2

68 6 1
                                    

"Sarah, kamu tidak akan membunuhku, kan?" tanya Kinara kikuk. Ia meremas jemarinya dan menunduk dalam. "Menurutku bunuh diri lebih baik daripada terbunuh dengan konyol," lanjut gadis itu.

"Bunuh diri juga konyol, Kinara. Kenapa mau mati? Aku saja ingin hidup."

Kinara menoleh, ia menggeleng. "Hanya ingin."

"Memang kamu tau kehidupan setelah mati seperti apa?"

"Pasti damai, kan? Kata orang ... begitu."

"Orang itu juga belum pernah mati. Kenapa kamu percaya padanya? Lebih baik hidup saja bersamaku, begini, menyenangkan. Aku suka hidup."

"Tapi aku ini tidak waras."

"Aku juga."

"Jadi kita berdua tidak waras?"

"Ya."

"Kenapa, ya?" Kinara memiringkan kepalanya, ia kebingungan. Satu kebiasaannya jika ia sedang berpikir keras. "Kenapa aku di sini? Aku lupa."

"Kenapa lupa?"

"Aku juga tidak tau. Menurutmu kenapa aku di sini?"

Dengan santai, Sarah menjawab, "Karena kamu gila."

Kinara mengangguk, ia menganggap itu keren. "Benar, aku gila." Gadis itu kemudian menatap Sarah. "Ah, aku mau rambut pendek." Ia menyentuh helaian rambut Sarah.

"Potong saja."

"Benar, rambutku sudah terlalu panjang. Memang Si Baju Putih bisa memotong rambut? Aku mau potong besok. Eh, kenapa wajahmu pucat?"

"Gadis ini sakit, napasku sekarang sesak." Sarah mencengkeram lengan Kinara dengan kuat. Napasnya tersendat dan kepalanya terasa pening.

"Kinara, panggilkan mereka."

"TOLONG! TEMANKU SEKARAT!"

Itulah gunanya teman. Setidaknya ia masih bisa terbangun lagi dengan identitas Sarah, ia senang sekali. Namun esok paginya lagi-lagi ia harus bertemu pemuda gila berkacamata bulat yang bodoh.

"Elena, kamu dengar saya?"

"Saya Sarah."

Pemuda itu terlihat menghela napasnya, matanya terpejam sejenak sampai akhirnya terbuka kembali. "Sarah, kenapa kamu masih di sini? Tubuh ini bukan milikmu."

"Elena dan aku adalah satu."

"Tidak! Kalian berbeda!"

"Lantas? Pada akhirnya tubuh ini akan jadi milikku. Dia lemah, dia tak bisa menggunakan tubuh ini sembarangan."

Jeremy memukul mejanya kesal, membuat Sarah tersenyum puas. "Apa itu mengganggumu?" tanyanya.

Jeremy mengepalkan tangannya kuat, membuat atensi Sarah teralihkan pada tangan itu. "Kamu mau memukulku? Pukul saja. Jika kamu memukulku, itu artinya kamu juga memukul Elena. Aku sangat senang."

"Diam! Kamu tidak nyata!" Jeremy menunjuk wajah gadis di hadapannya dengan penuh amarah.

Sarah berdiri dari duduknya dan tertawa mengejek ke hadapan wajah Jeremy. "Aku bahkan bisa mengusir Elena dari tubuh ini," ujarnya menantang.

"Kamu tidak bisa melakukannya. Elena kuat lebih dari apa pun, sekalipun itu kamu."

"Omong kosong. Orang-orang seperti kalian itu payah, mengesalkan. Sudahlah, aku mau kembali ke kamar. Sampai kapanpun tubuh ini akan tetap jadi milikku." Sarah beranjak pergi dari sana dengan dibantu oleh perawatnya.

Welcome To My WorldWhere stories live. Discover now