33. Difficult Choice

10.1K 826 1K
                                    

Setelah mendapat telpon dari sepupunya, Mario segera menuju sekolah Akila dan meninggalkan tugas yang sedang ia kerjakan di laptop. Ia khawatir pada gadis itu karena suara anak itu terdengar bergetar menahan tangis.

Setiba di gerbang, ia turun dari mobil dan menghampiri Akila yang jalan mendekat padanya sambil mengusap kedua mata.

"Adek kenapa?" tanyanya cemas.

Akila menggeleng. "Enggak. Akila mau pulang," jawabnya dengan kepala menunduk.

Mario menatap lurus ke dalam sekolah. "Pulang? Anak-anak belum ada yang pulang. Adek ada masalah?" tanyanya sambil menyingirkan anak rambut Akila.

Mario menatap wajah Akila yang sembab kemudian terhenti pada pipi Akila yang memerah. Sesekali gadis itu tutupi dengan telapak tangan.

"Ini pipinya kenapa? Kok merah?" tanya Mario dengan suara mulai meninggi.

"Nggak ada, Akila mau pulang."

"Jawab Kakak Akila! Pipinya kenapa sampe merah gini? Ada yang nyakitin kamu?" tanya Mario dengan raut marah.

Akila menggeleng dengan mata berembun. "Nggak ada. Pipi Akila nggak merah cuma perasaan Kak Mario aja," ujarnya serak.

Mario merunduk sambil memegang kedua pundak Akila. Ia tatap gadis itu lekat. Pipi Akila benar-benar merah. Pasti sudah terjadi sesuatu pada sepupunya.

"Siapa yang udah lakuin ini sama kamu?" tanya Mario. Wajahnya berubah garang.

Akila menggeleng kencang. "Nggak ada."

"Kakak paling nggak suka kalau kamu bohong gini. Ayo kita ke dalam. Kakak bisa selesaikan semuanya," ujarnya lalu menarik pergelangan Akila.

"Kak Mario ... nggak mau. Akila mau pulang aja. Akila capek ... Akila nggak semangat," ujarnya dengan suara semakin bergetar.

"Nggak Akila. Kakak nggak bisa tinggal diam liat kamu di bikin begini. Siapa yang nampar kamu? Siapa yang berani nampar kamu? Bilang sama Kakak!" kata Mario tegas.

Tangis Akila pecah. Hari ini tenaganya terasa terkuras habis. Ia tak ingin ada pertengkaran, ia tak ingin ada keributan. Ia hanya butuh tempat untuk menenangkan diri dari berisiknya suara orang-orang.

"Akila mau istirahat aja ... Akila capek." Akila terisak kencang.

Mario mengusap puncak kepala Akila. "Bilang sama Kakak, siapa pelakunya. Siapa yang udah bikin kamu nangis begini ... siapa yang udah berani bikin hari kamu berantakan gini?"

Akila mendongak, menatap mata Mario dengan air mata berlinang. Dengan dada terasa sesak, ia ceritakan semuanya.

Mario semakin geram mendengar penjelasan Akila. Ia bawa sepupunya itu menuju ruang BK dan meminta guru yang bersangkutan memanggil nama murid-murid yang telah merundung sepupunya.

Sekali lagi kepada Zerliana Putri harap datang ke ruang BK sekarang juga!

Mario berdiri di samping Akila sambil menunggu perempuan yang bernama Zerliana itu. Kala pintu terbuka, ia menoleh saat seorang anak dengan gaya congkak melangkah masuk bersama antek-anteknya.

"Kamu yang udah nampar adek saya?" Mario berjalan mendekat namun lengannya cepat di tarik oleh Akila.

"Kenapa kalian bikin Akila nangis? Dan kamu Zerliana, kenapa kamu nampar Akila? Bikin malu atau tidaknya itu bukan urusan kamu!" Bu Lusi yang ada di ruangan bersuara. Dia menggantikan Pak Nodi.

"Saya ngomong yang sebenarnya kok, Bu. Udah bikin aib sekolah tapi masih aja berani masuk," katanya.

"Aib apa? Omongan kamu tolong dijaga ya! Bikin malu atau enggaknya kamu nggak bisa seenaknya nampar Adek saya!" Mario mendekat dan mengikis jarak dengan Zerliana.

I'm Not A Narsis Baby (ON GOING) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora