27

26 4 0
                                    

Jangan lupa vote~

Tama mengetahui siapa yang membunuh Shania semenjak tadi pagi melalui siaran televisi. Tama tidak mengenal siapa pelakunya tapi Tama tahu dan Tama pernah berurusan dengan mereka. Mereka adalah orang yang meminta Shania melalui Tio waktu itu. Mereka adalah orang yang hampir saja menghabisi Tama saat Tama berusaha mengambil Shania dari mereka. Tama tidak tahu bagaimana gilanya mereka terhadap Shania sampai-sampai mereka membunuh Shania, dan Tama juga tidak menyangka ternyata mereka senekat ini. 

Mereka berkelompok, tapi yang ditangkap polisi saat ini satu orang saja karena dialah yang benar-benar menembak Shania. Mungkin beberapa hari lagi yang lainnya juga akan diperiksa polisi juga, Tama berharap itu.

Pagi itu, tanpa berfikir panjang dan tanpa memberitahu Zaky Tama pergi kegedung lama tempat dimana orang-orang itu berkumpul. Ternyata benar, mereka semua ada disini dengan kaos hitam yang dibelakangnya ada logo geng mereka. Tmpilan mereka tidak jauh berbeda saat pertama kali Tama melihat mereka. 

Tama datang hanya dengan tangan kosong. Muncul dari balik pintu dengan wajah marah yang membuat mereka terkaget dan langsung berdiri. Berniat datang kesini untuk menghabisi mereka tapi nyatanya Tamalah yang dihabisi oleh mereka. Dengan kejamnya mereka mengikat Tama kesebuah kursi lalu mereka meninju Tama secara bergantian, sampai membuat Tama benar-benar lemah dan tak berdaya. Wajah pria dengan rambut yang sudah memanjang itu penuh dengan lebam keunguan dan darah segar.

"Berani-beraninya lo datang kesini, berlagak ingin menghabisi kita! Lo itu nggak ada apa-apanya dibanding kita, jadi jangan coba main-main sama kita!"

"Lo harus inget." pria itu meluruskan wajah Tama yang sempat melemah kesamping. "Kakak lo itu udah mati ditangan kita, jadi jangan sampai lo juga mati ditangan kita." pria itu menendang kursi yang duduki Tama, akibatnya Tama yang terikat disana juga ikut abruk kelantai. Wajahnya yang dipenuhi luka disambut oleh kerasnya lantai, Tama berteriak kesakitan. Rasanya sangat sakit, bahkan air mata sedari tadi tak henti mengalir dari ujung mata Tama. Dan...beberapa saat setelah itu Tama merasa mengantuk, perlahan-lahan mata Tama tertutup. 

Tama ingat betul apa yang dilakukan orang-orang itu padanya. Tama juga masih ingat, sakit dan perihnya pukulan-pukulan yang didaratkan kepadanya, bahkan ucapan mereka masih ada dikepala Tama saat ini. Tapi, Tama tidak ingat kenapa bisa ia sampai disebuah ruangan yang didominasi oleh aroma obat ini.

Pintu terbuka, seorang dengan wajah gamang memasuki ruangan ini. "Tama, kamu nggak apa-apa?" begitu ucapnya sambil mendekati Tama.

Tama ingin bangkit dan pergi, ia akan membuka infus yang tertancap dipunggung tangannya. Tapi kala Tama menggerakkan kakinya, rasanya sangat sakit dan perih. Tama tidak bisa berbuat apa-apa, hanya air yang keluar dari ujung matanya karena menahan sakit.

Tama memalingkan wajahnya dari orang itu dengan air mata yang semakin deras keluar.

"Kamu nggak apa-apa, nak?" orang itu bertanya dengan suara yang bergetar.

Tama menggeleng lemah. "Sakit." begitu katanya dengan suara yang parau. "Semuanya sakit, tolong jangan pukuli aku sekarang. Nanti saja."

Dharma menggeleng dengan air mata yang mengalir deras dipipinya. "Enggak, sayang. Papa nggak bakal mukulin kamu."

"Aku nggak mau belajar sekarang, badanku sakit. Tunggu aku sembuh dulu."

"Papa nggak minta kamu buat belajar. Papa nggak akan minta itu lagi ke kamu."

Ingatan mengenai Dharma meneriakinya, memukulinya, bahkan memintanya untuk mati terngiang-ngiang dikepala Tama. Juga tentang bagaimana Dharma mengejarnya bersama gerombolan polisi, bagaimana berambisinya Dharma agar Tama dipenjara dengan melakulan segala cara. Semuanya terputar layaknya sebuah film dikepala Tama, akibatnya membuat kepalanya yang perban itu terasa sangat sakit. Bahkan saat ini Tama ingin berteriak kencang-kencang agar semua itu lenyap dikepalanya.

Tama meringis, tangannya bergerak lemah memegangi kepalanya. "Tolong, keluarlah. Aku tidak mau ngeliat kamu disini."

Dharma menggeleng cepat. "Ini Papa, nak. Papa disini nemenin kamu."

Tama menggeleng. "Enggak, keluarlan, aku mohon."

"Tama..." Dharma memandang Tama beberapa saat. "Papa disini jagain kamu. Bilang aja, apa yang kamu mau? Bakal Papa turutin, kamu mau ngelukis? Nanti, kalau udah sembuh kita ngelukis bareng-bareng."

Lagi-lagi Tama menggeleng. "Aku hanya mau kamu pergi."

Dharma dengan mata yang berair melihat kearah pintu cermin itu, ada Hendra dengan wajah penuh dengan kekhawatiran disana. "Kamu mau ngomong sama Om Hendra?"

Tama menggeleng, lagi. "Aku nggak mau ketemu sama kalian berdua." Tama meringis menahan rasa sakit, Dharma terlalu banyak bertanya kepadanya.

"Tolong ngertiin Tama, Om."

Ucapan dari Zaky barusan benar-benar membuat Dharma keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Dharma berjalan melewati Hendra yang wajahnya dipenuhi dengan tanda tanya.

Dharma berakhir disebuah ruangan kecil dengan kran yang menyala dengan keras. Dalam keadaan jongkok Dharma sengaja menundukkan kepalanya. Bahu seorang ayah yang tengah terluka itu naik turun karena tangisnya. Bagaimana Tama menolaknya tadi benar-benar membuat hati Dharma teriris dan ingin berteriak sekencang-kencangnya karena tidak kuasa menahan rasa sakit pada hatinya.

Penolakan yang dilakukan Tama terhadapnya membuat Dharma jadi sadar, jika semuanya benar-benar tidak bisa dierbaiki lagi. Lagipula apa yang bisa diperbaiki? Hati anaknya sudah terlanjur terluka begitupun dengan hidupnya yang sudah hancur.

Tapi...dalam tangis dan kesesakan hati, Dharma terus meminta kepada tuhan akan semuanya bisa diberbaiki.

Dan, Tama akan bahagia.

Namun...Dharma dihadapkan oleh sebuah kenyataan yang menyakitkan, Tama tidak menerimanya, bahkan Tama tidak menyebutnya lagi dengan sebutan 'Papa'. Akankah semuanya diperbaiki?

Kalau dipikir2 aku nggak punya teman ternyata wkwk

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang