PART XXXIX

16.5K 665 1
                                    


Aku mengintip dari jendela kecil di bagian pintu kamar, melihat dia yang terbaring lemah di ranjang putih dengan selimut hijau muda membungkus badannya. Ada seorang dokter dengan dua perawat di belakangnya sedang memeriksanya. Aku ragu untuk masuk, dan menanyakan keadannya. Lebih baik aku dokter itu menyelesaikan pekerjaannya.

"Dokter, bisakah saya minta waktu sebentar?" kuhentikan langkah dokter itu saat berjalan di lorong.

Dokter itu menoleh ke salah satu perawat. "Anda sudah memiliki pasien untuk dikunjunggi lagi dok." Si perawat itu memeriksa clipboard di tangannya dan memberitahu dokter muda dengan name tag nama Bara itu bahwa ia sudah selesai memeriksa pasien.

"Mari ke ruanganku." Aku mengekor dokter Bara sementara dua suster yang tadi di belakangnya sudah pergi entah kemana.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya dokter Bara sesampainya di ruang berukuran 4x6 meter dengan satu set meja kursi serta rak yang penuh buku yang kuyakin seumur hidup tak bakal kupahami isinya.

"Saya ingin mengetahui keadaan pasien yang bernama Bapak Kamaluddin." Tanyaku tanpa basa basi.

"Maaf tapi saya tidak_"

"Saya anaknya dok.." aku tahu dokter itu tak mau membeberkan informasi pasien pada orang asing.

"Oh.." dokter Bara agak terkejut dan membenarkan letak kacamatanya. "Ayah anda mengalami gejala stroke ringan." Stroke? "Menurut catatan medis dari rumah sakit sebelumnya, ayah anda pernah mengalami serangan jantung sekitar setahun yang lalu. Itu salah satu penyebab yang memungkinkan penyakit ini." Ayah mengalami serangan jantung beberapa hari setelah ibu meninggal. Kukira aku akan kehilangan ayah juga waktu itu..

"Apa.. apakah parah?"

"Untungnya cepat di bawa ke rumah sakit, jadi kami bisa mengurangi resiko kecacatannya. Setelah ini, ayah anda bisa melakukan fisioterapi untuk memulihkan kondisi badannya. Dia tidak boleh terlalu capek dan stress. Anggota keluarga harus mendampinginya dalam masa pemulihan, serta memberinya dorongan semangat." Aku hanya mengangguk kecil sambil masih mencerna kata-kata dokter Bara. Ya Tuhan.. apa yang harus aku lakukan?

Aku kembali menengok ke kamar ayah. Tak ada siapapun di dalam selain ayah yang tidur. Wajahnya menampakkan gurat kelelahan bahkan dalam tidurnya. Kenapa wanita sialan itu tak ada disini menemani ayah? Benar-benar jalang keparat.. kemana sih dia? Seharusnya dia ada disini merawat ayah.

Aku duduk di salah satu bangku yang berderet sepanjang lorong kamar. Masih bingung langkah apa yang harus kuambil. Apa aku akan membiarkan ayah sendirian. Tapi bahkan dia tak menginginkanku. Jika dia benar-benar menyayangiku dia tak akan mengusirku hanya demi menuruti nenek sihir itu. Aku menunduk dan memegangi kepala dengan kedua tanganku. Kenapa jadi rumit kayak gini sih hidupku.

"Kereta telah menunggu. Tuan putri bisa pulang kapanpun." Sejurus itu, Alex menyodoriku paper glass yang penuh dengan kopi hangat. Aku menerimanya dan menyesap sedikit. Rasa pahit langsung menyebar di mulutku. Aku memang kurang suka minum kopi yang tanpa gula, tapi ini sedikit menyadarkanku dari seliweran pikiran yang memenuhi otakku.

Alex menarik lenganku dan menuntunku keluar rumah sakit. Aku menurut saja, aku sedang tak ingin berdebat dengan siapapun. Dalam perjalanan ke rumah Rei kamipun bungkam seribu bahasa, bahkan tak ada suara musik atau penyiar yang terdengar. Aku sendiri lebih memilih menatap keluar jendela, mengamati lalu lalang kendaraan yang saling berpacu mendahului. Sepertinya Alex juga tenggelam dalam pikirannya sendiri, memandang lurus kedepan berkonsentrasi dalam mengemudi.

Saat sampai di depan rumah Rei. Ada sedikit kecanggungan padaku untuk menghadapi Alex. "Emm.." aku mulai bergumam tak jelas. Biasanya aku tak begini. "Terima kasih Alex.." Alex tersenyum miring lalu mendekat padaku. Sial.

HOPELESS (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang