Part LXXVI

16.6K 676 7
                                    


"Kia kemana Liv?" Rei bertaya pada Liv yang sedang menekuni sarapannya di meja makan. Dengan diresmikannya caffe tadi malam maka aku juga sudah resmi berhenti dari pekerjaan sementaraku. Jadi aku tak perlu lagi datang ke kantor Kia.

"Eh? Cak Kia udah berangkat dari tadi.."

Iyalah udah berangkat dari tadi. Ini kan udah jam 8 lebih. Gara-gara Rei kami jadi keluar kamar jam segini. Untung budhe Lis belum pulang dan hanya ada Liv. "Kamu kenapa Liv kok pucet?" seperti tidak ada darah di wajah Liv.

"Hmm? Ngga kok. Mungkin karna aku tidur kemaleman dan capek gara-gara acara semalam." Liv tersenyum tipis. Ia memang terlihat lelah. "Maaf kak.. aku ngga masak cuman bikin mie. Kukira kalian nggak pulang."

Rei menyeringai sedangkan wajahku terasa panas. "Ngga papa Liv. Kamu nggak ada kelas pagi ini?"

"Ada, bentar lagi mau berangkat.." perkataan Liv terpotong bunyi bel rumah. "Itu temanku, aku akan berangkat dulu ya.." Liv membereskan peralatan makannya lalu segera meluncur ke ruang depan.

"Ada yang aneh dengan Liv." Ujar Rei tiba. Apa yang aneh dengan dia? "Biasanya ia tampak ceria dan cerewet."

"Dia bilang sedang lelah tadi. Tidak kau juga dengar kan?" Rei menggumamkan sesuatu tentang Kia dan entah apa itu. Aku mengabaikannya dan memeriksa isi lemari pendingin yang ternyata.. hanya terisi 10% dengan air mineral dan beberapa buah.

"Sepertinya kita harus brunch di luar. Tidak ada apa untuk dimakan." Kataku lesu.

"Bagus. Kita bisa sambil menunggu waktu tayang Tn. Stark." Rei melambaikan dua tiketnya.
.
.
.
"Kenapa mereka menambah tokoh baru? Padahal kelompok sebelumnya sudah bagus." Gerutu Rei dengan mulut penuh. Ya Tuhan, tidak bisakah ia menelan pop cornnya lebih dulu. Aku ragu dia adalah calon tunggal pengganti Pak Salim jika sifatnya seperti ini.

Ia menenggak minuman soda yang kusodorkan. "Regenerasi Rei. Mereka sudah tua!"

"Merekan kan punya kekuatan super." Entah mungkin terlalu stress karena tekanan kerja yang terlalu tinggi atau apa, sepertinya otak Rei sedikit bergeser.

"Mereka akan tua dan mati! Itu Cuma akting. Kekuatan super apanya.." geramku. Rei terkekeh mendengar protesku. Ia mengeluarkan ponselnya yang bergetar dari saku jaket. Melihatnya dari sudut mataku, Rei tampak asyik membaca pesan yang barusan diterima. "Siapa?"

"Clara, dia bilang salah satu pabrik di Tangerang mengalami kebakaran dan Papa tidak mungkin kesana."

"Ya Tuhan! Seberapa parah?" Hampir saja aku menjerit jika tak sadar kami sedang berada di bioskop.

"Clara tidak memberitahuku. Hanya saja aku harus cepat mengadakan jumpa pers dan bersiap jika saja ada korban.." Sial. Kuharap tidak separah itu. "Dengarkan aku Vio. Aku tak berniat meninggalkanmu disini sendiri, hanya saja aku harus pergi. Clara telah memesankan tiket untuk sore ini. Aku akan membereskan masalah ini, jika semua sudah selesai baru aku akan menjemputmu."

Aku menggengam tangannya untuk memberinya kekuatan dan keyakinan bahwa aku mengerti dan akan menunggunya. "Biarkan aku mengantarmu ke bandara." Tersenyum dan mengecup pipi Rei.

"Tapi aku harus ke Surabaya. Aku bisa sendiri. Sebaiknya kau istirahat saja." Rei mengusap lembut kepalaku.

"Tidak! Aku tetap akan mengantarmu."

"Uh.. wanitaku yang keras kepala.." Rei mengacak rambutku.

"Yak!" tak sadar berteriak, penonton di sekitar kami memicing padaku. Sial!
.
.
.
Bersyukur karna kebakaran di salah satu pabrik kosmetik tidak terlalu parah dan tidak memakan korban. Namun proses produksi harus dhentikan sementara waktu. Penyebabnya masih diselidiki pihak berwajib tapi asal api adalah dari ruang mesin. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan apapun.

HOPELESS (COMPLETED)Where stories live. Discover now