PART 79

4.4K 694 105
                                    

Alya berlaga baik-baik saja saat di hadapan tiga teman Pram itu, ya, walaupun dia tahu mereka pasti sudah melihat air matanya yang tadi sempat menetes.

Mereka turun di rumah anak yang bernama Odi.

Senyum Alya masih lebar kala memutar balik mobil. Berpamitan pada tiga anak lelaki yang belum masuk ke dalam rumah itu, lewat kaca mobil yang diturunkan, Alya memperlihatkan senyumannya.

Yoyo, Ewin, dan Odi tersenyum, mengucap terimakasih untuk kesekian kalinya pada Alya.

Setelah mobil melaju, menjauh dari rumah itu, Alya menaikkan kaca mobil, dan seolah secara otomatis, air matanya yang jadi turun.

Sepanjang jalan, air mata Alya tidak berhenti menetes. Sesekali sudut bibirnya terangkat naik di tengah isakan pelannya saat terngiang suara Pram yang dengan polosnya mengakui rasa malunya karena akan memberi Alya hadiah dan menanyakan pada temannya itu bagaimana cara memberikan hadiahnya kepada Alya.

Alya tidak mengharapkan hadiahnya. Dengan mendengar niatnya saja, tidak hanya niat malah karena Pram sudah mengumpulkan uangnya untuk memberikan Alya sesuatu, Alya sangat tersentuh.

-

Alya sampai rumah sekitar pukul 17.00 WIB. Sebelumnya, dia sudah mengirim pesan pada Erik, juga pada Jhona dan Dante.

Lewat kaca spion tengah, Alya menilik wajahnya; sembabnya kentara sekali dan matanya pun masih terlihat merah.

Tampak Dante yang baru saja keluar dari rumah. Dia lalu berdiri di ujung teras, menatap mobil Alya yang terparkir.

Alya melepas sabuk pengaman. Tak ada alasan untuk tinggal lebih lama di dalam mobil sampai sembabnya hilang, dan lagi pula tidak akan hilang semudah itu.

"Papa udah pulang, Dek?" tanya Alya sembari menutup pintu mobil.

Dante mengangguk. "Mama abis nangis, ya?" tanyanya.

Sekali melihat, Dante bisa tahu.

"Iya, tadi di jalan temen-temennya Pram pada ngomongin Pram. Mama jadinya sedih," sahut Alya, tidak berbohong, tapi tidak membeberkan semuanya juga.

Dante mengatupkan bibir.

Ibu dan anak itu kemudian melangkah memasuki rumah.

"Eh, kok, belom ganti celananya. Belom mandi, ya, kamu?" tanya Alya. Baru menyadari kalau Dante masih memakai celana sekolah.

"Belom. Baru pulang juga aku," sahut Dante.

"Sore banget selesai belajar tambahannya."

"Iya. Kan, ujiannya bentar lagi," kata Dante.

"Kalo pulang sore jangan suka pake jalan pintas yang kebun itu, Dek."

"Nggak, kok, Ma, tadi aku lewat jalan raya biasa."

Alya mengangguk. "Bagus. Mama ngeri kalo sore-sore kamu pake jalan pintas yang itu, takut ada begal."

Dari arah tangga, terlihat Jhona yang melangkah dengan tas ransel tersampir di bahunya dan tangan yang menenteng jaket.

"Mau ke mana kamu, Bang?" tanya Alya.

Cengiran Jhona semakin kentara. Dari jauh dia sudah tampak mengukir cengiran.

"Mau nge-camp sama temen. Boleh, ya, Ma?" izinnya dengan cengiran yang semakin melebar, seolah sedang membujuk Alya dengan cengirannya itu.

"Ini bukan weekend. Besok emang gak ngampus?"

"Besok, kan, Jum'at, cuma satu matkul, jadi mau bolos aja gitu," sahut Jhona dengan jujur sembari mengulum senyum.

Dante menyipitkan mata menatap abangnya. Bayangkan, Jhona yang berbadan kekar dan disegani oleh banyak orang bahkan termasuk jagoan-jagoan sekolah Dante... mereka tidak tahu saja abangnya itu akan tampak sangat manis jika berhadapan dengan Alya. Aura menyeramkannya hilang 1000 %.

PUNK (Selesai) Where stories live. Discover now