Bertanggung Jawab Bukan Berarti Harus Menikah

668 8 1
                                    

Semenjak kejadian itu, Rayna selalu menghindari Alden. Bahkan di tempat kerja pun seperti itu.

Rayna masih belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Hubungannya dengan Zidan pun sama seperti biasa, tidak ada kemajuan atau semakin renggang. Hubungan mereka selalu jalan di tempat.

Entah hubungan apa namanya, Rayna menamakannya hubungan nggak jelas. Mungkin setelah dia sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri, dia akan memutuskan hubungan pada pria itu, dia tidak ingin hidup penuh egois.

Zidan pantas mendapatkan yang lebih baik dari dirinya, apalagi saat ini dirinya sudah kotor, sangat tidak pantas jika harus bersanding dengan pria sebaik Zidan.

"Rayna, dipanggil sama Pak Alden, kamu disuruh menghadap ke ruangannya," panggil temannya itu, Riska namanya.

Rayna menghela napas berat. "Nggak deh kayaknya, aku lagi ... lagi sakit perut, bisa nggak kalau kamu yang gantiin aku?" pinta wanita itu.

Riska tampak menimbang-nimbang jawaban, tak lama kemudian dia mengangguk mengiyakan.

"Iya deh, kasihan juga aku lihat kamu. Dari kemarin bawaannya lemas banget, jadi lagi sakit toh."

Rayna menganggu pelan sembari tersenyum tipis. "Iya, ini lagi sakit. Bisa bantu aku, kan?"

"Bisa kok, bentar ya aku ke ruang Pak Alden dulu, nanti kalau ada apa-apa pasti aku sampaikan ke kamu."

"Makasih ya, Ris, udah mau bantu aku," kata wanita itu tulus.

"Sama-sama, besok kalau aku butuh pertolongan juga dibantu ya."

"Pasti," ujar Rayna dengan mantap.

Riska pun pergi meninggalkan Rayna seorang diri, Rayna menatap kepergian wanita itu dengan senyum lega.

"Semoga dia tidak akan menggangguku lagi," gumam wanita itu.

Rayna kembali membersihkan meja, menyapu lantai dan juga membersihkan kotoran-kotoran menempel yang ada di sana.

15 menit berlalu, Riska kembali menghampiri Rayna. Wajah wanita itu tampak begitu lesu.

"Rayna," panggil wanita itu pelan.

"Kenapa?"

Kalau dilihat dari raut wajah Riska, sepertinya wanita itu gagal.

"Dia maunya kamu sendiri yang datang ke ruangannya, dia nggak mau diwakil-wakilin. Padahal tadi aku udah bilang kalau kamu itu lagi sakit. Eh dia malah bilang kayak gini sama aku 'emangnya aku suruh dia datang ke sini buat nyangkul? Nggak, kan?' begitu coba, apa nggak ngeselin dia tuh, tapi untung aja sih dia bos, kalau nggak udah aku maki dia habis-habisan," omel Riska panjang lebar.

Rayna tersenyum, dia menepuk pundak Riska dengan pelan.

"Terima kasih ya sudah mau bantu aku. Memang sebaiknya aku yang datang sendiri, mungkin dia memang ada perlu sama aku."

Riska mengangguk mengiyakan. "Iya, dia emang ngotot banget pengin ketemu sama kamu, padahal kalau pengin ngomong tinggal dia datangin kamu aja ke sini, udah tahu kamu di sini lagi kerja," kata wanita itu sewot.

"Mungkin ada hal pribadi yang mau dia bicarakan, nggak mungkin, kan, kalau ngomong di tempat umum. Yang ada nanti orang-orang pada dengar."

"Iya juga sih, tapi bicara soal Pak Alden, emangnya kamu lagi ada masalah apa sama dia, apa kamu bikin keributan lagi sama dia?"

Rayna pura-pura berpikir, tak lama kemudian menggeleng. "Seingatku sih aku nggak pernah buat masalah sama dia, tapi nggak tahu deh kalau menurut dia. Ya udah aku mau ketemu sama dia dulu ya," pamit Rayna.

Riska mengangguk. "Iya, semangat ya, Rayna. Semoga nggak kena omel sama dia!"

***

"Akhirnya kamu mau menemuiku, Rayna," ucap pria itu lirih.

"Kenapa?" tanya Rayna to the poin.

"Kenapa?" Alden balik bertanya disertai tawa lirih. "Harusnya aku yang tanya kamu itu kenapa terkesan menghindar dariku, Rayna?"

"Menghindar? Memangnya kita punya hubungan apa sehingga kata menghindar bisa kamu lontarkan, Tuan Alden?" tanya Rayna sinis.

"Kenapa semenjak kejadian itu kamu berubah, Rayna. Aku tahu kalau aku salah, tapi ... ini semua bukan hanya salah aku."

"Aku sudah melupakan hal itu, tolong jangan diungkit lagi."

"Kalau memang seperti itu, lalu kenapa kamu terkesan menghindar dariku. Rayna, aku minta maaf jika aku melukaimu," ujar Alden dengan suara lirih.

"Aku tidak menyalahkan kamu, Alden. Karena kenyataannya di sini akulah yang memulainya lebih dulu, kamu tidak mungkin akan tergoda jika aku tidak menggodamu lebih dulu. Mari kita lupakan kejadian itu, dan aku minta tolong sama kamu, tolong jangan sampai Zidan tahu, dia akan terluka jika mengetahui hal itu," jelas Rayna.

Alden mengangguk paham, dia akhirnya bisa bernapas lega karena kenyataannya Rayna tidak marah padanya karena dirinya sudah berhasil merenggut keperawanan wanita itu.

"Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, Rayna. Dan ini jangan kamu anggap sepele."

"Apa itu?"

"Kita melakukannya sama sekali tidak memakai pengaman, takutnya nanti ...," Alden menggantungkan kalimatnya, dia menatap Rayna cukup lama.

Sementara Rayna mengerti apa yang Alden bicarakan.

"Kita hanya melakukannya sekali, aku rasa itu tidak akan mungkin terjadi."

Alden menggeleng tak setuju. "Hormon setiap orang itu beda-beda, Rayna. Aku mohon hal ini jangan sampai kamu anggap remeh," peringat pria itu.

"Lalu bagaimana kamu melakukannya dengan wanita lain? Apa mereka ada yang sampai hamil?"

Lagi-lagi Alden menggeleng. "Aku selalu memakai pengaman, hal itu tidak pernah aku lupakan."

"Lalu kenapa kamu lupa ketika bersamaku?" tanya wanita itu kesal.

'Sebenernya aku tidak lupa, hanya saja aku malas memakainya, karena kamu terlalu nikmat, mana mungkin aku akan melewatkan kesempatan itu, tidur dengan seorang perawan,' batin pria itu.

"Maaf," ujarnya pelan.

"Terus sekarang bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?" erang wanita itu, tampak begitu frustrasi karena mendengar penjelasan Alden.

"Kamu tenang saja, aku akan bertanggung jawab. Biar bagaimanapun juga dia itu darah dagingku, mana mungkin aku akan membiarkannya."

Rayna mendengkus keras. Dia menatap Alden dengan sinis. Gampang sekali pria itu mengatakannya.

"Kamu pikir aku mau menikah denganmu?"

"Bertanggung jawab bukan berarti harus menikah, Rayna, tapi kalau pun kamu mau menikah denganku, dengan senang hati aku menyambut kedatanganmu. Selamat datang di keluarga Miller," ucap pria itu dengan suara lembut.

"Mana mungkin aku mau menikah dengan pria yang suka celup sana celup sini," kata wanita itu sinis.

"Oh, ayolah. Kamu sudah melukai harga diriku, Rayna. Kamu tenang saja, kalau kamu bersedia menikah denganku, aku janji tidak akan pernah melakukan kehidupan gelap itu lagi."

"Halah! Yang namanya watak itu susah buat dirubah. Kamu pikir aku percaya?"

"Kita buktikan saja, bagaimana?"

"Nggak! Kalau pun nanti tumbuh sesuatu di dalam perutku, jalan satu-satunya aku akan menggugurkan kandungannya."

"Jangan!" bentak Alden. "Jangan pernah kamu melakukannya, kalau kamu sampai berani, aku nggak akan segan-segan memberitahu hal ini pada Zidan," ancam pria itu, sorot matanya berubah menjadi dingin.

Jangan lupa berikan vote nya ya, terima kasih.

Terjerat Gairah Sahabat Kekasihku Where stories live. Discover now