"Dia bilang kalo dia pergi, gak akan berasa ada yang ilang. Kita bakal tetep utuh, kayak dulu sebelum dia ada."
Dante memandang ke arah sofa yang kosong di sebrang sana.
"Lo jawab apa pas dia bilang kek gitu?"
"Gue berusaha yakinin kalo kematian dia gak se-sepele itu buat kita."
"Salah lo, Dek. Harusnya lo toyor kepalanya, teriakin di telinganya: Gak gitu, anjing!... Tolol."
Jhona mengucap kalimat makian itu dengan nada penuh emosi, tapi raut wajah dan pandangan matanya tetap datar; memandang lurus ke depan.
Dante menunduk. Mm, harusnya dia bisa menyadarkan Pram dengan cara lebih keras seperti itu.
Mereka sedang duduk di ruang tunggu, hanya berdua. Alya dan Erik pergi menemui dokter. Operasinya sudah selesai; hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam.
Handphone Jhona berbunyi.
Jhona mengambil handphone dari dalam saku celananya, menerima panggilan itu.
(....)
"Mama sama Papa ada di ruang rawat," ucap Jhona setelah selesai menerima panggilan.
"Pram udah dipindah ke ruang rawat?" Dante menegakkan punggung, menatap Jhona dengan sorot mata yang berbinar.
Jhona menggeleng.
"Gue gak tahu. Mama cuma ngasih tahu aja kalo Mama sama Papa sekarang lagi ada di ruang rawat. Kita ke sana, Dek."
Jhona berdiri.
Dante dengan raut wajahnya yang kecewa, ikut berdiri. Jhona merangkul bahu adiknya yang luruh, membawanya melangkah.
-
Yang tampak terbaring di atas ranjang adalah papanya. Jhona dan Dante melebarkan langkah begitu mereka melihat itu.
"Papa kenapa, Ma?" Pertanyaan itu diucap beriringan oleh mereka berdua.
Alya yang duduk di samping ranjang, menatap Erik yang tertidur dengan wajah pucat dan infus di tangan.
"Dari kemarin Papa gak makan, minum juga sedikit, bahkan gak tidur, jadinya dehidrasi, lambung, anemia, dan akhirnya pingsan."
Dante menatap papanya. Ada hal lain yang muncul di pikirannya saat mendengar sang papa tumbang.
"Apa kata Dokter soal Pram, Ma? Papa gak pingsan karena dapet kabar buruk, kan? Aku harap nggak. Tapi baru kali ini aku liat Papa sampe pingsan kayak gini."
Otak Dante menyimpulkan dengan cepat. Seumur hidupnya dia tidak pernah melihat Erik tumbang. Pasti bukan karena sekadar dehidrasi atau lambung. Papanya tidak selemah itu.
"Dek, Papa kecapekan, banyak pikiran, ditambah gak mau makan dan kurang minum, gak tidur juga. Gue juga bakal pingsan kalo lagi di keadaan badan kayak gitu, gak perlu harus dapet kabar buruk dulu," Jhona menyahut. Dia menyangkal pernyataan Dante dengan lugas.
Alya menatap kedua putranya, yang tumben sekali si abang menyangkal si adik. Kedua sudut bibir Alya terangkat samar, itu terjadi karena si abang tetap berusaha menyangkal keadaan, karena sebenarnya dia tahu si adik selalu pintar memperkirakan runtutan kejadian.
"Kejang di waktu yang lama bisa menyebabkan gangguan dan kerusakan saraf otak, ditambah penumpukkan cairan yang menekan jaringan otak, itu juga bisa merusak jaringan otak. Kita gak tahu Pram bangun kapan, dan kita juga gak tahu Pram akan bangun dalam kondisi normal atau nggak."
Jhona dan Dante menatap Alya. Keduanya berdiri mematung dengan bibir kelu; tidak tahu harus merespon penuturan mamanya dengan bagaimana.
"Papa shock," tambah Alya. Tangannya memegang tangan Erik, yang masih dalam pengaruh obat tidur itu.

BẠN ĐANG ĐỌC
PUNK (Selesai)
Tiểu Thuyết Chung**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...