Migrasi

14 2 2
                                    

Sapu, ember, baskom, gayung, dan berbagai perabotan rumah sudah diangkut ke pikap. Setelahnya, 4 orang naik untuk menjaga barang agar benar-benar aman sampai tujuan. Mobil pun melaju meninggalkan halaman masjid siang itu. Tenang, mereka bukan minggat, apalagi diusir sama keluarga. Untuk sementara waktu, mereka harus migrasi ke salah satu desa selama kurang lebih 40 hari.

Lokasi yang akan mereka tuju tidak terlalu jauh dari kampus, meskipun tetap saja kalau ditempuh dengan motor, bisa memakan waktu sekitar 20 menit. Bila dilihat dari aplikasi maps, desa ini terletak di belakang Stadio Si Jalak Harupat. Salah satu stadion kebanggaan warga Kabupaten Bandung. Banyak yang jualan tiap hari Minggu, euy.

"Alhamdulillah!" sahut mereka bersamaan setelah mobil pikap berhenti di tepi jalan.

"Turun, turun. Angkatan barangna," kata Wildan, memberi komando. [Angkatin barangnya]

"Buset, banyak bener barangnya, cuy. Ini kita mau KKN apa diusir keluarga?" Rizal terkejut melihat barang yang menumpuk di mobil.

Saat rombongan pikap datang, Rizal memang sudah di sana. Dia datang lebih awal ke tempat itu bersama beberapa anggota kelompok dengan menaiki sepeda motor, karena harus menyelesaikan persiapan. Salah satunya membersihkan 3 kontrakan yang sudah disewa. Gaya bener nih, nyewa 3 kontrakan. Pasti pake duit monopoli semua itu, bayarnya.

Satu per satu barang mulai diturunkan di bawah komando Wildan. Kalau dilihat dari usia, dia emang yang paling tua di antara semuanya. Ya, cocoklah kalau dijadikan kokolot. Terlepas dari usianya, Wildan juga kadang sedikit galak meski tidak segalak Guntur.

"Eh, mau pada bikin minum, nggak?" tanya Ineu yang baru selesai mengatur barang di salah satu kontrakan yang akan dijadikan khusus dapur dan tempat mencuci piring.

"Nah, ide bagus. Nu seger-seger ah, beurang kieu mah," sahut Guntur keluar dari kontrakan yang akan ditempati anggota laki-laki. [Yang seger-seger ah, siang gini mah]

"Oke!" Tanpa banyak bertanya lagi, Ineu segera membuatkan minum untuk semuanya.

Hari itu, mereka tampak sibuk mengatur ini dan itu, mempersiapkan segalanya sedetail mungkin. Jangan sampai ada yang terlewat, apalagi terlupakan. Wildan dan Rizal kompak bekerja sama mengatur ruangan yang nantinya akan dijadikan sekretariat. Selain mereka, ada juga Anggi dan Sania yang sibuk membantu.

***

Acara pembukaan KKN akhirnya selesai. Beberapa kelompok yang ditempatkan di desa berbeda itu saling menyemangati satu sama lain, bahkan mengambil foto bersama. Selang beberapa saat, mereka kembali berkumpul dengan anggota kelompok masing-masing sebelum akhirnya membubarkan diri ke posko KKN alias kontrakan.

Kelompok KKN Cibodas terlihat semringah sepanjang jalan, apalagi mereka sampai ada yang berboncengan tiga orang. Udah kayak cabe-cabean, nih. Maklum saja karena motor yang ada masih kurang, jadi mereka terpaksa melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan.

Selain itu, kelompok ini juga sudah mulai menata barang-barang dan segala keperluan mereka selama KKN, sejak dua hari yang lalu. Wajah mereka berseri-seri, diselingi canda tawa di setiap kesempatan.

"Turun, Li. Udah nyampe, nih." Rizal menghentikan motor di halaman kontrakan. Lagi-lagi dia harus berurusan dengan Lia, salah satu anggota kelompok yang sering menguji kesabarannya seperti saat mereka survei tempat.

"Hei, sini! Ada pembimbing," teriak Guntur dari teras kontrakan laki-laki. Dia ini hobi main gim dan tidak terlalu akur dengan Lia.

"Lia! Buruan sini. Manyun aja." Guntur menambahkan.

Di dalam kontrakan laki-laki sudah ada dosen pembimbing kelompok mereka. Sampai sekarang, kelompok mereka masih belum jelas nama kelompoknya apa. Satu per satu mahasiswa itu duduk lesehan di karpet yang dipinjam dari pemilik kontrakan. Dosen pembimbing duduk di tengah-tengah, memulai pembahasan mengenai visi, misi, dan program kerja selama KKN.

984 Cibodas SquadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang