18 | Canggung

347 22 0
                                    

Aku kembali ke lantai 5 saat hari menjelang sore. Diaz tidak menghubungiku lagi saat ia mengambil alih saat proses casting tadi. Aku sempat berpapasan dengan Dzaki di lobby, ia hanya menyeringai padaku lalu pergi dengan Mba Runi mengekor dibelakangnya.

Saat aku mengecek ruangan casting, aku mendapati Diaz sedang berdiri sendiri menghadap keluar jendela. kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, hari ini ia mengenakan sweater hitam yang lengannya ditarik hingga ke siku, ia keliatan keren. Tapi kejadian tadi siang membuatku agak malas berbasa-basi. 

Jadi aku sebisa mungkin mengendap-endap dan mengambil form milikku yang tergeletak bersebelahan dengan form Mba Runi dan Dzaki. 

Aman. Sepertinya Diaz sedang melamunkan sesuatu. 

Aku ingin langsung ngacir dari ruangan itu setelah berkas-berkas itu ada ditanganku, tapi ku dapati tangan Diaz mendekap pundakku. 

"Lo marah sama gue?" Diaz menatapku lekat-lekat, jarak kami cukup dekat, belakangan ini aku bisa mencium aroma tubuhnya yang khas, meskipun aku selalu menggunakan masker didekatnya. Dan aku masih sering gugup saat berdiri sedekat ini dengannya, terutama saat dikantor. 

"Ngapain gue marah?... toh udah sewajarnya kan cowok lindungin ceweknya." Awalnya aku tidak ingin mengatakan itu, tapi entah kenapa kalau diingat-ingat kejadian tadi membuatku sedikit terpancing. Terutama saat Diaz menatapku dengan sorotan mata tak suka.

Aku menepis tangan Diaz pelan. tentu saja pelan, tidak mungkin aku berdrama dengan menepis tangan Diaz kasar dan ngacir dengan penuh kekecewaan. Meskipun ada keinginan untuk melakukannya. 

Suasana jadi canggung saat Diaz menatapku lekat untuk waktu yang cukup lama. 

"Gimana hasil castingya? udah dapet 5?" Aku mencoba memecahnya dengan mencari topik pembicaraan. 

"Clara bukan siapa-siapa gue Sa." Aku tertegun, satu hal yang aku pahami dari sifatnya adalah, ia akan langsung meluruskan sesuatu yang sepertinya membuat Diaz tidak nyaman saat orang lain memiliki prasangka yang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. 

"Mantan ini termasuk siapa-siapa loh, lagian lo kayaknya masih sayang sama dia." Aku berniat menggodanya, tapi ia membuang muka begitu aku mendekatkan wajahku untuk meledeknya. 

"Dimas, dia dilolosin sama Dzaki." mataku membelalak, tapi hatiku meloncat senang. Aku buru-buru mengecek form perekrutan yang ku pegang, ternyata yang dikatakan Diaz benar, Dimas lolos.

"Eh tunggu, lo tau darimana Dimas yang ini mantan gue?" Aku menoleh lagi ke arah Diaz, kali ini aku menunjukkan mataku yang menyelidik ke arahnya. 

"Simple. tadi lo keliatan oon parah waktu papasan sama ni cowok di depan lift." Oke, ini pertama kalinya aku mendengar Diaz mengatai aku oon. dan ternyata melihat Dimas bisa mengalihkan dunia dari pandanganku. 

"Gue kayaknya kangen parah sama dia." ucapku, dan aku harap Diaz tidak ilfeel. Toh dia tau cerita keseluruhannya. Wajahku memerah saat menyadari, aku  yang sebenarnya belum sepenuhnya menjadi mantan Dimas. Benar, belum ada kata putus diantara kami. Apa itu artinya, tadi aku baru saja bertemu dengan pacarku yang sudah lama menghilang? 

Aku mesem-mesem sendiri, sementara Diaz melengos disampingku. Aku mengekor dibelakangnya, ikut berjalan menuju lift sambil memperhatikan foto Dimas yang super cakep di berkas ini. 

"Gue gak mau proses syuting ke ganggu cuma gara-gara lo terobsesi buat balikan sama dia." Aku bersungut mendengar kata-kata Diaz. tapi disisi lain setuju.

"Kecuali kalo mantan gue adiknya bos ya?" celetukku, sungguh hanya celetukkan iseng. 

Namun aku tidak tau Diaz malah menanggapiku dengan cara yang tak biasa, ia menarikku ke salah satu kursi terdekat di ruangan itu. Dan mendorongku untuk duduk disana, kedua tangannya yang besar menggenggam pegangan kursi erat-erat. Matanya menatapku tajam, rasanya aku sedang di interogasi karena baru saja melakukan kejahatan besar. 

"Pertama, stop ungkit masalah Clara! karena lo gak tau kenapa dia nempel banget sama gue, kedua, jangan pernah ceritain apapun yang berhubungan sama orang yang lo suka di depan gue, ketiga!-" 

Aku menahan nafas, bingung harus bereaksi apa. Dia sempat membuang muka sebelum akhirnya mengatakan kata-kata terakirnya.

"Menurut gue, Dimas bukan cowok yang pantes buat diajak balikan." 

"Dan itu urusan gue Az, lagian dia bukan mantan gue, dia.. masih pacar gue." Aku menatap Diaz lebih tajam dari sorotan matanya, kami bersikukuh saling menunjukkan wajah nyolot satu sama lain. 

"Kan ! Kan ! Kan !" Aku dan Diaz kompak menoleh. Agus melihat kami seperti seorang ibu yang memergoki anaknya hendak berbuat mesum. Agus menggelengkan kepala berlagak suci. lalu menodongku dengan ponsel. Dan ternyata Mas Boim menyusul setelah Agus. Ia hanya menatapku sekilas, kemudian matanya menoleh ke arah Diaz. 

"Ini kali kedua, gue nemu mereka hampir ciuman Mas." 

'Kita gak ciuman!" Aku dan Diaz kompak membela diri. 

"Boong, waktu di depan kamar kost! kalian udah pasti habis ciuman kan? " 

"Duh, Gus, lo bisa gak sih sekali aja jangan suudzon sama orang?" 

"Gimana gak suudzon, kalau posisi kalian mesra begitu tadi." Aku menoleh ke arah Diaz, ia tiba-tiba menatapku dingin, seakan-akan tuduhan Agus bukan salahnya.

"Nanti gue ceritain deh, tapi sekarang, ini hp gue kenapa ada di lo?" aku merebut ponselku dari tangan Agus, ada beberapa panggilan disana, dari Dara. 

"Berisik nih hp lo, gue gak tau siapa yang nelponin lo, maunya gue silent, tapi pas liat foto profilnya cakep, jadi ya.." 

"Lo udah punya pacar!" Sela Mas Boim, aku nyaris lupa keberadaannya. 

"Buat cadangan." Agus nyengir sambil menatapku penuh harapan. Dan tentu saja aku bukan sahabat yang tega mengenalkan Dara pada laki-laki nggak royal kayak Agus ini. 

"Sa.. Gue denger lo tadi berantem sama Clara." Aku langsung menoleh saat Mas Boim menodongku dengan pertanyaan yang entah kenapa bikin aku deg-degan. Tentu saja, yang melabrakku langsung adalah kakaknya Clara. 

"Gue cuma kebawa emosi Mas, gak sampe nyakar-nyakar dia kok." Aku yakin wajahku memerah, yang menatapku penuh dukungan hanya Agus. 

"Lagian ya Mas, Clara itu udah mulai ganggu suasana kantor tau." Agus menyela, saat aku kikuk di hadapan Mas Boim. Aku mungkin bisa menghadapi tatapan dingin yang sering dilayangkan Diaz padaku. tapi saat atasan sendiri mengajakku bicara dengan nada tegas dan nyaris mencekam, aku juga bingung caranya membela diri. 

"Sorry Mas, gak lagi deh gue nyari masalah sama dia." 

"Oke bagus, cuma dia yang bisa bikin bokap gue mau invest diperusahaan ini, jadi baik-baik sama adik gue. Dan Az rajin-rajin perhatian sama dia." Apa mungkin karena alasan ini Diaz sampai melakukan adegan super canggung tadi? Diaz selain jadi produser juga mengemban tugas sebagai pengasuh Clara, meskipun udah putus. 

"Dan Sa, lo juga harus deket sama dia. Kalau lo mau nyaman kerja di perusahaan ini." Mas Boim pergi setelah aku mengangguk beberapa kali. 

Suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatianku, juga Agus. 

Dara

Gue lagi ada disekitar kost lo nih, tadi nyari barang buat salon.

mau ketemuan kagak?

Mauu!! shareloc Ra!

Ini waktu yang tepat buat menumpahkan segala keluh kesahku tanpa filter apapun. 

"Gue juga ikutt!" Agus merengek.

"Kagak!" 

UNTOUCHABLE EX !Where stories live. Discover now