V

30 22 14
                                    

Arasy memasang alat pelacak pada motor Cecep dan alat perekam di lubang jendela rumahnya. Dia sudah menduga, Cecep akan panik setelah membaca surat itu. Jika dia tidak bergerak sendirian, dia pasti akan menelpon seseorang yang juga tahu bahkan terlibat dalam masalah ini. Tidak Arasy sangka, Cecep malah langsung pergi begitu. Dia yakin, Cecep akan menemui seseorang dan membicarakan tentang surat itu. Sayang sekali Arasy tidak memasang alat perekam suara di motor Cecep.

"Dia sudah keluar desa ini." Aeon menunjuk tablet itu.

Arasy melihat ke arah peta yang ditunjukannya. "Apa kau main sejauh itu?" gumamnya.

"Oh, dia berhenti di sini!"

Cecep rupanya berada di desa yang cukup jauh. Ini setara dengan satu kali jalur angkot. "Kau pernah ke desa itu?"

Arasy tidak menyadari perubahan ekspresi Aeon. Dia terperangah dan itu menghilangkan segala ketenangannya. "Satu-satunya yang kukenal di sana cuman Paman...."

***

Hari itu, Arasy baru saja membawa barang-barang dari kosannya. Masa sewanya sudah habis dan dia tidak punya uang untuk menyewa kamar lain. Maka, dia berniat kembali ke rumah ibunya. Cukup susah mengetuk pintu itu setelah semua yang terjadi. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika yang membuka pintu bukan ibunya.

"Oh, dia pemilik rumah ini yang dulu, ya?"

Arasy serasa disambar petir. "Mungkin, Bapak tahu di mana dia sekarang?"

Orang itu menggeleng.

Arasy meninggalkan tempat itu dengan tertatih-tatih. Kalau bisa, dia ingin menangis tetapi perasaan ini malah bergumul di dadanya menyebabkan nyeri yang membuat seluruh tubuhnya lemas. Dia telah membuangku.

Arasy tidak berniat untuk mencari ibunya lagi. Dia yakin itu yang diinginkan oleh ibunya. Semenjak itu, Arasy tinggal di kosan temannya. Tetapi, uang yang ada di dompetnya makin menipis. Dia memutuskan untuk mengambil cuti dan pulang ke desa ini.

***

Membuka bengkel Aki, Arasy menemukan motor tua yang sudah ketinggalan jaman. Motor itu hanya tersisa kerangkanya, tetapi mesinnya masih bagus. Sepertinya Aki rajin merawatnya. Dia mengambil kunci di salah satu rak. Setelah meminta izin, Arasy mengendarai motor itu ke suatu tempat.

"Kita akan ke tempat pamanku?" Aeon duduk diboncengan. Dia tidak memakai helm.

"Bukan." Arasy makin mempercepat lajunya. "Kita pergi ke sumur tua itu!"

***

Suara pecahan perabotan beling dengan adu mulut mengisi rumahnya. Arasy duduk di teras rumah. Dia memegangi lututnya dan berusaha untuk tidak menangis. Tidak lama, suara pintu terdengar di buka. Arasy mengintip takut-takut. Dia melihat ayahnya membawa koper dan bergegas ke dalam mobil. Mereka sempat bertatapan sebelum ayah berkata, "Urus anak ini dengan benar!" Lalu, ayah pergi dengan mobil dan tak pernah kembali.

Arasy mendengar ibunya menangis dan mengumpat. Beberapa perabotan lain juga dibantingnya. Saat itu, Arasy benar-benar takut dan tidak mengerti mengapa semua ini terjadi padanya.

"Kau..." Arasy memergoki Aeon berdiri di depan pagar rumahnya. Anak jangkung itu tampak terkejut. Dengan malu-malu, dia mendatangi Arasy dan segera mengulurkan tangan.

"Kau mau ikut?"

Di beberapa tubuhnya dibalut perban dan salonpas. Dia dengar, dahi Aeon juga dijahit karena kejadian waktu itu. Arasy bingung mau meresponnya bagaimana.

Aeon yang kesal segera menarik tangan Arasy. "Aku menemukan tempat yang bagus untuk membaca. Kau harus melihatnya."

Air mata Arasy mengalir. Mereka tidak sedekat itu untuk saling berbagi tempat rahasia. Makasih, dia tidak bisa mengucapkan itu karena keburu sesenggukan.

***

Arasy memarkir motor tua itu di pinggir jalan. Dia kemudian melewati jalan setapak yang kanan kirinya merupakan pohon bambu yang membawa kesan mistis dan kelam. Aeon di belakangnya mengikuti ragu-ragu. "Kau takut?" Arasy menyadari itu.

"Hanya, aku merasa sedikit enggak enak berkunjung ke tempat di mana aku menemui ajalku."

Arasy hampir terpeleset karena jalanannya begitu lembab. Untung saja dia masih bisa mengendalikan diri. "Bukannya hantu sering gentayangan di tempat di mana dia meninggal? Tapi kau malah gentayangan di kipas angin. Muncul ketika kipasnya menyala. Kalau dipikir-pikir kau lebih mirip jin di lampu ajaib--tidak kipas ajaib alih-alih arwah penasaran."

Aeon terperangah. "Aku enggak nyangka kau bakalan bilang begitu."

Arasy tertawa. Tak terasa mereka sudah sampai di sumur. Mereka langsung terdiam. Keheningan yang diisi oleh angin dan gesekan daun bambu memberikan waktu bagi mereka untuk mengagumi suasana ini. Bibir sumur itu kini dipenuhi oleh lumut hijau. Di sekitarnya sudah ditumbuhi rumput liar yang setinggi betis. Sumur itu sudah lama tidak dipakai. Tepatnya berhenti dipakai setelah tenggelamnya Aeon di sana. "Dengan kondisi begini, susah untuk menemukannya."

Aeon mengernyit. "Kau sedang mencari apa?"

"Alat pembunuhan. Bukti konkrit. Sesuatu seperti itu." Arasy berjalan mendekat ke sumur. "Apa kau benar-benar tidak ingat, bagaimana orang itu membunuhmu? Apa kau langsung terjatuh begitu dia dorong? Tanpa perlawanan?" Aeon bergeming. "Di berita, kau tidak diotopsi karena tidak ada penyelidikan juga terkait itu. Semuanya percaya bahwa kau hanya tenggelam. Tapi kau tiba-tiba muncul di kamarku dan bilang bahwa kau tidak mati dengan sekonyol itu. Kau dibunuh dan kau hanya yakin bahwa kau dibunuh sampai akhirnya kita menemukan surat itu."

"Kau betulan enggak ingat apa yang sebenarnya terjadi?" Arasy menatap Aeon dengan intens.

Anak itu balas menatapnya, tetapi jakunnya naik turun. "Apa yang sebenarnya kau cari? Aku sudah bilang aku tidak ingat dan aku yakin bahwa aku dibunuh dan aku percaya pada itu."

Arasy tersenyum kesal. Dia kemudian menatap langit yang sedang terik-teriknya. "Sebenarnya, walau kita punya surat itu kita belum punya bukti langsung atas kasus pembunuhanmu. Di sini juga area hutan, enggak ada CCTV yang dipasang. Andai saja ada rekaman...." Arasy seperti menyadari sesuatu. Dia segera menarik lengan Aeon ke pinggir jalan.

"Aeon, kau bisa terbang?" Aeon menggeleng. "Sayang sekali, aku rasa bakalan lebih cepat kalau salah satu dari kita bisa terbang.

"Memangnya kenapa, sih?"

"Kita cari CCTV!"

***

Arasy menatap rumah besar di depannya. Rumah ini berwarna krem dengan highlight berwarna emas. Ada beberapa mobil mewah yang terparkir di sana. Rumah ini dilindungi oleh pagar besi yang cukup tinggi dan dijaga oleh tiga satpam. Arasy benar-benar gugup. Tindakannya ini sama dengan bunuh diri. Bayangkan, dia akan mencoba menantang singa di kandang singa sekarang!

Dia mengepalkan lengan. Membulatkan tekad kemudian melangkah mendekati gerbang masuk rumah itu. Dia diantar oleh salah satu satpam ke ruang tamu. Arasy duduk di sana dengan canggung. Dia benar-benar ingin segera keluar dari sini. Hidup-hidup.

Sekitar lima belas menit Arasy menunggu, tuan rumah pun datang.

Arasy berdiri untuk menyambut. Valdi tersenyum dan menyuruh Arasy untuk duduk kembali.

"Arasy, ya? Silakan diminum."

Arasy menggeleng. 

"Kau suka dodol? Kue? Rengginang?" Reaksi Arasy sama seperti sebelumnya. Anak itu benar-benar gugup. Rasanya rumah ini dan seisinya  begitu mengancamnya. Sebaliknya, Valdi nampak begitu santai. Dia menyenderkan punggungnya ke kursi. Meletakkan tangannya di lengan kursi dan menyilangkan kakinya dengan angkuh.

"Rock a bye baby do not you fear

Nevermind baby mother is near

hmmm hmmm hmmm hmmm

sleep until morning light...."

Arasy membatu di tempat duduknya. Bulu kuduknya berdiri.

"Kau ingin bertanya, mengapa dan bagaimana dia mati, kan?" 

ADIEU, AEON! Where stories live. Discover now