Berkah KKN (1)

3 1 0
                                    

Sebagai mahasiswa KKN, salah satu hal yang harus dilakukan saat pagi adalah belanja ke pasar. Mengingat harus terus bertahan hidup dengan segala tantangan dan situasi di posko, belanja sehemat mungkin adalah kuncinya. Uang yang terbatas, jarak ke pasar yang cukup memakan waktu, juga kemungkinan-kemungkinan lain di depannya yang harus menggunakan biaya, membuat mereka sepakat membeli bahan makanan 2 kali seminggu.

Dengan mengenakan jaket karena udara cukup dingin, Lia dan Rizal tampak bersiap ke pasar. Mereka dibekali seratus ribu untuk belanja, terserah membeli apa saja asal bisa dimasak untuk makan bersama selama 3 hari.

Bagi mereka yang sebagian besarnya belum berumah tangga, mengatur uang seratus ribu untuk belanja bahan makanan sebagai persediaan selama tiga hari merupakan kesulitan yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Belum lagi ada sebagian yang tidak menyukai jenis sayuran tertentu, bahkan ada juga yang tidak menyukai bawang. Namun, inilah KKN. Tidak hanya mengabdi pada masyarakat, tetapi juga belajar saling memahami satu sama lain.

"Zal?" panggil Lia celingukan mencari Rizal di kontrakan laki-laki, padahal sebelumnya Rizal sudah nangkring di motor.

"Keur ka cai heula. Mules cenah," sahut Wildan cengengesan. [Lagi ke kamar mandi dulu. Katanya mules]

"Mau ke mana emang?" Guntur datang dari arah pintu sambil membawa segelas kopi. Biasa, ritual setiap pagi sebelum memulai aktivitas.

"Ke pasar."

"Jeung si Syamsi we atuh, ulah jeung si Rizal. Paur keur di pasar jol mules hayang ka cai. Hahahaha." Taufik yang juga ada di sana ikut berkomentar. Sejak tadi dia sibuk membetulkan ritsleting tas miliknya yang sedikit bermasalah. [Sama Syamsi aja ke pasarnya, jangan sama Rizal. Bahaya nanti lagi di pasar tiba-tiba mules pengen ke kamar mandi]

Pada waktu bersamaan, Syamsi datang menunjukkan wajah semringah. Tiap hari selepas salat Subuh di masjid, dia selalu bersahabat dengan lap pel dan sapu, padahal sudah ada jadwal piket. Katanya, beberes adalah alternatif olahraga saat pagi.

"Kenapa, Teh Lia?" tanyanya, duduk di samping Taufik.

"Anterkeun ka pasar. Kuduna mah jeung si Rizal, tapi mules cenah," jelas Taufik tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun. [Anterin ke pasar. Harusnya sama si Rizal, tapi orangnya malah mules]

"Oh, hayu, atuh. Bentar, ngambil dulu jaket." Syamsi sigap berdiri dan berlalu ke dekat gantungan baju.

Begitulah hidup. Sebelumnya berencana akan ke pasar dengan Rizal, tetapi pada akhirnya malah dengan Syamsi. Manusia hanya bisa merencanakan, sedangkan kondisi perut Rizal tidak bisa diajak kompromi.

***

Pasar yang dituju Lia dan Syamsi terletak tidak begitu jauh dari Alun-Alun Soreang. Sama halnya seperti kebanyakan pasar di Indonesia, pasar di sini juga terbilang luas dan lengkap. Mulai dari yang berjualan sayur, ikan, daging, pakaian, sampai kosmetik. Mengingat tujuan ke pasar untuk belanja kebutuhan makan di posko, Lia dan Syamsi pun langsung menuju lapak penjual sayuran.

Bermodal uang seratus ribu, mereka harus memutar otak saat belanja. Mereka sempat berdiskusi sebentar harus membeli apa saja, kemudian berjalan ke dalam pasar melewati beberapa pedagang yang tampak bersemangat memanggil para pembeli.

"Pak Syamsi!" Suara seseorang sedikit berteriak membuatku terkejut. Syamsi yang sebelumnya berjalan paling depan pun menghentikan langkah dan mengalihkan pandangan ke belakang.

"Eh, Ibu. Aduh, manawi teh saha." Syamsi mendadak berubah ekspresi, sedangkan Lia hanya memperhatikan Syamsi dan wanita paruh baya yang baru saja memanggil laki-laki itu. [Kirain siapa]

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 05, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

984 Cibodas SquadWhere stories live. Discover now