QUEST 1 BURST OUT

42 8 11
                                    

Darsh menahan ujung pena beberapa mili dari kertas yang hendak digoresnya. Bulu-bulu halus di balik kulit manusianya berdenyar, mengirimkan sinyal bahaya. Terlalu lama hidup dalam pelarian membuat tingkat kewaspadaan Darsh sangat tinggi. Dia berdiam sejenak untuk memastikan bahwa sinyal itu bukan hanya paranoia saja. Dan benar, dia menghidu aroma familiar memenuhi tiap sudut bar tempat dia duduk sekarang, --aroma kematian.

Biasanya bar langganan Darsh ramai pengunjung. Kelihatannya orang-orang biasa yang tidak memiliki keistimewaan seperti Darsh pun bisa merasakan jika malam itu bukan waktu yang tepat untuk minum dan bersantai. Darsh mengedarkan pandangan. Hanya ada segelintir pria yang mulai mabuk di konter samping kiri. Lalu, di bagian belakang sebelah kanan, matanya menangkap dua sosok manusia, di mana Darsh sangat yakin darah mereka tidak merah.

Seorang laki-laki berwajah tegas dengan tatapan setajam tombak dan perempuan pirang berbalut gaun malam yang sangat memesona sedang mengamati Darsh. Dari botol yang nyaris kosong di meja, tampaknya mereka masih ragu apakah seorang laki-laki berkulit gelap itu adalah Darsh. Atau barangkali mereka sengaja menunggu agar Darsh menyadari keberadaan mereka lebih dulu.

Darsh berusaha tetap tenang. Dengan tangan gemetar, dia membereskan buku kecilnya. Sebelum Darsh sempat turun dari kursi, si wanita pirang sudah duduk di sampingnya, membawa gelas yang telah kosong.

"Lama tak jumpa, Darsh. Bagaimana kabarmu? Kudengar sekarang kau berprofesi sebagai pencuri," sapa perempuan itu.

"Hallo, Xiloh. Buku kecil ini? Aku hanya membawa barang milikku sendiri, mana bisa disebut mencuri, kalau itu maksudmu," kilah Darsh.

"Milikmu? Bah!" Xiloh terbahak. " Semua yang ada di kerajaan adalah milik sang ratu."

"Ngomong-ngomong, kau terlihat cantik dalam tubuh manusiamu," ucap Darsh sinis.

"Yah, tubuh mereka memang lebih sederhana dan nyaman. Tak heran kau betah di sini." Xiloh menuang minuman sampai penuh dan langsung menenggak habis. "Tapi aku lebih suka wujud asliku," lanjutnya.

Tiba-tiba Darsh merasakan sesuatu merayap di pundak. Refleks dia mengambil pena dari sakunya. Cahaya hijau terang muncul dari pena tersebut dan seketika mata pisau kecil berkilau muncul di ujungnya. Dalam sekali tebasan, pena Darsh berhasil memisahkan kepala makhluk itu dari tubuhnya tepat sebelum taringnya menancap di leher Darsh.

Xiloh menjerit marah, "Berani sekali kau merusak rambut indahku!" Dia segera bangkit dari duduk, sampai kursi berkaki tinggi itu terpental jauh ke belakang. Geramannya menggetarkan dinding-dinding bar. Retakan-retakan menyerupai tepung berjatuhan dari atap. Orang-orang yang berada di sana seperti terkena sengatan listrik. Tubuh mereka seketika kaku lalu terjatuh, entah pingsan atau mati.

Wajah Xiloh membara sampai kulitnya meleleh dan terlihat wajah yang sama sekali berbeda. Makhluk yang di tebas Darsh tadi muncul lagi dari ujung rambut Xiloh. Makin panjang dan makin banyak. Makhluk berupa ular itu menggeliat-geliat marah di kepala Xiloh.

Darsh membuang topi fedora yang dikenakannya ke lantai dan bersiap untuk serangan selanjutnya. Benar saja, ular-ular itu menyerbunya dari segala arah. Darsh meliukkan tubuhnya ke sana ke mari sambil sesekali menebaskan pisau kecilnya. Tinggal cukup lama di dunia manusia membuat kekuatan Darsh melemah. Dia sudah tidak segesit saat tinggal di dunia bawah. Beberapa kali dia nyaris terkena gigitan. Namun, dia harus bisa menghindari mereka semua, karena satu kelengahan saja sudah cukup untuk melumpuhkan tubuh.

Ular-ular Xiloh terlalu kuat. Kepala ular yang berhasil dipenggal segera tumbuh kembali meski tidak langsung bisa menyerang. Darsh hanya bisa melemahkan beberapa saja dari puluhan yang menyerang. Ditengah pertarungan yang tidak imbang itu, Darsh melihat pintu yang terbuka. Dia mencari kesempatan untuk berlari ke sana. Sayang, laki-laki yang bersama Xiloh tadi sudah menghadang dan melancarkan tendangan keras, membuat Darsh terkapar.

Tanpa memberi jeda, Xiloh kembali menyerang. Darsh berguling cepat sehingga taring-taring yang nyaris mengoyak tubuhnya menghantam lantai beton. Darsh berguling lagi, mengumpulkan tenaga yang masih tersisa untuk mendekati Xiloh. Begitu dia sampai di kaki perempuan itu, Darsh segera menancapkan senjata kecilnya.

Xiloh menjerit kesakitan, seluruh benda dalam ruangan itu ikut bergetar. Dia terhenyak ke belakang. Taring-taring di rambut pirangnya masih berusaha menyerang tetapi jelas kekuatannya telah menghilang.

Darsh terengah-engah, namun kelegaan melingkupinya. Dia menembuskan napas dan berusaha berdiri. Dia sadar masih harus menghadapi musuh satu lagi.

Dorrr! Suara letusan senjata menggantikan jeritan Xiloh. Belum sempat Darsh berbalik, dia sudah terhuyung dan kembali jatuh terjerembab.

"Darsh, Darsh. Tak kusangka kau begitu tolol. Sudah lama tinggal di dunia manusia, kau masih belum tahu keistimewaan senjata mereka. Malang ya, kaum kita punya kekuatan majis tetapi masih saja kalah dari perak."

Darsh berusaha membalikkan tubuhnya dan mencari asal suara. "Vlad. Aku sudah mendengar tentang kelicikannya, tapi aku tidak menyangka kau hanya seorang pengecut."

"Ini namanya, mencapai tujuan tanpa harus bersusah payah. Aku sangat menikmati pertunjukanmu tadi. Dan, terima kasih sudah membereskan perempuan itu untukku." Laki-laki bernama Vlad itu mengambil buku kecil Darsh tanpa perlawanan. "Selamat tinggal, Darsh."

#unbkwga #wgaexam

THE OLD PICTURE'S TALEOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz