FZ | 39

193 10 0
                                    

Setelah mengantar Lina ke rumah, Arga masuk ke pekarangan rumahnya yang memang berada di depan rumah Lina. Dirinya sudah memarkirkan mobil di garasi. Namun tampaknya Arga belum juga turun sejak 15 menit di dalam mobil. Dirinya masih sibuk mengatasi rasa sakit yang datang.

Sebenarnya sudah sejak di jalan saat mengantar Lina dirinya merasa dada terasa agak sesak. Tapi dirinya tidak memberi tahu Lina agar tidak membuat wanita itu khawatir. Dirinya kira saat sampai di rumah rasa tak nyaman itu akan hilang, namun dirinya salah. Malah terasa lebih menyakitkan. Dirinya bahkan sampai lupa untuk meminum obat nya. 

Masih meremas dadanya, Arga berdoa agar kambuhnya ini bukan pertanda yang buruk. Sungguh, dirinya sangat takut meninggalkan keluarga dan sahabat nya. Arga masih ingin membahagiakan semua yang dia sayang. Membayangkan itu membuat tetes air mata jatuh membasahi pipinya.

Pandangannya sudah mulai buram, dirinya menggelengkan kepala. Dengan sisa kesadaran nya, dirinya membuka pintu mobil dan berusaha berjalan ke pintu rumahnya. Dengan jalan yang tertatih sambil bertumpu pada benda yang ada di sampingnya. Setelah bersusah payah, dirinya sudah mencapai pintu utama rumah itu dan membukanya.

Begitu pintu terbuka, rasa sakit merenggut kesadaran nya. Dirinya tidak merasakan apa-apa selain pekikan suara.

"Abang!" Alika yang saat itu sedang melipat pakaian di sofa langsung menghampiri anak sulungnya.

"Abang! Bangun ... abang! Nak, jangan tidur dulu ya sayang. Bunda panggil ambulan dulu. Bertahan ya, Bang.” Alika mencoba membangkitkan kesadaran Arga.

"Sa ... kit," lirih Arga. Kesadaran nya sudah sangat menipis. Alika mengangguk dan mencoba terus membuat Arga tetap sadar.

Dengan cepat dirinya menelpon ambulan, dirinya takut terjadi yang tidak diinginkan.

"Pak cepat jl xxx komplek xxx no 5A! Anak saya punya riwayat sakit jantung, tolong Pak ...." Setelahnya dirinya mencoba kembali membangunkan Arga.

"Abang, masih dengar bunda, Nak? Abang ...?" Arga kembali membuka matanya, dengan kedipan yang semakin pelan.

"Bun ... maaf, u ... dah bu ... at Bunda su ... sah." Alika menggeleng cepat.

"Kamu jangan bicara sembarangan ... Bunda sayang banget sama kamu, tolong bertahan sekali lagi ya, Bang?” begitu selesai bicara, mata Arga tertutup sempurna. Arga sudah terenggut dari rasa sakitnya.

"Arga ..., nak. Bangun sayang ...." Dirinya memeluk putranya, putra sulung kebanggaan nya. Yang selalu membuat dirinya merasa bersalah sudah melahirkan anak yang mempunyai penyakit yang bisa merenggut kebahagiaan anaknya sendiri juga dirinya.

"Abang! Bunda abang ...." Dirinya begitu terkejut mendapatkan abangnya yang pingsan saat dirinya turun dari lantai dua ingin ke dapur.

Suara ambulan membuat Arfan dengan cepat keluar untuk segera membuka pagar. Abangnya harus segera ditangani.

***

Alika dan Arfan masih menunggu dokter yang sedang menangani Arga. Wijaya sedang menuju ke rumah sakit bersama Azka yang baru dirinya jemput dari kegiatan ekskulnya.

Lina datang bersama mamanya. Dengan airnya yang sudah mengering di pipinya, Lina menghampiri Alika dan langsung memeluk ibu dari sahabat yang sangat berharganya itu.

"Tante ..., Arga pasti bisa. Arga 'kan anak ya kuat 'kan Tante?" Alika mangangguk.

"Iya, sayang. Kamu benar, Arga pasti bakalan sembuh dan bisa hidup sampai tua nanti. Kamu juga harus kuat ya." Mereka melepas pelukan, Lina menghapus air mata yang ada di pipi Alika.

Kembali duduk untuk menunggu dokter yang masih menyelamatkan Arga yang sedang berjuang bertahan hidup di dalam.

Wijaya dan Azka datang, mereka sepertinya habis berlari. Wijaya langsung menghampiri anak dan istrinya begitu pula Azka.

"Abang gimana, Bun? Kenapa bisa kambuh?" tanya Wijaya.

"Belum, masih ditangani dokter. Aku juga nggak tahu, Yah kenapa abang bisa kambuh. Pas tadi baru pulang, abang ... kesakitan ...." Alika tidak sanggup meneruskan ucapan, air mata turun kembali mengingat tadi dirinya menyaksikan hal yang tak ingin dirinya alami.

Wijaya langsung mendekap dan menenangkan sang Istri. "Udah, gapapa. Abang anak yang kuat, dia pasti bisa."

Tiga puluh menit berlalu, dokter akhirnya ke luar dan mereka langsung menghampiri.

"Bagaimana keadaan Arga, Dok?” langsung, Wijaya bertanya.

"Kondisi anak bapak saat ini betul-betul buruk, organ jantung nya sudah semakin lemah. Harus segera dilakukan transplantasi segera. Kalau tidak anak bapak dalam bahaya. Saat ini kondisinya dinyatakan koma. Untuk menjenguk pasien harus memakai pakaian khusus dan hanya satu orang. Kalau begitu, saya permisi ya Pak, Buk."

Menangis, semuanya menangis mendengar kabar dari sang Dokter. Mereka tidak menyangka, akan datang kondisi di mana mereka harus mendengar pernyataan buruk dari dokter tentang kondisi Arga yang memang sudah parah.

Pada waktu yang sama ditempat lain, di meja belajar ada seorang yang sedang menulis, Lutfi. Bukannya beristirahat,  sibuk menulis sesuatu yang membuat dirinya sedari tadi fokus. Sebenarnya dirinya sudah merasakan sakit di kepalanya, namun dia tidak mau menunda lagi. Lutfi takut, bila tidak sempat mengatakan salam perpisahan.

Karena itulah sekarang ia sedang menulis surat-surat dan menyiapkan hadiah untuk ayahnya, Lina, dan juga Arga.

Klasik, tapi hanya ini yang bisa dirinya tinggalkan sebagai kenangan. Entahlah, Lutfi merasa waktunya sudah semakin dekat. Penyakit   dirinya derita sudah memasuki stadium akhir.

Kemoterapi yang dirinya lakukan terakhir kali tidaklah menunjukkan kemajuan, malah dokter bertakhta bahwa kanker yang diidapnya termasuk kanker yang ganas dan sudah masuk stadium lanjut.

Dirinya juga sudah merencanakan sesuatu yang sepertinya bisa menjadi manfaat untuk orang lain. Rencananya dia akan memberi tahu pada papanya esok hari tentang rencana yang memang udah dipikirkan jauh hari.

Pintu terbuka, menampilkan sosok sang Papa yang langsung menghampiri dirinya.

"Kenapa belum tidur? Masih pusing?" Tanya Tara sembari mengelus surai yang sudah mulai tipis itu.

Lutfi tersenyum dan melepas kaca matanya. "Belum ngantuk, Pa. Udah agak mendingan kok dari yang tadi. Papa juga kenapa belum tidur?"

"Kepengen deh tidur sama anak papa ini. Boleh nggak?” Tara hanya memastikan, karena yang dirinya tahu Lutfi paling tidak nyaman tidur berdua dengannya. Alasan nya karena malu dan dia udah besar. Tapi entah kenapa, Tara ingin sekali untuk tidur berdua dengan anaknya.

"Boleh, kali ini aku kasih deh papa tidur sama aku. Ayo, kita tidur aja." Lutfi segera bangkit, namun kembali terduduk ketika dirinya merasakan pusingnya kembali menyerang dan makin terasa sakit.

Mimik Tara langsung berubah cemas. "Nak, ya Allah. Kenapa? Pusing banget? Kita ke rumah sakit aja ya?"

"Nggak perlu ke rumah sakit, Pa. Aku gapapa, tolong ke kasur aja. Aku mau istirahat." Tara langsung memapah tubuh rapuh milik anaknya menuju kasur dan mendudukkan nya.

"Langsung tidur ya, papa nggak mau kamu semakin drop. Papa tunggu sampai kamu tidur."

Lutfi tidak menurut, dirinya malah kembali menyamankan posisi duduknya. Dia ingin meminta izin pada papanya terkait rencana yang akan dilakukan nya.

***

20.6.23

Friendzone✓Where stories live. Discover now