3

690 99 35
                                    

Danita

Aku tersenyum lebar, sambil menikmati hangatnya sinar matahari Labuan Bajo dan deburan ombak yang menenangkan.

Kalau boleh jujur, aku tidak menyesal menabung uang 'kas' bulanan hampir 10% gaji ku selama enam bulan terakhir ini, bila akhirnya aku bisa menikmati liburan di salah satu resort terbaik di Labuan Bajo ini.

Infinity pool yang menghadap hamparan pantai yang dihiasi Phinisi yang sedang berlayar, segelas mocktails, serta wangi khas laut yang susah ditemui di Jakarta dan sekitarnya.

Bisa tidak, aku tidak usah kembali ke Jakarta, dan menetap disini saja?

"Dan?"

Aku menoleh dan mendapati Kafi, berdiri di samping nest chair yang menghadap hamparan Pantai Waecicu yang sedang ku duduki.

Kafi Harris, teman kuliah ku yang bergelar dokter dan baru mendapatkan gelar spesialis bedahnya tahun lalu itu tampak menawan dalam balutan short chino pants, Polo shirt, dan Rayban Aviator-nya.

"Hey," aku melepas Dior So Real Sunglasses ku, dan menutup Hermes Temptation yang sedang ku baca "Mau sunbathing?"

"Ngga juga, tadi lagi iseng jalan-jalan, dan kebetulan lihat lo lagi duduk di sini, sendirian. Jadi gue temani aja deh, daripada lo dibawa kabur Komodo."

Kafi tertawa sendiri atas jokes bapak-bapaknya itu, yang sempat membuat ku teringat dengan masa-masa kuliah kami dulu.

Saat kami berdua sama-sama menempuh pendidikan perguruan tinggi di Malang dulu, Kafi dan aku cukup dekat, karena kebetulan hampir seluruh Kakak Sepupu ku adalah Kakak Tingkatnya, dan paman ku adalah konsulennya.

Kedekatan kami bahkan seringkali menimbulkan salah paham dari para mantan kekasihnya.

Then as years passed by, we're back to Jakarta and we're busy with our own life, building our careers, we grew apart.

Sebenarnya, renggangnya pertemanan kami bisa dibilang juga sebagian besar salah ku, karena beberapa kali Kafi menghubungi ku, namun aku melewatkan panggilannya karena sedang sibuk dengan pekerjaan ku, atau kelewat lelah dan burn out dengan pekerjaan ku hingga tidak memiliki tenaga untuk membalas pesannya yang sekedar menanyakan kabar ku.

"Fi."

"Ya?"

"Lo udah jadi spesialis, tapi jokes lo masih garing gitu ya?"

Kafi tertawa mendengar sindiran ku, dan duduk di ujung nest chair ku.

"Ih, sempit Fiiii!"

"Masih banyak tempatnya, Dan."

Aku memutar mata ku malas dan mendengus "Terserah lo, deh."

"Apa kabar, Dan?"

"Good. You?"

"Baik. Tapi apa yang lo harapkan dari orang yang baru selesai residensi, dan jadi spesialis tahun pertama?"

"I can see it from the dark circle in your eyes." Aku menurunkan kacamata ku dan menyesap mocktails ku, merasakan segarnya strawberry, peach, orange, mint dan fresh squeezed lime melalui tenggorokan ku. "But at least you got a great money, kan? Ga cuma dua ribu per-pasien kaya yang lo keluhin ke gue, pas lo dokter umum dulu."

Kafi kembali tertawa mendengar ucapan sarkas ku, yang menyindir curhatannya bertahun-tahun lalu, saat ia mengeluhkan bayaran bersihnya, yang menurutnya tidak jauh beda dari tukang parkir, dulu.

And you throw your head back laughin' like a little kid
I think it's strange that you think I'm funny 'cause he never did.

Aku menghela nafas dan mematikan lagu yang diputar dari spotify ku, dan melepas airpod ku yang masih terpasang di telinga sebelah kiri.

LoversWhere stories live. Discover now