3. Mari Jatuh Cinta

20.9K 1.4K 73
                                    

Zania memarkirkan mobil Akila setiba di kediaman gadis itu. Akila bergegas turun dengan pipi menggembung. Kakinya sesekali menghentak ke lantai karena sebal mengingat rencananya gagal. Andai saja Mario tak berangkat kuliah hari ini, ia dan Langit pasti tengah menikmati berbagai pemandangan yang mereka lalui di jalanan. Akila juga telah membayangkan akan mengunjungi beberapa tempat, sengaja ingin menghabiskan waktu Langit berdua dengan dirinya sampai larut malam.

"Mario ...," teriak Akila tanpa embel-embel, menunjukkan ia tengah marah besar.

Zania mengekori Akila lalu bergabung bersama Denada yang ada di sofa. Sementara Akila berhenti di depan Mario dengan kedua mata menyipit dan juga kedua tangan mengepal. Seperti ingin mengadakan perang dunia ketiga kepada anak laki-laki yang tiga tahun lebih tua dari Akila.

"Dari mana?" Mario mencubit pipi Akila yang menampilkan wajah garang. Percuma saja. Bagi Mario, Akila begitu menggemaskan seperti bayi kucing. Tak ada seram-seramnya.

"Kenapa Mario harus berangkat sekarang? Rencana Akila jadi gagal tauk!" Mata Akila semakin menyipit, kepalanya mendongak menatap Mario yang lebih tinggi dari dirinya sambil berkacak pinggang.

Mario mengedikkan bahu lalu merangkul Akila, membawa gadis itu keluar dari rumah. Akila menurut meski sedang merasa kesal pada sepupunya itu. Langkah kaki keduanya menuju bangku panjang yang ada di taman.

"Rencana apa yang gagal?" tanya Mario setelah duduk di bangku sembari mengamati wajah Akila yang berubah merah karena malu sekaligus keceplosan.

"Itu ... Akila lagi rencanain sesuatu sama Zania buat liburan nanti," jawab Akila berbohong. Ia tak ingin Mario mengetahui yang sebenarnya. Cowok itu terkadang posesif dan akan mengacaukan semua rencananya.

Mario manggut-manggut percaya. Sebelah tangannya merogoh ponsel yang ada dalam kantong hoodie yang tengah ia kenakan. Kemudian menyodorkannya pada Akila setelah layar menyala, menampilkan sebuah roomchat dirinya dengan sahabatnya.

Akila meraih ponsel itu dan membaca sederet pesan yang tertera di sana. Perlahan, matanya berkaca-kaca.

"Aaaa, Akila nggak rela Kak Mario lama di Belanda. Kalo nanti Akila kangen gimana? Terus siapa yang bakal traktir Akila jajan di mal di akhir bulan?" rengeknya membuat Mario terkekeh.

Tangan Mario terulur mengacak puncak kepala Akila. Suatu kebiasaan yang teramat sering ia lakukan semenjak Akila kecil hingga beranjak remaja. Kehadiran Akila membuat rasa rindunya pada sang adik perempuan yang telah tiada terobati. Rasa sayang Mario pada Akila kian bertambah setiap harinya.

"Kita bisa videocall. Kalo soal traktir, gue bakal ngirimin lo uang jajan, tenang aja," ujar Mario. Berusaha membujuk Akila yang saat ini hampir menangis. Terlihat jelas puncak hidung gadis itu yang memerah.

Akila menggeleng kencang. "Akila nggak mau Kak Mario setahun ini nggak pulang. Pokoknya harus pulang atau Akila susul ke sana," jawabnya dengan suara serak menahan tangis.

"Emang berani? Nanti di culik." Mario menakut-nakuti Akila sambil cengengesan.

Akila mendongak dengan mata yang mulai basah. Ia tak akan bisa jauh dari Mario selama setahun ke depan. Meski Mario menyebalkan, ia tetap tak ingin berjauhan terlalu lama. Mario adalah teman sekaligus sepupu yang sangat berarti bagi Akila.

"Kak Mario," rengek Akila kemudian menghambur ke dalam pelukan cowok itu. Suara tangisnya berubah kencang.

"Jangan cengeng, ih. Masa setahun doang gak ketemu jadi kejer gini? Tenang aja, gue bakal luangin waktu buat hubungin lo setiap harinya. Setahun itu nggak lama, Kila." Mario mengusap punggung Akila yang bergetar.

I'm Not A Narsis Baby (ON GOING) Where stories live. Discover now