sang bunda di kamar milik Rangga adiknya.

"Bun? Rangga sakit?" pertanyaan itu keluar dari mulutnya saat melihat Rangga yang tengah tertidur dengan wajah yang sedikit pucat dan juga bundanya yang menangis. Sang bunda tersenyum dan menoleh ke arah Raksa lalu menuntun tangan anak dulungnya untuk memasuki kamar Raksa.

"Rangga bilang dia cuman pusing sayang," ucap Sang bunda pelan. Lalu manik mata milik bunda menatap manik mata Raksa yang juga menatap ke arahnya. Kejadian tadi kembali terlintas dalam benaknya, karena sosok di depannya  ini sangat mirip dengan Reksa.

"Bunda gak tau gimana ayah kamu ngajarin Reksa, tapi bunda benci dia Reksa. Bunda bahkan gak pernah mukul kamu ataupun Rangga, tapi bisa-bisanya dia nyakitin putra bunda," ucap sang bunda menahan amarah.

"Maksud bunda?" tanya Raksa tak mengerti.

"Rangga tadi sempat di pukul Reksa," jawab Rista.

Tangan Raksa kemudian terkepal, tatapannya berubah menjadi tajam. Dirinya pernah berjanji akan menghancurkan siapapun yang berani menyentuh keluarganya, dan sosok Reksa kini berani menyentuh adiknya. Raksa menatap ke arah sang bunda lalu menuntun sang bunda untuk beristirahat di kamar nya. Sang bunda hanya mengangguk, lalu tanpa ijin Raksa kembali meninggalkan rumah besar miliknya. Tangannya mengetikkan sesuatu pada seseorang, dan ketika pesannya terbalas, kuda besi miliknya segera melaju dengan kecepatan tinggi. 

Sebuah gedung apartemen menjadi tujuannya dan dengan langkah lebar kakinya melangkah tanpa ragu untuk menemui seseorang yang berada pada salah satu ruangan. Tangannya mengetik sebuah pesan dan tak lama setelah itu pintu apartemen terbuka, menampilkan sosok Reksa yang sedikit berantakan.

Tanpa sepatah kata, Raksa memukul Reksa. Pemuda yang dipukul menoleh ke samping dengan sedikit terhuyung karena belum siap. Tatapannya ikut menajam dan menatap ke arah kembarannya yang mulai seenaknya masuk ke dalam kamarnya dengan menyeret kamarnya.

"Lo apa-apaan sih bangsat?' Teriak Reksa kesal.

Bukan jawaban yang didapat olehnya, namun sebuah pukulan yang kembali Raksa layangkan. Reksa memejam, hendak kembali berbicara sebelum tangan milik Raksa meraih kerah lehernya. Tatapan tajam kedua anak kembar itu beradu, untuk beberapa detik mereka terpaku dalam pandangan itu. Reksa dapat dengan jelas melihat kilatan kemarahan, dan Raksa dapat melihat dengan jelas kilat kekecewaan.

"Lo tanya kenapa? Gue udah bilang sama lo, jangan pernah temuin bunda lagi. Lo tau? Setiap lo temuin bunda, bunda akan selalu nangis setelahnya. Itu yang lo harapin? Apa salahnya lo biarin bunda bahagia. Apa salahnya jika lo berhenti merusak keluarga gue!" Setelah melontarkan kata-kata itu, Raksa kembali melayangkan pukulan pada wajah Reksa.

"Gue bahkan gak pernah mukul adik gue!" lanjut Raksa dengan nada tinggi.

"Gak pernah? SEKARANG LO MUKUL GUE BANGSAT!" Teriak Reksa kesal. 

"Lo nyuruh gue berhenti usik kehidupan lo, lo nyuruh gue buat berhenti temuin bunda. Kalau seandainya gue yang bilang hal itu, lo bakal terima Sam? KALAU SEANDAINYA MULUT KOTOR ADIK LO BERUCAP HAL YANG SAMA KE LO, LO BAKAL TERIMA?"

Kalimat terakhir Reksa membuat Raksa dikuasi amarah kembali. Tanpa aba-aba dia menerjang tubuh Reksa dan memukul kembarannya bak orang kesetanan. Satu pukulan berhasil mengenai pusat sakit Reksa, satu pukulan berhasil mengenai kelemahannya. Dan sayangnya Raksa belum menyadari hal itu, sampai akhirnya air mata luruh dari mata Reksa dengan ringisan tertahan yang menyuruh Raksa untuk berhenti.

"Sam stop hah, sam sa kit," lirih Reksa.

Raksa bangun dari duduknya, berdiri dan mulai menjauh dari Reksa yang mulai meringkuk kesakitan. Isakan mengiringi keheningan yang akhirnya terjadi, dan di sela-sela isakan itu Reksa batuk dengan darah yang keluar dari bibirnya. Erangan demi erangan terdengar dan Raksa hanya bisa mematung seperti orang bodoh disaat kembarannya sekarat di depannya.

"Kak tolong," lirihan itu kembari Reksa berikan. Berharap Raksa mendekat dan mengambilkan obatnya. Namun Raksa masih terdiam di tempatnya. Dan di saat kedarannya menurun, dengan samar-samar pengelihatannya, Reksa melihat Raksa mendekat ke arahnya dengan raut wajah panik. Hal terakhir yang diingatnya adalah saat Raksa mengangkat kepalanya dan membawanya ke pangkuan miliknya. 

-A N T A R E K S A-

Malam dihiasi bulan dan bintang, sosok Arletta yang sedari tadi menghubungi sosok Antareksa mulai di rundung kekesalan. Tak satupun telepon miliknya diangkan dan tak satupun pesan terbalas. Rencananya untuk mengajak Reksa pergi keluar malam ini sepertinya akan gagal, membuat gadis itu mendengus kesak.

Langkahnya ia bawa kembali memasuki kamarnya kendati pakaian rapi telah terpasang di tubuhnya. Tak terlintas siapaun lagi untuk diajak keluar kecuali sosok pemuda yang berjanji untuk menjaganya beberapa waktu lalu. Senyum mengembang di wajahnya, masih merasa malu dengan dirinya yang dengan beraninya meminta sebuah janji untuk hal itu.

Rona merah muncul di ppinya dan tangannya dengan cepat menutupi wajahnya dengan bantal untuk meredam teriakan nya. Bantal itu dibuka, menampilkan wajah sumringah milik Arletta yang akhirnya berjalan menuju kaca di kamarnya. Lama gadis itu memerhatikan wajahnya yang penuh senyuman dengan rona merah yang senantiasa menghiasi.

"Oke tenang Letta," monolognya.

Dering handphone membawanya kembali ke dunia sekarang, berhenti memikirkan flashback tentang dirinya dan sosok Antareksa. Nama Arana tertera di layar membuat Arletta tanpa ragu menjawab telepon dari sahabatnya itu.

Wajah penuh senyuman miliknya berubah seketika, tatkala point pembicaraan mulai dilontarkan oleh sosok di seberang telepon. Wajah panik akhirnya mendominasi, dan tanpa kata apapun lagi, dia memutus sambungannya. Berjalan keluar kamarnya, menuruni tangga dan meminta ijin dari sang bunda dengan tergesa-gesa. Membuat wanita paruh baya itu menggelang heran.

"Apa lagi sekarang."

-A N T A R E K S A-

haihaiii

kira-kira ada yang kangen gak nih? sama reksa, atau malah sama kau? enggak bercanda

aku up lagi nih

ada yang bisa nebak apa yang dua gadis itu omongin gak?

seperti biasa tinggalkan jejak dan komen kalian

-10 Januari

R e t i s a l y aWhere stories live. Discover now