4. Peluk Paling Nyaman

453 87 31
                                    


Ada kesalahan teknis, ya, di bab sebelumnya. Nama ayahnya Semesta itu Rivaldi, bukan Revindra. Maaf sebelumnya.

Tidak ada yang namanya kebetulan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tidak ada yang namanya kebetulan. Semua yang terjadi memang atas kehendak Tuhan. Begitu pula kala malam itu, di mana Bumi hancur untuk yang kesekian kalinya, takdir mempertemukan ia dengan Asta.

Entah bagaimana, Asta bisa ada di sini. Anak itu meletakkan barang belanjaannya begitu saja di tepi jalan, hanya untuk memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan. Hangat ini, hangat yang selalu Bumi rindukan. Peluk paling nyaman yang tak pernah lagi Bumi rasakan.

"Kakak kenapa?" bisik Asta di samping telinga Bumi, sembari tangannya mengusap punggung yang lebih tua. Mengabaikan posisi mereka berada saat ini, Asta hanya ingin memberi tenang untuk sosok yang berarti dalam hidupnya.

Tidak ada jawaban. Bumi hanya mengeratkan pelukan. Seakan lewat pelukan itu, Asta bisa mengerti tentang sakitnya, lukanya, dan tentang apa yang selama ini dirinya simpan.

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa, semua akan baik-baik aja."

Asta sadar, dirinya bukan Tuhan, hanya manusia biasa yang juga penuh kekurangan. Namun lewat kekurangan ini, Asta selalu ingin bisa berguna bagi orang-orang sekitar. Jika dengan pelukannya mereka bisa merasa tenang, maka Asta akan memeluk mereka seerat yang dirinya bisa.

Setelah semua tenang, Bumi membawa Asta ke sebuah taman. Dan Bumi baru sadar, jika anak itu sejak tadi membawa makanan. Mungkin, baru saja membelinya di sekitar daerah sini.

"Kadang, gue mau pergi sejauh mungkin. Pindah keluar negeri, hapus kontak Mama dan Papa, juga orang-orang yang selama ini membebani hati gue. Gue mau memulai kehidupan yang baru, Ta. Tapi ... gue masih ragu." kata Bumi membuka suara.

"Kenapa ragu?"

"Karena sejujurnya, gue belum sanggup pergi jauh dari Mama sama Papa. Gue masih butuh mereka. Dan bodohnya, kadang gue berpikir, kalau mereka bakal pulang, dan kita bisa kumpul sama-sama. Ada gue, Mama, Papa, dan Kakak."

"Semua memang nggak akan mungkin. Tapi, kalau Kakak mau sedikit berdamai dengan keadaan, Kakak bisa kumpul lagi sama mereka. Yah, walau nggak bisa bertiga sekaligus gitu."

"Sayangnya, gue belum bisa berdamai. Semua nggak semudah itu, Ta."

"Iya, aku paham kok. Untuk menerima kenyataan memang nggak semudah itu. Orang-orang yang bilang dan anggap kita lebay, mereka hanya nggak tahu rasanya. Seorang anak nggak akan bisa hidup tanpa figur orang tua. Wajar, kalau Kakak kadang ingin egois. Itu wajar, Kak, sangat wajar."

Bumi tersenyum tipis. "Thanks."

"Sama-sama. Malam ini, rasanya memang capek, tapi pasti besok akan lebih capek. Makanya sekarang kita harus sembuh dulu, setidaknya menyiapkan diri untuk menyambut kejutan di esok hari."

"Gue anter lo pulang." Melihat Asta yang sudah berdiri, Bumi juga sontak berdiri.

"Nggak perlu, rumah aku deket dari sini, kok. Kakak hati-hati pulang nya. Jangan begadang, karena besok masih harus sekolah. Aku duluan, ya, Kak Bumi jelek!"

|✔| Surat Terakhir SemestaWhere stories live. Discover now