Perintah Orangtua

1.1K 197 22
                                    

"Tapi Mama, Mara ini udah bukan anak kecil loh! Umur Mara udah 23 tahun dan dua tahun lagi udah seperempat abad. Nggak banget deh harus di titip-titipin segala, emangnya anak kecil apa, lagian Mara ini mau kerja Ma, di sana bertahun-tahun, ya kali bertahun-tahun itu Mara numpang terus di rumah teman kalian. Dih ogah!!"

Hanya dalam satu tarikan nafas panjang Samara, begitu nama perempuan berhidung kecil tersebut merepetkan protes pada Sang Ibunda yang tengah sibuk menyiapkan sarapan. Tidak peduli betapa sibuknya Sarah pagi ini menyiapkan sarapan karena bangun kesiangan Samara terus mengekor pada Ibunya kemanapun Ibunya melangkah.

Sungguh Samara kali ini benar-benar tidak setuju dengan usul dari orangtuanya. Bagaimana tidak, usianya sudah bukan anak-anak lagi walaupun tubuhnya masih mungil dan seringkali salah sangka di kira anak SMP karena menurun gen minimalis dari Sarah, gen seorang Amar yang tinggi besar khas seorang Perwira Tentara yang bertugas di Korps Marinir sama sekali tidak berpengaruh pada diri Samara.

Nasib baik Samara anak tunggal, jika Samara memiliki adik bisa di pasti kan Samara akan di cap sebagai produk gagal dari orangtuanya. Ada sisi baik dari anak tunggal, ada pula sisi buruknya. Salah satunya adalah Samara terus di anggap anak kecil oleh orang tuanya.

Samara sudah selesai kuliah dan sekarang dia resmi menjadi pegawai magang di salah satu stasiun Televisi di divisi berita seperti yang selama ini sangat di impi-impikan olehnya, tinggal sejengkal lagi Samara bisa meraih impiannya menjadi seorang Jurnalis tapi Orangtuanya justru kembali mengurungnya.

Coba bayangkan, untuk menjadi seorang Jurnalis tentu Samara akan banyak menghabiskan waktu di luar sana berburu berita bahkan berhari-hari tidak pulang, lantas bagaimana ceritanya orangtuanya justru memintanya untuk numpang di rumah teman mereka.

Membayangkan akan tinggal dengan Orangtua sejenis orangtuanya yang super kolot dan cerewet terhadap anak perempuan membuat kepala Samara pening tidak karuan.

Gemas karena Mamanya tidak kunjung menjawab dan malah sibuk dengan lotus yang kini di potong untuk menjadi salad, Samara menggoyangkan lengan Mamanya dengan manja, merengek untuk mendapatkan perhatian dari Mamanya.

Benar-benar Samara ini, satu waktu dia berkata jika dia tidak ingin di anggap anak kecil, tapi di waktu yang lainnya sikapnya masih seperti bayi.

"Ma.... Mama denger Mara ngomong nggak sih? Diem aja, sariawan emangnya?"

Samara mencebik, bibirnya yang kecil tampak mengerucut, khas sekali dirinya jika sedang kesal, tahu jika anaknya tengah berada di ambang batas kesabaran, Sarah akhirnya tidak bisa diam saja.

Seketika Sarah berbalik menatap ke arah Samara, sorot mata tajam khas Ibu-ibu yang bisa menusuk tanpa harus menyentuh seketika membuat nyali Samara menciut. Kadang Samara lupa betapa mengerikannya Mamak-mamak klan terkuat di Bumi ini, jangankan dirinya, Papanya saja kicep jika sudah berhadapan dengan Yang Mulia Ratu Sarah Pertiwi ini.

"Udah nggak usah kebanyakan protes, tinggal pilih saja. Kamu mau tinggal sama Om Ares seperti yang Mama Papa bilang atau kamu tetap tinggal di sini biar Mama kawinin sekalian kamu sama pilihan Mama, jadinya selamanya kamu nggak akan pergi dari Mama. Silahkan pilih yang mana!"

Tidak hanya memberikan pilihan yang sulit untuk Samara, bahkan kini Sarah pun berkacak pinggang pada putri tunggalnya tersebut persis seperti seorang ditaktor yang sedang memberikan perintah tidak terbantahkan.

Samara yang sudah kecil pun semakin menciut, kadang Samara heran dengan orang-orang yang seringkali memuji Mamanya ini sebagai seorang  Ibu Jala yang tegas dan kuat namun juga lembut dan bersahaja karena di hadapan Samara Mamanya ini persis seperti Singa Gunung Betina yang mengerikan. Setiap kata-kata beliau adalah hal mutlak dan tidak ada yang berani mempertanyakan titah dari Sang Penguasa rumah.

"Papa, tolongin Mara." Bukan hanya Samara yang tidak sanggup membantah Mamanya, saat Papanya masuk ke dalam dapur dan mendapati Samara menatap penuh permohonan untuk menolongnya. Sosok Amar Wardhana justru menggeleng pelan, sosok Amar yang merupakan Laksamana madya dengan bintang di bahunya ini sama sekali tidak ingin terlihat dalam perseteruan antara dirinya dan sang Ibu.

"Haiiiissss, jangan libatkan Papa. Turutin apa kata Mamamu, toh ini juga kesepakatan Mama dan Papa. Dari pada kamu bebas liar di Jakarta sana, lebih baik kamu tinggal di rumah Om Ares, seenggaknya dia bisa jagain kamu."

"Duuuuh, pinter banget si Papa. Jadi makin cinta Mama sama Papa kalau kayak gini."

"Ya gimana ya Ma, kalau Papa nggak di kubu Mama ntar Papa Mama tendang dari kamar." Tawa renyah Amar mengudara sarat akan godaan kepada Sang istri yang di tanggapi Sarah dengan senyuman malu-malu. Usia pernikahan yang begitu panjang nyatanya tidak mengurai kemesraan mereka.

Samara mencibir melihat kemesraan Papa dan Mamanya yang seringkali tidak tahu tempat ini, bahkan di depan mata anaknya Papa dan Mamanya sama sekali tidak sungkan memperlihatkan kemesraan mereka. Hiiisss, Samara hanya bisa memutar bola matanya dengan malas.

"Bucin aja teros si Papa sampai anaknya nggak di bela. Awas saja kalau nanti Mara punya suami, huuuuuh, Mara nggak akan minta tolong ke Papa lagi."

Ada rasa iri sekaligus bahagia di rasakan Samara melihat potret hangat keluarganya yang tidak lekang oleh waktu tapi sekarang Samara sedang gemas dengan kedua orangtuanya akhirnya membuat Samara gontok sendiri. Dengan kesal Samara membanting sendok makannya dan pergi meninggalkan ruang makan begitu saja, keputusan orangtuanya sudah bulat dan tidak bisa di bantah. Tidak peduli Samara akan menangis berguling-guling atau mogok makan sekali pun keputusan tidak akan di rubah.

Bayang-bayang akan tinggal sendiri di apartemen yang sudah di carinya selama ini dengan berbagai keseruan hidup mandiri seketika buyar. Haaah, baru membayangkan akan tinggal dengan satu keluarga asing dengan beberapa anggota keluarga yang bahkan tidak di kenal Samara benar-benar menyiksanya.

Samara berpikir sepertinya Om Ares ini sejenis Papa dan Mamanya yang hanya punya anak satu biji sehingga dia dan istrinya mau merepotkan diri dengan menampung anak sahabatnya.

Hari-hari selanjutnya Samara lewati dalam perang dingin dengan kedua orangtuanya yang juga sama kekeuhnya dengan keputusan yang di ambil oleh mereka, sampai akhirnya hari H keberangkatan Samara tiba.

"Sorry Mama sama Papa nggak bisa nganterin kamu ke Jakarta ya, Ra. Tahu sendiri kan Mama harus nemenin Papa tugas di sini, mana bentar lagi Mama arisan sama Ibu Jala yang lain."

Yah, sudah bukan hal baru bagi Samara mendapati Mamanya akan menemani Papanya, kemanapun Papa bertugas, maka Mamanya akan selalu mendampinginya. Cinta yang begitu besar di antara mereka membuat mereka berdua sama sekali tidak terpisahkan dan Samara memakluminya dan sama sekali tidak mempermasalahkannya. Toh usia Samara sudah terlalu bangkotan untuk di antar-antar pergi.

Langkah Samara begitu ringan saat akhirnya kakinya melangkah di Bandara Soekarno-Hatta, dengan sneaker yang membungkus kaki kecilnya, Samara sama sekali tidak kesulitan melewati padatnya orang-orang yang terburu-buru dengan jadwal mereka masingmasing.

Sampai saat akhirnya Samara tiba di luar untuk memesan taksi online yang akan mengantarkannya ke alamat apartemen yang sudah Mamanya berikan kepadanya, sosok asing dengan suaranya yang berat terdengar memanggil nama Samara dengan sangat keras, untuk sejenak Samara terpaku tidak percaya dengan sosok yang kini dengan langkah lebar datang menghampirinya.

"Samara, kan?"

ARESSA CPB Series (Romance Adult 18+)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt