5

696 100 13
                                    

Aluna.

Sudah genap satu minggu semenjak Managerku pensiun dini. Tentu, aku sebagai Asisten Manager yang terkena imbasnya karena beliau mengajukan pensiun dini secara mendadak.

Sehari setelah (mantan) managerku mengajukan one month notice untuk pensiun dini, aku juga mendapat tawaran promosi untuk menggantikan posisi beliau.

Terdengar menggiurkan, bukan?

Coba bayangkan, aku yang baru berusia 29 tahun ini, sudah bisa mendapat promosi menjadi manager. Dengan tawaran promosi ini, aku sangat bisa sekali menego kenaikan gaji yang sangat signifikan. Jenjang karir dan masa depan cerah sudah ada di depan mata. Sungguh ini adalah mimpi hampir semua orang seusiaku.

Tapi, tidak. Aku tidak menerima promosi itu begitu saja. Jabatan baru, gaji baru, sudah pasti tanggung jawab baru. Tanggung jawabku yang sekarang saja, sudah ingin membuatku muntah, bagaimana nantinya kalau aku menerima promosi tersebut. Bisa-bisa aku jadi setengah gila.

Lagi pula, aku bekerja bukan untuk mengejar kedudukan. Gajiku yang sekarang, sudah sangat lebih dari cukup. Aku bukan tipe orang yang berprinsip harus keluar dari zona nyaman. Karena ya, kalau sudah nyaman, kenapa harus keluar?

Aku suka hidupku yang seperti ini, datang ke kantor, bekerja sesuai porsi, lalu pulang, kemudian menerima gaji di setiap tanggal 25.

Kalau melihat orang yang seumuranku sudah lebih sukses dari aku? Ya, good for them. Bagiku, hidup bukan kompetisi, tidak perlu berlari, jalan santai juga tidak masalah. Yang penting aku hidup.

Jam kecil di meja kerjaku sudah menunjukan pukul 12.05 siang, artinya sudah waktunya untuk istirahat makan siang.

Aku berjalan menuju mushola yang berada di lantai tempat kerjaku dan ternyata kondisinya masih sangat penuh, bahkan mengantri. Karena tidak ingin membuang banyak waktu, aku putuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Kebetulan perutku juga sudah keroncongan, tidak baik juga bukan ibadah dalam kondisi lapar? Nanti jadi tidak khusyuk! Jadi aku putuskan untuk langsung ke kantin kantor.

Kondisi kantin ternyata jauh lebih ramai. Saat perjalanan menuju kantin, aku sudah memutuskan menu apa yang akan aku makan untuk makan siang hari ini. Karena sedang pusing dan rasanya ingin memuntahkan semua kerjaanku, rasanya, ayam penyet adalah pilihan yang tepat.

Ayam bagian paha yang sudah diungkep dengan bumbu kuning, kemudian digoreng hingga berwarna cokelat keemasan. Tentu kulitnya akan sangat garing, tapi karena yang aku ingin adalah bagian paha, jelas dagingnya akan masih sangat lembut dan juicy. Kemudian dipenyet dengan sambal yang pedas dan gurih, di makan bersama nasi hangat dan lalapan yang melimpah. Sungguh sedap, baru membayangkannya saja, aku sudah bisa merasakan kenikmatannya.

Kadang aku heran, kenapa ada orang yang memilih untuk menggunakan obat-obatan terlarang. Padahal di dunia ini, ada makanan senikmat ayam penyet.

"Sist, mau ayam penyet dong satu. Paha, ya." Kataku pada satu-satunya penjual ayam penyet di kantin kantorku. Beliau tidak mau dipanggil teh, mbak, ibu, atau semacamnya, jadi aku selalu memanggilnya dengan sebutan sist atau terkadang bestie.

"Ih! Pas banget ini paha ayamnya tinggal satu."

Ah.. aku sungguh beruntung. Mungkin ini terdengar sepele, tapi, kalian pernah tidak? Merasa jadi tidak berselera karena apa yang ingin kalian makan itu tidak ada. Perutku yang sudah kosong dan keroncongan ini, sudah sangat siap menerima ayam penyet bagian paha. Tapi kemudian, apa yang aku makan tidak sesuai dengan rencana awal. Hal itu benar-benar bisa merubah selera makanku. Bahkan, tidak hanya selera makan, kondisi mood ku setelahnya juga pasti akan berubah.

LoversWhere stories live. Discover now