01 : Sudah Biasa

2.4K 142 2
                                    

Happy Reading!



Hujan sore ini begitu derasnya mengguyur kota Jakarta,
seorang pemuda dengan seragam SMA yang melekat di tubuhnya itu terus saja mendongak, sesekali helaan napas keluar dari belah bibirnya. Ini sudah pukul lima sore dan ia masih berada di pelataran sekolahnya menunggu setidaknya hujan reda.

Perasaan tadi saat dirinya akan pergi ke sekolah, ia sempat melihat berita tentang perkiraan cuaca, katanya hari ini cerah berawan, kenyataannya sekarang malah hujan deras.Tapi ya sudahlah, itu kan hanya prediksi. Orang itu membenarkan topi yang dipakainya.

“Raga!”

Merasa seseorang memanggil namanya, pemuda dengan nama lengkap Hiraga Akhdan Fatta itu menoleh ke belakang, tepatnya ke arah koridor.

Disana, berdiri lelaki paruh baya dengan seragam putih birunya, khusus seragam keamanan sekolah. Ditangan lelaki itu terdapat beberapa kunci.

Raga menghampiri. “Eh, Pak Supri! Bapak mau kunciin kelas ya?”

“Iya, kamu belum pulang? Ini sudah sore loh.”

“Nunggu hujan reda dulu Pak, Raga hari ini bawa motor, tapi lupa gak bawa jas hujan.”

“Sudah kabari orang rumah?”

“Udah Pak.” Bohong. “Sini Pak kuncinya sebagian, biar Raga bantu.”

“Waduh, gak merepotkan?”

“Enggak kok Pak, santai aja kalau sama Raga mah.”

“Yasudah ini! kamu kunciin yang lantai bawah saja ya, yang atas biar sama saya.”

“Siap Pak.”

Raga dan pak Supri mulai mengunci satu-persatu pintu kelas. Hanya membutuhkan waktu satu jam untuk menyelesaikannya.

“Ini Pak kuncinya.”

“Makasih ya nak Raga!”

“Iya Pak sama-sama. Saya pamit pulang duluan ya Pak, hujannya sudah mulai reda.”

“Iya, hati-hati jalannya licin.”

Raga mengangguk. “Oh iya.” Ia teringat sesuatu, tangannya merogoh sesuatu di dalam tasnya. “Ini Pak, tadi Raga tiba-tiba pengen beli cokelat, kebetulan Raga alergi cokelat, daripada kebuang ini buat Bapak aja, buat Deni.” Raga memberikan dua batang cokelat yang sempat ia beli di kantin sekolah saat jam istirahat.

Deni merupakan anak pak Supri yang masih berusia lima tahun, salah satu bocah yang sering mengobrol dengannya jika ia merasa sendiri.

Pak Supri menerima cokelat tersebut. “Sekali lagi, makasih ya nak Raga, Deni pasti senang bisa makan cokelat kesukaannya.” Wajah pak Supri terlihat sumringah, membayangkan bagaimana anak semata wayangnya itu heboh sendiri saat diberikan makanan kesukaannya.

Raga mengangguk disertai senyuman, ia menunduk, menyalami tangan pak Supri yang pak Supri balas dengan usapan pelan di bahunya. “Saya pulang duluan Pak, assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”






Pemuda berusia delapan belas tahun itu baru sampai di rumahnya saat adzan Magrib berkumandang. Dipertengahan jalan hujan kembali turun dengan derasnya, Raga hanya bisa pasrah saat merasakan sekujur tubuhnya merasakan dingin dan basah.

Tak hanya itu, ia juga sempat menghentikan motornya saat melihat seekor kucing yang terjebak diantara derasnya air hujan. Setelah memastikan kucing tersebut aman di tempat yang teduh, baru Raga kembali menjalankan sepeda motornya.

“Ingat pulang juga kamu.” Sebuah suara dingin mengintrupsi kedatangannya yang baru sampai ruang tamu. “Habis darimana dulu? Main?”

“Bukan Yah, hujannya deras. Dan Raga nunggu hujannya reda dulu karena gak bawa jas hujan.”

“Halah, alasan! Sana kamu ganti baju! Setelah itu kamu bersihkan lantai yang kamu pijaki, saya gak mau rumah saya menjadi becek!”

Disela kedinginannya, Raga hanya mengangguk membalas ucapan sang Ayah. Ia melangkahkan kakinya pelan ke kamarnya yang berada di lantai dua.

Bi Munasih, pembantu keluarganya datang menghampiri Raga yang sudah berada di kamar. Ditangannya terdapat nampan berisi teh hangat dan sepiring nasi putih beserta lauk-pauknya. Ia juga sempat mendengar obrolan ayah dan anak itu tadi.

“Aden, ganti baju dulu! Setelah itu langsung makan. Untuk lantai yang basah, biar Bibi yang bersihkan.”

Raga menyalami tangan bu Munasih. Ia tersenyum lalu menjawab, “Sebelumnya makasih Bi, tapi gak usah, Biar nanti Raga aja yang bersihin Bi. Raga gak mau Ayah marah.”

“Tapi Den, Aden kelihatan menggigil begitu badannya. Biar sama Bibi saja ya?”

Raga menggeleng, bersikeras menolak tawaran bi Munasih. Lagian ini sudah biasa baginya. “Gak usah Bi, biar Raga aja. Bibi pulang aja, lagian jam kerja Bibi kan sudah habis. Laras pasti nungguin Bibi di rumah, kasihan!”

“Yasudah, makanannya jangan lupa di makan!”

“Iya Bi.”






“Huft, syukur deh gue gak sakit,” gumam Raga saat dirinya menempelkan tangannya pada kening.

Ia baru saja selesai berganti baju dan sudah sholat juga. Sekarang saatnya Raga membersihkan lantai yang dikotorinya tadi karena air hujan.

“Semangat Raga!”

“Cuma bersihin lantai mah biasa.”

“Inget lo udah biasa dari kecil!”

_______________________________________________
To Be Continue

Segitu dulu untuk chapter pertama!

Jangan lupa voment!

See you.

Terima kasih.

Piala untuk Ayah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang