12. Goresan Luka

14.2K 1.1K 1.1K
                                    

Akila merebahkan diri ke kasur setelah mengganti seragam sekolah dan juga menaruh ranselnya ke atas meja belajar. Kejadian saat di sekolah terus berputar di dalam benak kepalanya. Ia merasa kecewa pada diri sendiri setelah mencampuri kehidupan Langit sampai anak itu benar-benar marah. Baru kali ini Langit bersikap demikian dari semua tingkahnya yang menyebalkan seperti menaruh surat cinta secara terang-terangan ke dalam loker.

Helaan napas terdengar begitu berat dalam ruangan kamar bernuansa merah muda itu. Akila memejamkan mata, namun setelahnya kedua matanya kembali terbuka. Ia merasa gelisah dan dipenuhi rasa bersalah. Harusnya ia tak mengikuti Langit ke tempat itu.

"Akila harus gimana, ya?" Akila mendudukkan diri karena tak menemukan jawaban yang harus ia lakukan agar hubungannya dengan anak laki-laki itu tak berakhir seperti ini. Akila jadi resah.

Akila menengadah. Ia hanya bisa mengembuskan napas berat untuk kesekian kalinya. Sikap Langit yang demikian membuatnya semakin yakin jika anak laki-laki itu tak ingin terlihat lemah di depan siapa pun. Berusaha terlihat kuat meski Akila selalu menyadari jika Langit tengah kesepian. Sorot matanya menggambarkan kehampaan.

"Kak Langit kenapa?" tanya Akila entah pada siapa. Kedua kaki ia tekuk lalu memeluknya. Baru kali ini Akila mencoba berpikir keras. Apa yang telah terjadi pada Langit sebelumnya? Sebelum ia mengenali anak laki-laki itu.

Akila tak menemukan jawabannya. Ia menoleh ke sisi kasur lalu mengulurkan tangan, meraih ponselnya yang tergeletak di sana. Apa perlu ia cari tahu dari seseorang? Seperti pada Bayu atau Alfan yang bernotabe teman Langit.

"Nggak ... Akila nggak boleh cari tau kayak gini. Kesannya, Akila semakin mencampuri kehidupan Kak Langit. Tapi gimana, ya ... Akila pengen tau apa yang udah bikin Kak Langit begini ...." Akila memutar ponselnya.

"Kak Langit bakal semakin marah kalo Akila begini. Akila nggak mau ngambil resiko lagi ... Akila takut Kak Langit semakin benci sama Akila .... Akila nggak mau Kak Langit menjauh cuma karena ini." Akila kembali menaruh ponselnya.

Akila menurunkan kakinya. Ia berpijak pada lantai lalu melangkah menuju jendela kamarnya yang terbuka. Di luar sana, pemandangan pohon serta langit yang cerah membuat rasa gusar di dalam dada sedikit mereda. Ia harus melakukan sesuatu sebagai permintaan maaf.

Berselang detik, Akila berlari menuju ponsel lalu membawa benda pipih itu keluar dari kamar. Satu ide yang terbesit dalam benak kepala membuat Akila merasa sangat terbantu.

"Akila harus samperin Kak Langit."

Tak lama mobil Akila melaju keluar dari garasi. Perlahan, bergabung bersama banyaknya kendaraan di jalan raya. Semoga kali ini kedatangannya disambut hangat oleh Langit.

***
Kadang hidup gini banget ya, Ngit. Ibarat kita mencoba nolong seekor harimau, tapi saat ditolong malah kita yang diserang, dicabik-cabik sampai berdarah.

Perkataan Alfan terus terngiang di telinga bahkan hingga saat ini. Langit membiarkan tubuhnya semakin tenggelam ke dalam air kolam yang ada di belakang rumahnya. Perkataan Alfan ... semakin terasa menusuk dan memberi tamparan padanya setelah membuat Akila menangis di taman.

Langit tak tahu pasti apakah Alfan menyaksikan lagi pertengkaran itu. Tapi yang jelas, perkataan itu seperti tertuju padanya. Tak hanya itu, kotak bekal yang semula ia buang, tak ada lagi di sana. Ia menyempatkan mencarinya ke taman sebelum bel pulang berbunyi. Apakah seseorang telah mengambilnya? Atau ... Akila sendiri yang mengambilnya sendiri?

Pasokan udara mulai menipis. Langit tak ingin berakhir di dalam kolam, segera ia membuka mata lalu berenang ke permukaan. Ia hirup udara sebanyak-banyaknya sembari mengeringkan rambut menggunakan kedua tangan.

I'm Not A Narsis Baby (ON GOING) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora