[16] Menyimpan Sendiri

2.3K 563 307
                                    

Aku terbangun saat mendengar suara muntah dari dalam kamar mandi. Aku membuang napas malas, ingin sekali melanjutkan tidur dan mengabaikan suara itu, tapi mendengar Kenneth yang sepertinya sangat tersiksa sampai seperti orang yang sedang tercekik, membuatku benar-benar membuka mata. Aku merasa kesal dengan diriku sendiri yang sedikit sulit mengabaikan rasa iba pada seseorang yang sedang sakit. Karena itu, sekalipun kesal dan merasa sangat terganggu, aku perlahan bergerak dari tempat tidur ingin menghampiri Kenneth—yang ternyata sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah yang masih basah.

"Apa aku mengganggu tidurmu?"

Sudah tahu, malah bertanya, cibirku dalam hati. Tetapi aku memilih mengabaikan saja dan berjalan pelan menghampirinya.

"Perutku mual sekali," adunya saat aku membantunya kembali berbaring di tempat tidur. Hampir saja aku memutar bola mataku malas. Tetapi akhirnya aku mengurungkan niatku. Sekali lagi, aku harus berperan sebagai seorang istri yang sedang mencoba memaafkan kesalahan sang suami di masa lalu.

"Kau pernah mendengar tentang kehamilan simpatik?" Aku bertanya tiba-tiba saat kembali ikut berbaring di sebelahnya. Tentu saja aku ingin kembali tidur, karena sekarang masih kurang dari jam setengah empat pagi.

"Tidak. Kenapa tiba-tiba membahas tentang hal itu?"

Aku mengedikkan bahu singkat, lalu menyusun posisi bantal agar bisa membuatku nyaman terlelap. "Kondisimu sekarang seperti ciri-ciri kehamilan simpatik dari seorang pria yang mual-mual karena pasangannya hamil."

"Memangnya kau sedang hamil?" Kenneth justru bertanya dengan mata memicing.

Aku justru tertawa mendengar pertanyaannya. "Aku bilang pasangan, bukan istri, Ken. Mungkin saja kau menghamili pasanganmu dan sekarang kau yang mengalami mual dan muntah seperti ini," jawabku, yang sengaja kukatakan dengan nada bercanda—tapi Kenneth justru membisu dengan wajah tak suka. "Aku bercanda. Atau jika itu kebenaran pun, aku tidak akan marah. Hanya saja, kau tentu tahu apa konsekuensinya," ujarku. "Tidurlah lagi. Ini masih jam setengah empat pagi." Aku membalikkan tubuh membelakanginya dan mulai mencoba tidur kembali.

"Itu bukan bercanda jika kau membuatku terluka dengan kalimatmu, Kyla."

Huh! Drama murahan!

Aku masih pura-pura terlelap saja. Tetapi sialnya, Kenneth justru mendekat dan memelukku dari belakang. Aku ingin menghindar tapi dia justru semakin menarikku mendekat. Menyebalkan!

"Anggap ini hukuman untukmu karena sudah berkata seenaknya padaku." Kenneth mengakhiri kalimatnya sambil mencium bahuku dengan lama, lalu setelahnya menjadikanku guling dalam pelukannya.

Akhirnya, tersisa aku yang hanya bisa mengumpatinya dalam hati. Malas karena harus berdebat di pagi buta, aku memilih ikut memejamkan mata saat mendengar suara dengkuran halusnya yang menandakan dia sudah kembali terlelap.

Pagi harinya aku terbangun dan tidak menemukan Kenneth di dalam kamar. Setelah ingat kalau hari ini adalah hari pertama aku kembali ke perusahaan—tentu sebagai Kylana Dwynetta—aku memilih bersiap-siap dan tidak ingin disibukkan dengan mengurus Kenneth yang entah masih sakit atau tidak.

Ah, soal kalimatku subuh tadi, aku memang tiba-tiba terpikirkan tentang kemungkinan itu. Bisa saja kan, karena terlalu mencintai Elora yang mungkin sedang mengandung anaknya, tapi Kenneth yang harus merasakan mual-mualnya? Tentu kemungkinan itu bisa saja terjadi. Salahkan saja otak dramaku yang memang suka sekali membaca cerita-cerita romansa penuh drama. Jika tidak seperti itu, mana bisa aku mengetahui cerita novel Clarity ini, kan?

Padahal, akhir cerita dari novel itu sudah ada. Tetapi aku justru harus masuk ke dunia ini dan seolah diminta untuk membuat cerita sendiri dengan aku yang menjadi pemeran utamanya. Tentu saja begitu, karena sejahat apa pun Kylana di mata pemeran lain, aku yang memerankannya sekarang adalah pemeran utama dalam ceritaku—kami, maksudnya.

Clarity [Completed] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang