II

46 23 37
                                    

Arasy baru bertemu dengan Aki setelah membersihkan diri. Badan Aki sekarang lebih kecil dari dulu. Rasanya dia cuman berbalut kulit dan tulang. Akan tetapi, wajah antusiasnya tetap hidup. Aki bercerita bagaimana dia terkejut mendapati bengkelnya kosong. Dia makin kaget lagi saat mobil pick up-nya juga menghilang.

"Pasti kerampokan, ini!" Tangan Aki mengepal. "Aki langsung teriak-teriak. Didengar sama Emak. Emak bilang sambil ikut teriak jangan heboh begitu! Itu cuman barang rongsokan! Enggak ada orang yang mau nyuri itu termasuk maling paling miskin di dunia!" Aki memperagakan ekspresi judes Emak ketika berkata begitu. "Begitu Aki tahu kau yang mengambilnya, Aki belum bisa merasa lega. Kau kalau ke sini enggak ngabarin dulu! Dan, soal barang itu tetap amanat mau sebobrok apa kondisinya."

Anak itu cuman mengangguk-ngangguk sesekali tersenyum. Jika kau melihat sorot matanya, kau akan tahu jiwanya tidak ada di sana.

"Kau sakit, Rasy? Dari tadi diem."

Mungkin memang begitu. "Ki, Mak, Arasy izin ke kamar duluan. Kayaknya masuk angin, ini."

"Sudah minum obat?" Tanya Aki cemas.

Arasy menunjukkan jempolnya. 

Begitu sampai di kamar, Arasy langsung merebahkan diri di kasur. Pikirannya masih terganggu dengan pernyataan Pak David tadi.

"Aeon sudah lama meninggal."

Sudah lama meninggal? Kapan? Gimana bisa? Cukup sulit bagi Arasy untuk menerima satu kelimat itu. Bayangkan, sedetik sebelum Pak David berkata begitu, Arasy masih sangat yakin kalau Aeon tumbuh menjadi laki-laki dewasa seperti dirinya. Ukuran tubuhnya bertambah besar, sikapnya dewasa, dan mungkin cukup cerdas--oke, dia pasti akan tumbuh sebagai lelaki jenius. Aeon mungkin sedang mengambil jurusan Biologi atau Pertanian di salah satu kampus ternama. Bisa juga Aeon menjadi lelaki kalem dan ganteng yang amat digemari oleh perempuan. Setiap momen yang dilaluinya akan dibuahi teriakan oleh perempuan. Uh, lebay! Seharusnya Arasy tidak perlu menambahkan yang terakhir. Rasanya aneh memuji anak culun itu. Tiba-tiba Arasy terkekeh. Benar juga, dulu anak itu benar-benar cupu. Dia ingat bagaimana Aeon berdiam sendirian di pojokan, hanya membaca buku, tanpa teman. Kalau ada yang mendekatinya dan mengajak mengobrol, jawaban yang diberikan Aeon sering tidak nyambung dan malah berat pembahasannya. Anak itu benar-benar aneh, Arasy dulu tidak bisa memahaminya bahkan mungkin sampai sekarang. Dia sering diejek dan dikatai, tapi wajahnya lempeng-lempeng saja dan pasti selalu punya jawaban atas ejekan itu. Kau tahu? Jawaban mendalam yang tidak diharapkan oleh anak SD atau SMP. Semua bayangan itu sempurna sampai akhirnya dihancurkan fakta bahwa waktu Aeon berhenti di umur 14 tahun.

Tepatnya enam tahun yang lalu, itu artinya tidak lama setelah Arasy meninggalkan kampung ini. Aeon tenggelam di sumur. Menurut tetangga yang mengobrol dengannya di perjalanan pulang tadi, Aeon terpeleset saat sedang menimba air. Kebetulan sehari sebelumnya turun hujan tanpa henti. Bibir sumur dan sekitarnya jadi lebih licin. Aeon tidak langsung ditemukan begitu saja. Pak David yang tidak terlalu memedulikan Aeon baru berniat mencarinya ketika malam sudah tiba. Setiap sudut desa diperiksa, tetapi anak itu tidak muncul di mana-mana. Lalu keesokannya, seorang warga yang hendak mandi merasa air di sumur menjadi aneh. Baunya menyengat dan tidak biasa. Dia melongok ke sumur untuk memeriksanya dan menemukan sesuatu yang janggal. Ya, kau sudah tahu. Itu mayat Aeon yang mengambang. Begitulah beritanya geger dan sampai ke telinga Pak David.

Arasy tidak tahu bagaimana reaksi Pak David saat itu, tetapi kalau Arasy ada di sana dia mungkin akan mengamuk pada sumur tua sialan itu! 

Sekarang apa? Arasy mendudukkan diri. Dia menatap kipas angin milik Aeon. Dulu, kipas tua itu sering dia jumpai bertengger di bengkel Aki. Setiap kali rusak, Aeon akan meminta tolong Aki untuk memperbaikinya. Arasy sering mengejeknya. Apa susahnya beli yang baru, sih? Sudah tua dan rapuh begitu. Akan tetapi, Aeon mengabaikannya dan tetap datang hari berikutnya, hari berikutnya, hari berikutnya, dan hari berikutnya lagi untuk memperbaiki kipas rapuh itu. Saat Arasy bertanya apa alasannya, Aeon hanya tersenyum dan bersikap sok misterius.

ADIEU, AEON! Where stories live. Discover now