Satu untuk Semua

9 1 0
                                    

"Aduh, kok lama banget, sih? Kebelet, nih."

"Caina ulah dipareuman. Ieu kagok keur kuramas." [Airnya jangan dimatiin. Ini tanggung lagi keramas]

"Teh, masih lama? Nggak kuat ingin pipis."

"Saha ieu, euy? Burukeun!" [Siapa ini? Cepetan!]

Teriakan saling bersahutan itu terjadi di tempat laki-laki dan perempuan. Hal seru yang dialami pagi ini sebelum mereka melakukan kunjungan ke setiap RW seperti kesepakatan rapat semalam. Ada yang mondar-mandir membawa handuk, mengobrol dengan tetangga sebelah, bahkan ada yang masih santuy di depan cermin sambil mencabut bulu ketiak.

"Teh Rahma belum mandi?" tanya Sri, melihat Rahma masih mengotak-atik laptopnya.

"Belum, euy. Masih penuh. Sok aja kamu dulu." Rahma mengangguk serius, meyakinkan Sri agar mandi lebih dulu dibandingkan dirinya. Rahma memang selalu mandi paling belakang, sebelas dua belas dengan Lia yang malah asyik makan gorengan di teras kontrakan bersama beberapa teman laki-laki yang belum mandi, seperti dirinya.

"Teh Lia juga belum mandi?" Sekarang, pandangan Sri beralih pada Lia.

"Belum. Sok we duluan."

"Oh, ya udah atuh, aku duluan, ya." Sri langsung masuk setelah membawa handuk dari jemuran. Setelah salat Subuh, Sri memang sengaja menaruh handuknya di sana agar tidak terlalu basah.

"Naha gorengan beut disebut gorengan?" tanya Taufik tiba-tiba memberikan tebakan sambil mencomot bala-bala yang sudah dingin. [Kenapa gorengan disebut gorengan?]

"Udah dari sananya," jawab Fatma, mengalihkan pandangan dari ponsel. Sama halnya dengan Rahma dan Lia, Fatma juga belum mandi.

"Salaaah!" Taufik langsung menolak jawaban.

"Naon atuh? Buru, rek mandi, yeuh." Lia mengunyah cireng dan kembali duduk setelah mengecek ke dalam. Ternyata di kamar mandi masih ada Anggi.

"Mun disebut alusan, nya moal jadi gorengan. Hahahaha."

Lia mencibir. "Naon sih, teu jelas si eta mah." [Apa sih, enggak jelas dia mah]

"Kalian nggak akan mandi, heh?" Wildan datang diikuti Guntur yang sudah siap melakukan kunjungan.

"Masih antri, euy." Rahma yang sejak tadi fokus pada laptop, kini ikut bicara.

"Enggeus we atuh tayamum ari di kamar mandina antri mah," kata Guntur cengengesan. [Udah, tayamum aja kalo di kamar mandi masih antri]

"Sesungguhnya aku adalah manusia yang berakal." Lia berdiri, kembali melihat ke dalam untuk memastikan antrean.

"Berakal, tapi peuting geningan nuang kue Roma jeung saos ABC," ucap Wildan tertawa. Terkadang, tingkah Lia memang sedikit di luar nalar. [Berakal, tapi semalam makan kue roma pake saos abc]

"Eh, itu teh sebuah inovasi." Lia kembali duduk di tempatnya semula karena belum menemukan tanda-tanda kamar mandi kosong. Obrolan di antara mereka pun berlanjut diselingi canda tawa.

Tidak berselang lama, Anggi tampak keluar kamar mandi dengan menggelungkan handuk di kepala. Wajah Anggi semringah dan lebih bersemangat daripada sebelumnya. "Alhamdulillah, aku udah selesai mandi. Sok, siapa lagi yang mau mandi?"

Satu per satu dari mahasiswa perempuan pun mulai bergegas mandi, berdandan, dan bersiap-siap melakukan kunjungan. Kehebohan itu semakin bertambah parah saat Rizal berlari dari kontrakan laki-laki ke arah kontrakan perempuan.

"Hei, minta sabun mandi! Cepetan!" seru Rizal, menatap para mahasiswa perempuan yang sebagian besar sudah bersiap di teras.

"Make sabun colek we atuh, Zal. Biasanya juga pake Sunlight." Lia tiba-tiba menyeru santai. Dia tetap tidak bergerak dari tempatnya, malah semakin menyandarkan punggung ke tembok. [Pake sabun colek aja]

"Puguh we da urang teh piring. Buruan, dong. Minta sabun mandi! Anak cakep mau mandi, nih." Rizal kembali memaksa meminta sabun. [Dikiranya aku piring]

Alhasil, Sania datang dari dalam menyerahkan sampo. "Nggak ada sabun mandi, adanya sampo. Nih, pake aja. Gratis buat Rizal mah."

Wajah Rizal cemberut, tetapi secepat kilat menyambar sampo dari Sania dan langsung berlari kembali ke kontrakan laki-laki tanpa protes apa-apa. Sepeninggal Rizal, kehebohan di kontrakan masing-masing mulai reda. Baik perempuan maupun laki-laki, mereka sama-sama sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan kunjungan.

Tak terkecuali Rahma dan Lia yang mandi paling terakhir. Keduanya segera bersiap, lalu mengenakan seragam kebangsaan Amarwatasuta seperti yang dikenakan oleh anggota lain.

***

Dua motor beriringan menyusuri jalan desa yang didominasi persawahan dari ujung ke ujung. Kelompok Lia akan mengunjungi RW 09 sampai RW 11 Desa Cibodas. Tidak ada yang aneh selama mereka menuju ketiga RW tersebut, sampai akhirnya pertemuan tak diduga itu pun terjadi.

Sesekali Rizal menyunggingkan senyum terpaksa karena merasa terjebak harus berada dalam "pertemuan" itu. Lia yang duduk di sampingnya pun sedikit gelisah, seperti hendak kentut. Belum lagi ketika Sri dan Fatma yang duduk bersampingan, sibuk mencolek paha Lia.

"Insyaallah, insyaallah, nanti saya sampaikan pada ketua kelompok dulu." Rizal menyudahi ucapan seseorang yang membuat keempatnya kurang tenang sejak tadi.

"Alhamdulillah, saya senang melihat kalian ada di sini."

Kela, kumaha maksudna ieu teh? Apakah kedatangan kami sudah diramal sebelumnya? Rizal membatin, kemudian cepat-cepat berdiri untuk berpamitan. Situasi ini membuat keempatnya saling berpandangan bingung. Mereka sepakat menyebut ini sebagai "pertemuan dengan Haji Murod". [Sebentar, ini maksudnya gimana?]

***

Sejak kunjungan itu dilakukan, kelompok KKN Cibodas mulai menyiapkan semua program kerja dengan sangat baik. Segala aspek yang kemungkinan harus dipersiapkan pun tak luput menyesaki daftar pekerjaan selanjutnya. Mereka bersama-sama membuat organigram, jadwal piket, jadwal memasak, hingga jadwal kegiatan lain. Semua akan menjadi rutinitas selama puluhan hari ke depan.

Setiap hari mereka juga harus rela makan seadanya, karena menu yang disediakan hanya berupa masakan ala kadar khas anak-anak kosan yang super ngirit. Apalah artinya makan seadanya jika dilakukan secara bersama-sama, penuh kekeluargaan, juga kehangatan. Membuat rindu rumah yang harus ditinggalkan sementara waktu sedikit terobati.

Satu minggu pertama melaksanakan KKN dengan program yang masih dimatangkan, membuat mereka kerap begadang. Lain hal dengan kontrakan laki-laki yang selalu diisi canda tawa, seisi kontrakan perempuan malah diisi tangisan kerinduan. Mereka saling mencurahkan hati masing-masing jika rindu pada rumah tak bisa lagi ditahan.

Malam yang biasanya dipenuhi obrolan ringan dengan keluarga, kini berganti menjadi obrolan haru bersama teman-teman di posko. Ada rindu yang diam-diam menyelinap ke dalam hati, padahal masa pengabdian ini baru berlangsung satu minggu saja.

"Hoyong uih." Sri menangis sambil menutup wajahnya dengan mukena. [Pengen pulang]

Begitukah kerinduan bekerja? Di tengah kebersamaan yang mulai terjalin itu, mereka tetap merasa rindu suasana rumah.

"Semangat, semangat, semangat! Insyaallah, kita bisa melewati semuanya sama-sama. Ayo, semangaaat Amarwatasuta!" Ineu berusaha memberi semangat kepada yang lain, padahal matanya juga sudah berkaca-kaca. Teringat Mama di Cianjur yang harus menjaga warung sendirian, sedangkan bapak bekerja dan kakaknya sudah memiliki keluarga.

"Iya, ih. Ayo, semangaatt!" Rahma ikut menimpali sambil memeluk Sri. Perempuan yang satu ini paling anti menangis di hadapan banyak orang.

"Insyaallah, semangaaat!" sorak mereka serempak.

Satu untuk semua. Saling menguatkan satu sama lain, menghibur saat kesedihan menerpa, dan berbagi rasa dalam satu ruangan yang sama. Walau di balik itu semua pasti ada setitik kesal yang timbul, hingga rasanya tak akan kuat menjalani KKN berminggu-minggu. Tak mengapa, karena hidup berdampingan dengan 23 isi kepala dan watak berbeda memang memerlukan proses yang cukup panjang.

Selain melatih "pendewasaan", kegiatan ini juga akan memicu berbagai kenangan baru bagi mereka. Entah kenangan mengharukan, menyenangkan, bahkan mungkin menyebalkan sekalipun.

Ah, semangat KKN sampai tuntas!

[Jangan lupa tinggalkan jejak; kasih bintang kecil atau komentar juga tidak apa-apa. Terima kasih ♡]

984 Cibodas SquadWhere stories live. Discover now