Prolog

21 2 3
                                    

Kegaduhan terdengar dari ruang perkuliahan di salah satu kampus swasta. Ada yang bersorak, ada pula yang langsung mengecek GPS untuk melacak tempat KKN yang sudah ditentukan oleh pihak kampus.

KKN alias Kuliah Kerja Nyata memang kegiatan wajib bagi para mahasiswa semester 6. Mulai dari mahasiswa utuh alias yang rajin banget ngikutin kegiatan kampus, sampai para emak yang semangatnya nggak kalah keren.

"Gimana, gimana? Ada di GPS nggak?" tanya seorang mahasiswa berkopiah hitam sambil celingak-celinguk pada teman-teman satu kelompoknya.

"Ada, nih. Buset, dah! Jauh dari jangkauan, haha." Salah satu dari mereka menyeru, tetapi tak mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang masih menunjukkan GPS.

"Semoga aja ini tempat bawa hoki, ya." Anggota kelompok berkerudung hitam itu menyahut dengan mata berbinar penuh pengharapan. Ya, nggak jauh beda sama orang puasa yang berharap beduk Magrib lebih cepet daripada biasanya.

"Aamiin."

Pembahasan mengenai GPS dan lokasi KKN terhenti saat pengumuman pembukaan KKN kembali dibahas. Para mahasiswa mendengarkan dengan khidmat sampai acara pembekalan hari itu selesai. Sekitar pukul empat sore, beberapa mahasiswa mulai meninggalkan ruangan tersebut dan hanya menyisakan dua kelompok KKN.

"Gimana kalo kita mulai survei tempat? Biar persiapannya makin matang," celetuk seseorang.

Anggota yang lain mengangguk-angguk, lalu berkata serempak, "Gaskeun!"

***

Sejauh mata memandang hanya menyajikan persawahan dan beberapa gudang penyimpanan padi. Barisan gunung dan bukit juga terlihat mencolok, membuat udaranya terasa lebih sejuk dibandingkan di lokasi kampus berada. Rumah-rumah di desa itu tidak berimpitan satu sama lain, melainkan masih berjarak.

Sesuai kesepakatan setelah acara pembekalan, kelompok yang masih tidak bernama itu memutuskan melakukan survei sekaligus mencari rumah yang cocok untuk dijadikan posko selama melaksanakan KKN. Cocok di sini, bukan hanya rumahnya yang bisa memuat kurang lebih 16 mahasiswa perempuan dan 7 mahasiswa laki-laki, tetapi juga dari segi budget agar tidak terlalu tinggi. Maklum, mahasiswa selalu mengalami krisis moneter, apalagi memasuki semester akhir.

Mereka menanyakan rumah yang bisa disewa kepada setiap warga yang ditemui di jalan. Sampai akhirnya, pencarian berakhir di barisan kontrakan yang tidak jauh dari kantor desa. Kontrakan dengan satu kamar mandi dan satu kamar tidur, meskipun rasanya tidak akan cukup untuk menampung mereka semua.

Pada awalnya, mereka berniat mencari rumah sewa yang bertingkat agar semua anggota kelompok berada di satu rumah sewa saja. Namun, setelah dirundingkan, ada baiknya mahasiswa perempuan dan laki-laki tinggal di tempat terpisah. Bagaimanapun, tidak baik rasanya jika disatukan dalam satu rumah sewa meskipun tidak melakukan hal aneh-aneh.

"Alhamdulillah, akhirnya nemu buat posko juga," ucap mahasiswa bernama Rizal. Wajahnya kentara lelah karena beberapa kali mereka menyisir setiap RT di sana untuk mendapatkan rumah sewaan.

"Eh, cek sinyal hp, buruan! Aman nggak, sinyalnya?" Lia menyeru, entah kenapa di otaknya selalu tentang sinyal ponsel.

Rizal mengeluarkan ponsel, lalu berkata, "Bagus, nih. Meskipun timbul tenggelam sinyalnya. Udah kayak si dia aja yang datang, lalu pergi lagi."

Lia menggeleng diiringi tawa. "Dia mulu yang dipikirin! Nih, pikirin, nanti kita di sini mau ngapain aja?"

Rupanya, obrolan itu terdengar oleh Wildan, salah satu anggota kelompok mereka yang langsung menyahut, "Rek piknik, Li." Cara bicara Wildan datar, tetapi wajahnya seolah ngajak baku hantam. [Mau piknik]

"Nya KKN atuh. Kumaha sih, lemotnya nggak ketulungan ih, ampun. Astagfirullah, untung aku mah penyabar." Rizal menjawab sambil mengelus dadanya. [Ya KKN, lah. Gimana sih]

Selama lima semester satu kelas dengan Lia, dia memang sering mengelus dada karena tidak kuat melihat tingkah Lia yang bisa dibilang rusuh, meski ketika diajak ngobrol kadang bisa nyambung juga.

"Hei, sini! Kita lihat buat dapurnya." Anggi melambaikan tangan, mengajak teman-temannya yang masih asyik mengobrol di depan kontrakan.

Satu deret kontrakan itu terdiri dari empat rumah, termasuk ruangan yang akan dijadikan dapur. Halamannya cukup luas, terdapat sepetak kebun kacang di sebelah kiri, dan beberapa tali yang membentang dari satu patok ke patok yang lain sebagai tempat menjemur pakaian para penghuni kontrakan.

"Semoga betah, ya," ucap Ineu, disahut amin dari teman-temannya yang lain.

"Cukup ya, surveinya?" Guntur yang baru kembali dari rumah pemilik kontrakan tampak beridir di pintu.

"Iya. Kita makan bakso dulu, yuk. Sekalian pulang, gitu. Nanti kita diskusi lagi di grup WhatsApp. Nu teu boga kuota, tolong jadi kaum hotspot dulu biar diskusi kita lancar," sahut Wildan seenaknya, hingga teman-teman yang lain menyoraki. [Yang nggak punya kuota]

Perlahan, rombongan tersebut meninggalkan halaman rumah sewa yang lebih enak disebut kontrakan. Mereka sudah menyepakati akan menyewa rumah tersebut selama KKN, bahkan sudah membayar uang mukanya.

Masa-masa kuliah memang selalu menyuguhkan berbagai kejadian. Terlebih jika sudah memasuki status sebagai mahasiswa semester akhir. Akan ada banyak kegiatan yang menguras segalanya, terutama biaya, bestieee

[Jangan lupa tinggalkan jejak; kasih bintang kecil atau komentar juga tidak apa-apa. Terima kasih ♡]

984 Cibodas SquadWhere stories live. Discover now