I

54 27 39
                                    

Arasy cukup terkesan. Ongkos ojek ternyata tidak naik semahal yang ia kira. Uang sepuluh ribu miliknya masih memiliki kembalian. Kalau harga gorengan di warung Mak Ino tidak berubah, dia bisa makan sampai kenyang.

Sambil menunggu tukang ojek memberikan tasnya yang sepertinya tersangkut di bagian depan motor, Arasy berpikir akan sekaget apa Aki dan Emak melihat dirinya. Cucu yang selama enam tahun tidak memberikan kabar, tiba-tiba muncul entah dari mana. Yah, paling tidak mereka bakalan vertigo, karena tanpa tahu malu cucunya berniat menumpang mandi, makan, dan tidur.

Selesai urusan dengan tukang ojek, Arasy langsung mengetuk pintu tanpa ragu. Diam-diam dia kagum. Rumah ini sangat berbeda sekaligus terasa familier. Banyak perubahan di sana sini, tetapi kesan klasiknya masih melekat. Dinding yang awalnya terbuat dari bambu kini sudah berganti semen. Cat kuning pun menyatu dengan dekorasi kayu yang mengkilap. Jendelanya kini berganti kaca gelap yang tidak tembus pandang. Meski begitu, kenangan dia mengupasi bilik, keluar masuk lewat jendela, dan lari-larian di lantai agar terdengar bunyi kret dari papan masih terasa kuat.

Tidak ada jawaban. Arasy mengetuk pintu lagi. Kali ini dia sengaja mengeraskan salamnya. Sayup-sayup terdengat suara dari dalam. Arasy bersiap. Begitu pintu dibuka ia telah menyengir lebar. "Emak sehat?"

Perempuan tua yang kelihatan bugar itu melotot. Setelah sadar, dia memukuli kepala Arasy dengan kepalan tangannya. "Sehat, sehat. Kau pikir sendiri! Peduli apa kau selama ini, hah?"

Emak marah besar, pikir Arasy.  Ya, tentu saja! Orang tua mana yang tidak akan begitu? Kecuali Ibu, sih. Arasy tertawa sambil berpura-pura menghindari pukulan gemas dari neneknya itu.

"Ah, sudahlah cepat masuk. Aku tak mau encokku kumat gara-gara cucu seperti kau."

Arasy melihat-lihat ke ruang keluarga. Tidak ada yang berbeda pikirnya. Letak TV masih di rak kayu yang juga berisi vas bunga sintesis, pigura, dan gelas-gelas pajangan. Mungkin yang berbeda adalah ukuran TV dan kursi yang semakin besar. "Emak pasti sukses besar di sini, ya?"

Emak tak menggubris celotehan Arasy. Dia merebahkan diri di kursi setelah menyalakan TV. "Kalau mau minum, ambil saja sendiri di dapur. Kalau mau tidur, kamarmu masih sama," ucapnya. Emak memencet-mencet remot. Dia berhenti begitu menemukan saluran yang menayangkan gosip selebriti.

Arasy mengangguk. "Di mana Aki, Mak?"

Emak mengambil napas panjang. "Heuh, laki-laki itu sudah tua, tapi masih saja hobi mengurusi perabotan tak berguna."

Wajah Arasy malah berubah antusias. "Di belakang masih ada bengkel, Mak?" Pertanyaan itu cuman basa-basi, karena Arasy bahkan tak peduli pada jawaban Emak. Dia segera menaruh tasnya di sembarang tempat, lalu bergegas ke bengkel.

"Aku bersusah payah menahannya, tapi aku penasaran. Apa kau tahu bagaimana kabar terakhir ibumu?"

•••

Bengkel Aki terletak di belakang rumah. Cukup dekat dengan kandang kambing sehingga bau kotorannya tak terelakan. Dulu, Aki biasa menghabiskan empat jam sehari memperbaiki barang-barang yang rusak. Malah, Aki dikenal sebagai tukang reparasi di desa ini. Aki cukup pandai memperbaikinya sehingga banyak warga yang sering meminta Aki membetulkan barang elektronik mereka yang sudah rusak. Aki tidak butuh bayaran. Dia sudah kaya--maksudnya dia melakukan itu karena hobinya. Kepuasan adalah ketika membuat barang rongsokan itu kembali bekerja. Jika kau bertanya apakah Aki punya pendidikan di bidang teknik atau semacamnya? Tidak. Aki cuman maniak mesin yang sering nangkring di bengkel orang dan tahu-tahu ahli mengoprek.

Pintunya terbuka lebar. Arasy masuk dan bau tahi kambing langsung menyambutnya. Dia tidak melihat Aki. Sebagai gantinya, Arasy menemukan tumpukan rongsokan. Masing-masing rongsokan itu dilabeli dengan nama pemiliknya--tanda sudah selesai diperbaiki.

"Wow, apa ini?"

Alis Arasy terangkat. Dia mendapati kipas angin tua yang kotor dan tampak rapuh. Dia yakin, kalau Arasy membantingnya kipas angin itu bakalan hancur lebur. Akan tetapi, alih-alih membanting, Arasy justru mengusap-usap kepala kipas angin itu lembut. "Satu orang lagi yang tidak berubah."

Tiba-tiba terbesit di benaknya untuk mengantarkan rongsokan yang sudah diperbaiki ini ke pemiliknya. Arasy segera mengangkut barang-barang itu ke dalam mobil pick up. Selama itu, dia masih belum bertemu Aki. Mungkin Aki sedang berada di kandang kambing. Memberi makan mereka rumput-rumput segar. Kalau sudah begitu Arasy yakin, Aki tak akan sadar rumahnya kerampokan. Merawat kambing= me time. Kakeknya ini memang punya banyak sekali kegemaran nyeleneh. Jangan kaget kalau tiba-tiba Aki punya hobi baru merawat anak-anak gajah.

Arasy mengantarkan barang sekalian bersilaturahmi. Total 13 barang yang ia antar. Tetangganya pada pangling dengan perubahan fisik Arasy. Katanya, dia menjadi lebih jangkung bahkan hampir sepantar dengan pintu rumah mereka. Katanya lagi kulitnya jadi lebih putih dan bersih asumsi mereka karena Arasy sudah tinggal bertahun-tahun di kota. Katanya lagi, Arasy makin ganteng, hidungnya banghir, lekukan rahangnya tegas, tatapannya cerdas dan lembut, rambutnya sedikit lebih panjang tapi itu membuatnya terlihat keren. Arasy mirip ayahnya. Arasy mirip artis Jepang. Yang terakhir adalah asumsinya sendiri.

Matahari kian menyusut ke barat. Sisa satu barang lagi yang harus dia antar. Itu adalah kipas angin milik kawan lamanya. Arasy cukup antusias karenanya. Seperti yang sudah-sudah, dia mengetuk pintu sambil mengucap salam. Belum ada jawaban. Arasy menunggu sambil melihat apa saja yang bisa dilihat. Oh, bahkan Aeon juga merenov rumahnya!  Setelah dua kali tidak mendapatkan jawaban, Arasy bersiap menggedor pintu dan berteriak lebih keras. Pada saat itulah, tuan rumah membukakan pintu.

"Assa--"

"Ada apa?"

Hampir saja Arasy meninjunya. "A-assalammualaikum, Pak."

Pak David menatapnya dengan tatapan menilai. Arasy gugup tiba-tiba.

"Sa-saya Arasy, cucunya Pak Rustan. Temannya Aeon dulu."

Bahkan untuk sekadar bergumam oh pun tidak. Yah, dari sebelum Arasy pindah bersama ibunya, Pak David memang sudah begini, sih. Berwajah sangar dan keras. Kaku seperti kanebo kering.

"Ah, saya kesini cuman mau ngembaliin kipas angin." Arasy menyerahkan kipas angin itu.

Barulah pada saat itu, Pak David bereaksi. Dia menggelengkan kepalanya. "Enggak usah. Kau bawa pulang atau buang saja sekalian."

Arasy bingung. "Oh, begitu? Tapi, Pak, Aeon pasti enggak mau kalau barang ini dibuang."

Canggung beberapa saat. Arasy kembali bertanya, "Kalau begitu, izinkan saya bilang dulu sama Aeon, Pak. Aeonnya ada?" 

Pak David tersentak. "Kau tak tahu atau pura-pura tak tahu, sih?"

"Eh, gimana, Pak?"

"Aeon sudah lama meninggal. Dia sudah tidak tinggal di sini lagi. Sekarang kalau sudah enggak ada urusan lagi, kau bisa langsung pergi dan bawa rongsokan ini juga."

Arasy termangu.

ADIEU, AEON! Where stories live. Discover now