Part 1

25 0 0
                                    

Tenangnya sore musim semi tergantikan dengan suara gerak jalan cepat yang berasal dari tabi bergesekan dengan lantai kayu.
"Akira-sama.. mohon tenanglah.." ucap seorang samurai muda di samping Ishida Akira. Anak sulung dari keluarga Ishida yang saat itu masih berusia sekitar tiga puluh tahun.

Akira hanya diam dan berjalan cepat menuju dojo keluarga tempat ketua klan Ishida duduk memperhatikan samurai-samurai muda penerus klan yang sedang berlatih.

Akira dengan cepat membuka shoji yang memisahkan antara dojo dan selasar.
"Tou-sama.." suara Akira membuat para samurai yang berlatih menghentikan gerakan mereka.

Ishida Kojiro mengangkat kepalanya dan menatap anak sulungnya.
Dengan satu gerakan tangan, para samurai yang tadi berada di dalam membungkukkan badan mereka kemudian pergi keluar hingga samurai terakhir menutup shoji ruangan dojo.

"Aku tahu maksudmu datang ke sini. Dan jawabanku masih tetap sama. Kau tidak akan menikahi miko itu"

Akira diam dan menatap ayahnya, "apa maksud Tou-sama mengabarkan pada ketua kuil bahwa saya membatalkan lamaranku dengan Naori? berikan alasan yang dapat saya terima mengapa Tou-sama mengambil keputusan itu."

Kojiro melihat anaknya, "aku pikir kau cukup cerdas untuk mengetahui hal itu."

Akira menatap ayahnya dengan wajah marah. Wajahnya yang biasanya tidak menunjukkan emosi apapun, kini berubah. Tangannya mengepal dan memutih menahan semua amarahnya.

"Ayah sudah memutuskan dari awal bahwa kau harus menikahi anak dari keluarga Hojo dan kau sudah tahu itu."

"Dan saya pikir Tou-sama cukup cerdas untuk mengetahui bahwa saya menolak keputusan itu," jawab Akira kemudian ia membungkuk dan berjalan keluar dari Dojo.

Kojiro menutup matanya dan menghela nafas panjang, "anak yang tidak tahu terima kasih."

Akira berjalan cepat menuju kuil Inari. Sore musim semi yang biasanya indah dan dipenuhi dengan suara-suara burung yang berganti dengan wangi sakura, tak lagi menjadi kenikmatan bagi dirinya setelah ia mendengar kabar mengenai pembatalan lamarannya terhadap Naori.

Rasa lelah kakinya tak lagi ia rasakan sambil berjalan menaiki setiap anak tangga menuju kuil teratas. Di gerbang kuil, ia melihat beberapa miko menyapu halaman kuil, beberapa membawa persembahan, namun, ia tak melihat seorang miko yang ia cari. Kakinya membawa dirinya menuju kuil mencari ketua kuil dan melihat seorang lelaki tua yang berdiri di tengah kuil.

"Akira-sama," sapa sang ketua kuil.
Akira membungkukkan kepalanya.

Ketua kuil lalu menatap Akira dan tersenyum, "apa ada yang perlu saya bantu?"

"Mengenai Naori..." suara Akira memelan mengucapkan nama wanita tersebut.

Ketua kuil hanya tersenyum, "saya sudah menerima keputusan ayah anda. Dan.. saya sudah menyampaikan pada Naori."

Akira mengangkat kepalanya dan melihat ketua kuil dengan wajah sedih. Ia sulit menyembunyikan ekspresi wajahnya saat berbicara mengenai Naori.

"Naori menerima keputusan ayah anda. Ia tidak keberatan akan hal tersebut."

Akira menunduk dan mengepalkan tangannya.
Berusaha ia menahan semua emosi di dadanya yang semakin sesak setiap dia menarik nafas.

"Lebih baik anda kembali ke kediaman anda. Tidak baik apabila anda sering ke kuil dan bertemu dengan Naori." Ketua kuil membungkukkan kepalanya dan berjalan menuju halaman belakang.

Akira berjalan perlahan menuju gerbang menyebrangi halaman kuil. Awan kelabu menutupi langit di atasnya. Beberapa miko berlarian berusaha lebih cepat menyelesaikan tugas mereka sebelum air langit menjatuhi gunung Inari. Tori merah di hadapannya menjadi satu-satunya tujuan pandangannya. Tapi, masih ia berhenti di halaman kuil tak ingin meninggalkan sebelum bertemu seorang miko.

Tetesan air pun mulai turun. Akira mulai berjalan menuju gerbang saat tiba-tiba ia tidak merasakan air hujan mengenai kulitnya. Ia pun menengadah dan melihat lapisan kertas berwarna coklat di atas kepalanya dan bukan langit abu-abu. Ia melihat miko di sampingnya dan wajah yang sangat ia kenal tersenyum lembut padanya.
"Berhati-hatilah.. tangga akan sangat licin di saat hujan," ucap wanita tersebut dengan lembut. Wajah lembut dan manis bagaikan persik terhiasi senyuman manis. Wajah yang masih sama saat pertama kali ia melihat wanita ini lima tahun yang lalu.

Akira menatap wanita di sampingnya dan menahan tangan yang menggenggam payung di sampingnya, "aku..."

Naori tersenyum lembut, "Akira-sama lebih baik kembali sebelum hujan semakin deras. Akan sangat dingin di gunung di malam hari."
Tangan Naori yang ia genggam terasa sangat dingin. Perlahan Naori menarik tangannya dan memberikan payung tersebut ke Akira.

Ia tersenyum, tapi ntah mengapa Akira merasakan kesedihan di senyuman tersebut.

Naori membungkukkan tubuhnya dan berjalan menjauh. Air hujan membasahi pakaiannya secara perlahan. Kimono putihnya berubah menjadi gelap setiap tetesan air yang jatuh.

Akira berlari menuju Naori dan menarik tangannya, "aku... aku berjanji untuk menikahimu."

Naori menatap lelaki di hadapannya dan menggelengkan kepalanya. Dengan perlahan ia menarik tangannya dari Akira, "saya mohon, Akira-sama. Lebih baik anda mengikuti perintah Ishida-sama. Ishida-sama sudah menceritakan semua pada ketua kuil. Saya juga merasa bahwa kita memang tidak pantas untuk bersama. Anda lebih pantas bersama anak perempuan dari keluarga terhormat. Bukan miko seperti saya. Sebentar lagi saya akan menyelesaikan pelatihan saya. Saya akan meninggalkan ibukota. Semoga anda bahagia dan selalu dilindungi Inari-sama."

Akira hanya diam mendengar jawaban dari Naori.

"Saya permisi. Ada tugas yang harus saya laksanakan," tambah Naori.
Naori berjalan menjauh membiarkan air hujan membasahi bajunya dan rambut hitamnya. Hakama merah menjadi semakin gelap dan mengecil saat Akira hanya mampu memandangi wanita itu menjauh darinya.

Seorang anak laki-laki menunggu Akira di depan gerbang kuil membawa payung di tangannya.
"Ah.. jadi dia wanita yang membuat Ani-sama melawan perintah Tou-sama."

Akira melihat anak laki-laki yang berada beberapa langkah di depannya.

"Sepertinya aku tidak perlu membawakan payung padamu."

"Kenapa kau datang ke sini, Tomokazu?"

Tomokazu terkekeh dan berjalan di samping kakaknya, "sebagai adik yang baik, aku berencana membawakanmu payung sebelum kau kehujanan saat pulang."

"Itu tidak mungkin," jawab Akira dengan wajah kaku.

Tomokazu tertawa, "ah.. aku memang tidak bisa berbohong padamu. Baiklah.. aku penasaran siapa yang bisa membuatmu menentang perintah Tou-sama."

Akira hanya diam mendengar jawaban Tomokazu dan tetap berjalan hati-hati di anak tangga yang menjadi semakin licin disaat hujan. Pikirannya hanya pada jawaban dari wanita yang baru saja ia temui.

"Ani-sama.. sekarang, apa yang akan ani-sama lakukan?" tanya Tomokazu sembari berjalan di samping Akira.

Akira melihat hutan bambu di sekelilingnya dan melihat beberapa ekor rubah berwarna putih dan hitam.
Ia lalu menatap Tomokazu.
"Aku akan memperjuangkannya. Aku sudah berjanji untuk menikahinya."

Wajah Tomokazu berubah mendengar jawaban kakak tertuanya. Wajahnya berubah menjadi serius dan senyuman yang biasa berada di ujung bibirnya kini menghilang.
"Ani-sama, kau tidak mungkin.... kau tahu hukuman yang akan Tou-sama berikan jika kau menentang perintahnya."

Akira hanya diam sementara air hujan yang turun semakin rapat menghantam kertas berlapis lilin yang melindunginya. Ia genggam erat pegangan bambu itu merasakan tempat yang baru saja digenggam oleh Naori.

Musubi (A prequel to Ishida Monogatari)Where stories live. Discover now