02

12K 265 6
                                    

Terima kasih atas feedback yang diberikan di bab 1 kemarin.

Sebelum membaca ke bawah, cuma ngasih tahu kalau cerita ini berating dewasa. Mohon yang belum sesuai umur, atau di bawah 17 tahun, cari bacaan yang lain ya. Terima kasih.

Jangan lupa juga buat ninggalin jejak vote dengan meng-klik logo bintang di pojok bawah. Juga jangan lupa ninggalin komentar. Kali aja ada kesan, saran, atau sekedar ngasih tahu ada typo. Jujur, kalau ada yang ngasih vote dan komentar, aku jadi semangat nulisnya, hehe.

Selamat membaca.

***

Menjadi seorang Ketua RT, berarti harus siap menghadapi problematika para warga, setidaknya di lingkungan rukun tetangga setempat. Ada saja masalah yang datang menghampiri dan mesti diselesaikan dengan segera. Mulai dari sekedar adanya maling ayam, kekerasan rumah tangga, bahkan sampai keributan antar tetangga, sudah seperti menjadi hal yang lumrah terjadi. Kepala Adam serasa mau pecah menghadapi segala permasalahan yang ada.

Sebagai Ketua RT, Adam sebisa mungkin untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, tanpa harus condong ke salah satu pihak. Ia mesti memposisikan diri di pihak netral.

Kurang lebih sekitar lima bulan sudah Adam menjabat sebagai Ketua RT, sekitar lima bulan itulah dirinya dinilai oleh Pak Kades, cukup berhasil dalam menjalankan tugas. Ia sampai diberi pujian. "Bagus, Dam. Lanjutkan tugasmu dengan baik!"

Sudah tentu Adam bangga. Dipuji oleh Pak Kades bukan sesuatu yang sering dilakukan. Makin semangat saja ia dalam menjalankan tugas dan amanah yang diberikan.

Entah mungkin karena dinilai bagus dalam menjalankan tugas dan amanah yang diberikan, bisa-bisanya padahal akhirnya Adam malah diberikan tugas lagi yang kali ini cukup membuatnya ragu sendiri. Ia disuruh untuk menampung Raja, anak seorang dukun yang mati secara tragis dengan dibakar hidup-hidup oleh para warga. Mau menolak, ia merasa tidak enak sendiri. Pun juga takut citranya sedikit turun di mata Pak Kades. Sungguh, ia dalam posisi terjepit. Pada akhirnya ia mau saja diberi tugas tambahan. Sialan, pikirnya.

Sialnya lagi, ternyata Raja sungguh amat sangat kurang ajar. Dia berani seenaknya sendiri di rumah Adam setelah tinggal kurang lebih dua bulan lamanya. Hancur sudah kesan baik di awal yang sempat terpikirkan.

Tiga bulan sudah Raja kini tinggal satu rumah dengan Adam dan Lastri. Jika di satu bulan pertama dia nampak macam pemuda pada umumnya, kini sudah berubah macam seorang Raja sungguhan.

"Ambilkan minum!"

"Kerja yang benar, jangan lelet!"

"Ayo, pijat pundakku!"

Berbagai perintah terlontar dengan seenaknya oleh Raja. Sama sekali tidak ada sopan santun kepada orang yang lebih tua usianya. Dasar kurang ajar. Adam sering kali mengumpat. Namun, hanya sebatas dalam hati. Itu karena, entah kenapa, ia ataupun Lastri, sama sekali tidak bisa membantah.

Ingin sekali mereka marah dan berontak. Terutama Adam. Emosinya serasa sudah mengumpul cukup banyak untuk dilontarkan amarahnya. Namun, perkataan Raja yang sering diulang sudah mampu untuk meredam. "Ini semua normal!"

Ini semua normal.

Tiga kata yang tidak bosannya dilontarkan oleh Raja sudah cukup untuk membuat Adam ataupun Lastri tunduk seketika. Mereka dengan patuh menjalankan setiap perintah yang diberikan tanpa ada satupun penolakan. Bahkan mereka tidak lupa untuk berucap bak seorang pelayan yang patuh pada tuannya dengan sedikit menundukkan kepala. "Baik, Raja."

ADAMWo Geschichten leben. Entdecke jetzt