III

34 23 15
                                    

"Aku yakin itu."

Arasy mulai berani menatap makhluk itu, maksudnya Aeon secara terang-terangan. "Meski kau begitu yakin, kita memerlukan bukti untuk memvalidasi keyakinanmu itu. Kau punya petunjuk?"

Dia cukup terkejut Arasy mempercayainya. Memang tidak ada orang lain yang lebih tepat daripada Arasy. Aeon berjalan ke arah jendela. Gorden otomatis tersingkap begitu dia dekati. Dia duduk di sana dengan latar belakang langit malam dan bulan purnama.

Dia mengerikan. 

"Aku mendapat surat hari itu. Mereka memintaku untuk bertemu di sumur. Aku datang ke sana dan... aku enggak ingat apa yang terjadi setelah itu. Aku telah bertanya pada banyak makhluk sepertiku, kebanyakan dari mereka memang tidak tahu pasti mengapa mereka meninggal. Sepertinya ingatan kami mengenai itu sengaja dihapus."

Arasy menarik napas dalam. Banyak makhluk sepertiku artinya desa ini memiliki banyak hantu....

"Siapa yang mengirimu surat?"

"Teman-temanmu."

***

Beberapa anak laki-laki berjalan mencurigakan ke gedung sekolah paling belakang. Di antara mereka ada satu anak yang paling menonjol. Rambutnya pirang. Memang ada beberapa orang lagi yang memiliki warna rambut tersebut, tetapi  kau akan tahu ketika melihatnya sendiri bahwa pirang yang satu itu asli. Tidak memerlukan cat murahan dari warung. Dia juga paling jangkung sendiri. Setelah melihat warna matanya kau akan tahu bahwa dia berbeda dari ras mongoloid di sekitarnya.

Dua anak bertubuh gempal menghimpitnya. Berusaha untuk memprovokasi, tetapi anak yang paling menonjol itu tidak bereaksi. Dia berjalan tenang mengikuti kemana pun mereka akan pergi. "Kau suka rendang? Aku pikir itu makanan paling enak yang pernah kucoba." Omongannya secara terang-terangan diabaikan. Padahal, Aeon cuman berusaha mencairkan suasana. Sejak dipaksa ikut dari kelas tadi, atmosfernya benar-benar menyesakkan.

Setelah tiba di tempat yang sepi, dua anak bertubuh gempal mendorong Aeon hingga membentur tembok. Untungnya, Aeon diberkati keseimbangan yang bagus sehingga tidak tersungkur ke tanah. "Kenap--"

BUGH!

Satu tinjuan keras menghadang rahangnya. Kali ini, Aeon tak memiliki cukup keseimbangan. Dia tersungkur dan melihat ada darah yang muncrat ke tanah.

Anak yang meninjunya memberikan isyarat pada teman-temannya. Langsung saja, empat-lima anak yang tersisa termasuk dua yang gempal tadi menendang badan Aeon.

Segala bentuk perih dan ngilu mengiris tulang dan dagingnya. Aeon berbaring dengan pose janin sambil menahan rasa sakit. Anak-anak itu masih terus menendangnya tak peduli seberapa keras Aeon mengerang. Mereka tidak mendengarkan. Mereka tidak mau berbicara hal apa yang menyebabkan Aeon merasakan semua ini. Mereka dungu dan bisu.

***

"Jangan bilang, kau belum pernah gentayangan di rumahmu sendiri?" Arasy menangkap ekspresi Aeon yang terperangah dengan keadaan rumahnya.

"Papa mengubah semuanya, Rasy." Ucapannya tenang. Tapi jika kau sejeli Arasy, kau akan menemukan bahwa Aeon tampak pesimis.

"Kau benar. Kemungkinan kita bisa menemukan surat itu nihil. Tapi, tak ada salahnya mencoba."

Arasy merapatkan jaketnya. Hari ini cuaca begitu dingin. Awan menutupi langit sehingga tampak akan hujan kapan saja.

Mereka sampai tepat di depan pintu. Dia hampir saja mengetuknya di saat pintu itu terbuka dengan sendirinya.

Arasy menyengir canggung.

"Kau...? Ada apa?"

Pak David yang kaku terlihat tidak senang Arasy berkunjung ke rumahnya. Arasy melihat ke arah Aeon, ekspresi anak itu ikut menjadi kaku. Aeon menatap penuh kebencian pada Pak David. Nah, apa yang harus kujawab?

ADIEU, AEON! Where stories live. Discover now