29

28 1 0
                                    

Dua minggu dirumah sakit akhirnya hari ini Tama dibolehkan untuk pulang kerumah. Pulang bersama Dharma yang  akhir-akhir ini lebih sering tersenyum.

Tama sudah lama tidak merasakan susasana rumahnya. Suasanan rumah ini sedikit berbeda dari sebelumnya. Terasa dingin, entah karena kepergian salah satu anggota keluarga atau karena Tama mulai asing dengan rumah ini.

Tama masuk melalui pintu utama bersama Dharma yang ada disampingnya.

Kening Tama mengkerut, setiap sudut dinding dilihatnya, tapi ia tidak menemukan satupun lukisan yang terpajang. "Katanya Papa majang semua lukisan Tama." begitu katanya dengan wajah yang tak berekpresi.

Dharma tergagap, dengan mata yang masih liar melihat kesetiap dinding rumah. "Itu, ini tembok mau dicat ulang." Dharma terkekeh untuk menyembunyikan kegugupannya. "Kamu istirahat sekarang, ya? Papa keruangan Papa dulu, nanti kalau ada apa-apa pergi aja keruangan Papa.

Tama mengangguk, sesaat setelah itu ia melangkah menaiki anak tangga dengan mata yang masih sibuk mencari-cari lukisannya. Siapa tahu masih ada satu atau dua lukisan yang masih terpajang, begitu pikir Tama.

**

"Ayah copot lukisannya?" Dharma tidak keruangannya, melainkan menemui Pram yang kebetulan masih disini.

Bukannya menjawab pertanyaan dari Dharma Pram malah melayangkan tamparan keras kepada anak sulungnya itu.

"Udah dua minggu kamu nggak pulang-pulang, bisa-bisanya kamu nanyain itu?!" Pram marah, pria tua itu menunjuk-nunjuk Dharma dengan mata yang tajam. "Apa nggak punya otak kamu ninggalin perusahaan yang hampir bangkrut?!"

"Diruangan aku saja kalau ayah mau membicarakan itu." Dharma berusaha untuk membawa Pram, tapi pria tua itu malah mendorong Dharma, untung saja Dharma bisa menjaga keseimbangannya.

"Kenapa kamu malah mengaturku?!" mata Pram melotot tajam. "Seharusnya kamu nanyain perusahaan, gimana keadaan perusahaan sekarang?!"

"Perusahaan sekarang gimana, ayah?"

Lagi-lagi tamparan kembali dilayangkan Pram kepipi anaknya yang sudah memerah karena tamparan sebelumnya. "sudah dua minggu nggak pulang-pulang, harusnya kamu bertanya mengenai perusahaan, bukan lukisan sampah itu!"

"Dengan keadaan perusahaan yang seperti itu, harusnya kamu nggak berlama-lama dirumah sakit. " suara Pram merendah.

"Ayah, Tama dirawat." Dharma diam sejenak, memandangi Pram dengan wajah tidak habis pikir. "Nggak mungkin aku ninggalin dia sendirian."

"Dia itu udah besar, Dharma. Kamu nggak perlu manja-manjain dia. Lagi pula apa gunanya suster disana? " Dharma duduk dikursi besi yang dicat bewarna putih itu, memandangi hijau rumput halaman belakang. "Kamu juga bisa nyewa orang buat jagain dia dirumah sakit. Pikir pake otak kamu, ada banyak jalan yang bisa dilakukan, nggak harus kamu yang jagain dia dua puluh empat jam."

"Ayah." Dharma mengehela nafas berat, diam beberapa saat sebelum kembali membuka mulut. "Tama itu anak aku, ayah. " Dharma berucap penuh dengan penekanan. "Aku sebagai seorang ayah nggak bakal tega ninggalin dia sendiri dirumah sakit. "

"Tapi dalam situasi seperti ini kamu harus ngelakuin itu! Perusahaan kita hampir bangkrut!" suara Pram kembali meniggi. "Kamu tau itu, kan?

"Untuk ku Tama lebih berharga dibandingkan apapun

Pram terkekeh, menganggap ucapan Dharma barusan adalah sebuah lelucon. "Tanpa perusahaan kita mungkin nggak bisa makan, dan bisa-bisanya kamu ngomong gitu."

"Pa!"

Dharma sebenarnya hendak menjawab ucapan Pram, tapi urang saat mendengar teriakan Tama. Masih dengan muka yang sangat kaget Dharma menoleh kebelakang, melihat Tama dengan senyuman melambai-lambaikan tangan.

Dharma langsung beranjak, mendekat kearah Tama masih dengan wajah yang was-was. "Sejak kapan kamu disini, nak?" sekilas Dharma melihat Pram yang kebetulan pria tua itu juga melihat kearahnya dengan tangan yang dilipat didada.

Tama yang terpaku pada pipi Dharma yang tampak merah langsung tergagap kala Dharma kembali beralih melihatnya. Tama menipiskan bibir sebelum terkekeh kecil, dan menggaruk hidungnya yang tiba-tiba gatal. "Tama baru datang, Pa. "

"Jadi apa yang mau kamu tunjukin ke Papa?" Dharma membawa Tama untuk menjauh karena sadar jika Pram masih melihat kearahnya.

"Nggak ada."

Jawaban Tama barusan membuat Dharma tertawa kecil dengan alis yang terangkat. "Terus ngapain manggil Papa?"

"Mau ngajakin Papa motong rambut."

Dharma terkekeh kecil, dikeluarkannya kunci mobil dari saku celana bahan yang dikenakannya. "Jadi ceritanya kamu mau potong rambut? Udah bosen sama rambut panjang?"

"Ribet, Pa. Ngabisin banyak shampo." begitu kata Tama sebelum keduanya tertawa.

"Tunggu sebentar disini, ya. Dompet Papa dikamar kayaknya. " Dharma berlari menaiki anak tangga.

Tama menjatuhkan bokong dengan pandangan ke tangga yang dilapisi dengan karpet merah itu, menunggu-nunggu kemunculan Dharma. Namun, saat dering ponsel terdengar pandangan Tama jatuh kebawah. Ponsel bewarna putih itu mengeluarkan suara beberapa kali, memperlihatkan tulisan 'ayah' pada layar fullscreen. Beberapa saat dering berhenti, digantikan dengan dentingan-dentingan beberapa kali yang membuat ponsel itu kembali menyala beberapa detik.

Ayah: mau kemana kamu dharma?
Ayah: ada meeting sekarang
Ayah: jangan sampai kamu nggak datang!

Tama bisa membaca itu semua pada tampilan lookcsreen hp Dharma.

"Tama."

Tama tersentak, dilentak'kannya cepat-cepat ponsel Dharma kembali kemeja.

Ponsel itu kembali bersuara, membuat Dharma mengambilnya dari meja kaca yang cukup kecil itu. Beberapa saat Dharma memandangi layar ponsel dengan wajah yang serius sebelum ia mengantonginya. "Yok."

"Kayaknya lain kali aja deh pa." Tama mengengir layaknya kuda, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Lah, kenapa?" jelas Dharam kaget. "Papa mau nemenin kamu, kenapa malah nggak jadi?"

"Lain kali aja, Pa." Tama langsung beranjak dan menaiki anak tangga dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Sebelum benar-benar menyudahi langkah pada anak tangga, Tama sempatkan untuk berhenti dan menoleh kebelakang. Dharma tampak sudah duduk disofa dengan tangan yang sibuk dengan ponsel, beberapa detik setelah itu ia menempelkan ponsel ketelinga, dan beranjak pergi dengan mulut yang terus berucap dengan orang yang ada diseberang sana.

Tama merogoh ponsel keluaran terbaru yang dibelikan Dharma tadi malam. Jempolnya menari-nari diatas layar yang tampak masih bersih dan mengkilap.

Papa mau kekantor?

08xx-xxxx-xxxx: iya, kayaknya papa bakal pulang larut

Jangan terlalu dipaksain kerjanya pa. Sampe jam 8 atau 9 an aja

08xx-xxxx-xxxx: nanti jam 7 papa pulang

Tama menghela nafas berat, dipandanginya mobil yang baru saja keluar dari perkarangan rumah dengan pandangan yang sulit diartikan. Kala hendak berbalik, Tama kaget bukan main saat mendapati Pram ada dibelakangnya. Entah sejak kapan pria tua berkaca mata itu ada dibelakangnya.

"Jangan jadi beban aja, bantuin Papanya kerja kalau emang sayang."

Dharma tidak menanggapi, memilih untuk melalui Pram begitu saja.

  

Ngomong-ngomong aku bikin cerita ini nggak pake itu,, apa ya, penulis2 biasanyakan sebelum nulis cerita itu kan udah ada kayak garis2 besar dari cerita yang dia buat, kayak dari awal sampai ending, jadi pas mau nulis itu dia tau kayak mana alur cerita yg mau ditulis (btw itu namanya apasih? Aku lupa wkwk) nah, kalau aku enggak, karena aku nggak sepandai itu, jadi aku tulis2 aja wkwk dan sekarang aku bingung lanjutan ceritanya kek mana lagi wkwk

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang