33 | Membuka Hati

295 22 0
                                    

Sudah lama, sejak terakhir kali aku merasa deg-degan karena sedang jatuh hati. Aku tidak ingin menerima keberadaan Diaz secepat ini, biar bagaimanapun, aku ingin pendekatan yang mungkin akan terjadi diantara kami, tidak terkesan hanya pelampiasan belaka.

Aku ingin, kami kenal lebih jauh dengan proses yang bisa dinikmati, Diaz terang-terangan mengatakan padaku, bahwa ia akan mencoba untuk menggantikan posisi Dimas, aku tidak ingin dia menggantikan siapapun. Aku ingin, hatiku benar-benar terbuka karena aku memang sudah melupakan Dimas, dan Diaz bukanlah peran pengganti, ia akan menempati hatiku disaat aku benar-benar menginginkannya.

"Sa? ngapa bengong sih? ntar bakso lo di gondol Si Bleki tuh." Aku menunduk untuk menatap prihatin anjing liar yang suka menemani aku dan Agus makan siang, tubuhnya teramat kurus, namun kalung yang melingkar di lehernya menandakan ia memiliki majikan. Mungkin ia hilang atau kabur dari rumah, atau lebih biadabnya, anjing peliharaannya harus mandiri mencari makanan, namun harus tetap mengabdi pada majikannya. 

"Nih, makan aja Ki." Aku memberikan 5 buah pentol yang tersisa di mangkuk bakso milikku, sedangkan punya Agus sudah tandas, ia memang tidak memiliki perasaan prihatin pada hewan liar.

"Lo kenapa sih? dari pagi sikap lo aneh banget." Agus menyeruput es jeruknya, aku tahu ia tidak akan berhenti mengoceh sebelum aku menceritakan seluk beluk kejadian apapun yang aku lewati dua hari ini tanpanya.

"Gue bingung, Diaz itu boleh gue deketin gak sih?" Dengan malu namun frustasi aku membekap wajahku dengan kedua tangan.

"Kecantol kan lo akhirnya!," Agus pindah posisi, menarik kursi dan duduk dengan santai di sebelahku."Gue udah yakin sejak awal, kalau lo tau tampang aslinya, lo gak bakal pernah bisa berpaling."

"Tapi bukan cuma tampangnya, gue rasa, setengah hati gue sempet ngarep ke dia, jauh sebelum kejadian kemarin."

Agus menunjukkan gestur andalannya, gestur yang ia keluarkan saat akan menyampaikan petuah-petuah yang sebenarnya gak penting-penting amat.

"Masa lalu itu, apalagi yang berhubungan dengan percintaan, nggak akan ada pengaruhnya buat masa depan, jadi menurut gue, gass aja lah Sa!" Aku mengigiti ujung jempol, menimbang saran Agus. Namun entah kenapa, keraguannya bukan datang dari hatiku, namun kepercayaan. Setelah kejadian bersama Dimas, rasa percayaku pada orang lain, terutama cowok, jadi makin menurun.

"Gue yakin kok, Diaz itu orang yang setia, sempak aja gak pernah di ganti, apalagi pacar."

"Kok jadi ngomongin sempak sih?!"

"Kan gue mau bikin lo yakin Sa."

Aku memilih untuk segera enyah dari hadapan Agus, omongan anak ini mulai kemana-mana, kalau aku terus meladeninya, bisa-bisa aku mengetahui lebih dari yang seharusnya.

Agus tidak menyusulku karena harus menunggu pesanan Mba Runi, jadilah aku kembali ke kantor sendirian, aku segera ngacir ke pintu lift, anak-anak divisi lain lagi asik nongkrong di lobby kantor.

"Ekhm, ternyata nyali lo gede juga ya buat dateng ke kantor ?" Mega dan Sita mendatangiku, entah karena mau ikut naik atau memang niatnya untuk menyindirku.

"Kenapa gue harus punya nyali segala buat kerja?" sergahku, berusaha untuk tenang, namun aku tidak akan membiarkan lagi mulutnya membicarakan yang tidak-tidak soal aku.

"Katanya, lo jadi pelakor ya? Bahkan sampai tidur sama suami orang." Sabar Kansa, sabar, orang-orang kayak mereka gak pantes diladenin.

"Hahaha, lucu." balasku, menatap mereka dengan tajam.

"Istrinya lagi hamil loh Sa? kok lo tega sih? atau lo emang gak punya malu?"

"hahahaha bbl bbl bbl."

"Hah bbl apaan?" Sita melempar tatapan bingungnya pada Mega.

"Bacot banget loo!!" tepat saat itu pintu lift terbuka, aku langsung menerjang masuk dan menutup pintu lift, meninggalkan wajah konyol mereka yang nampak tak terima dengan perlawananku.

Tawaku membuncah, ternyata tidak seburuk itu kalau melawan mereka yang semena-mena, memang cara terbaiknya adalah dengan tidak terpancing dengan kata-kata mereka.

Pintu lift terbuka di lantai 2, aku berusaha untuk menenangkan diri lagi, cukup lah Mas Yono, satpam kantor yang melihat kelakuanku tadi dari cctv.

"Hai Mas." Mas Boim ikut bergabung denganku di dalam lift, tampaknya ia baru saja selesai mengawasi project dari divisi dua.

"Muka lo kenapa?"

"Kenapa gimana mas?" Aku memegang wajahku dengan panik, apa masih memerah karena tertawa tadi, sial jadi ketahuan kan.

"Kenapa cantik mulu tiap hari." Aku bergeming mendengar jawaban Mas Boim, ia mencoba menggodaku? atau ia mengatakannya dengan iseng? Mas Boim bukan tipe orang yang suka berbasa basi diluar pekerjaan dengan karyawannya.

"Apaan sih Mas, jangan bikin salting dong."

"Yaelahh, segitu doang salting, gimana kalau gue lamar lo!" Mas Boim mengacak rambutku, sembari mengikutiku keluar dari lift.

"Akrab banget nih bos sama bawahan." Sindir Diaz dengan wajah kesalnya yang malah membuatnya kelihatan lucu.

"Gue mau ngecek kerjaan anak-anak." Mas Boim melepas tangannya dari kepalaku, lalu menatap sekeliling ruangan. "Loh, pada kemana?"

"Ini jam makan siang, lo mau nyari siapa di jam segini." Diaz menarikku, mengisyaratkan untuk kembali ke meja kerja. Mas Boim tampak konyol karena salah fokus, dasar maniak kerja, jam makan siang pun masih rajin neror anak-anak.

"Yaudah biar gue revisi kerjaan Kansa, anaknya kan ada disini."

"Eitss, sebelum di revisi lo, harus direvisi sama gue dulu lah." Diaz menghalangi Mas Boim yang hendak menghampiri meja kerjaku.

"Ya gak papa, tanggung, gue kan udah disini."

"Nanti gue hubungin lo lagi kalau udah kelar."

"Santai aja, kenapa sih?"

"Tapi kan ini gak sesuai sama work flow yang lo terapin di kantor ini, nggak adil dong jadinya buat Kansa."

"Sesekali gak papa Az."

Aku memperhatikan mereka saling sikut untuk menghalangi satu sama lain, Ini mereka pada kenapa sih? Mas Boim yang biasanya rada kalem jadi ikutan bar bar begini, apa dia lupa kalau jabatannya itu ditakuti sama semua karyawan.

"Kalian pada ngapain sih?"

Mba Runi muncul dari pintu toilet, jelas wanita ini adalah pemilik tampang paling jujur di kantor ini, dan aku bisa melihat gelagatnya yang tak habis pikir dengan dua orang dewasa di depannya.

"Lo mau revisi kerjaan Im? Udah kelar tuh punya gue." Nampak berat hati akhirnya mereka saling mengalah dan Mas Boim memutuskan untuk melangkah mengikuti Mba Runi.

"Lo mau kemana?" Mas Boim menarik kerah baju Diaz dan menariknya untuk ikut dengannya.

"Katanya lo mau revisian,"

"Lo yang bilang kan, kalau sebelum di cek sama gue, kerjaan anak-anak lo dulu yang revisi."

"Tapi lo yang bilang-"

"Gue bos, ngikut aja kenapa sih?"

Aku menahan tawa melihat kelakuan mereka, dua orang yang biasanya selalu kelihatan serius dan tegas di kantor, sekarang malah lebih mirip remaja labil.


UNTOUCHABLE EX !Where stories live. Discover now