FZ | 28

290 11 15
                                    

"Yakin udah bisa sekolah, Bang? Istirahat dulu aja sehari lagi."

"Iya, Bun. Aku udah lama banget absen. Entar banyak ketinggalan pelajaran. Udah kelas tiga juga."

Saat ini mereka sedang sarapan bersama seperti hari-hari biasanya. Arga terlebih dahulu menyiapkan sarapannya. Tidak lupa dia meminum obat.

"Yah, Bun. Aku pergi dulu." Arga salim tangan kedua orangtuanya terlebih dahulu.

"Hati-hati, Bang. Jangan ngebut bawa mobilnya," titah sang Ayah.

"Iya, Yah. Assalamualaikum."

"Waa'laikumsalam," jawab mereka.

Arga mengeluarkan mobilnya. Sesaat kemudian, ada pemberitahuan dari ponselnya. Segera dia ambil untuk membacanya siapa tahu itu pesan penting.

Lin Lin
Online

Sama lagi ya ke sekolah. Gue udah di depan pagar nih.

Oke.

Begitu mobilnya berhasil keluar, Lina langsung masuk ke dalamnya.

"Ayo, Ga. Berangkat," seru Lina.

"Iya, Lina. Ini juga mau jalan. Pacar lo mana?"

"Entah, udah beberapa hari ini belum ada kabar. Udah aku hubungi pun enggak pernah diangkat."

"Sesibuk itu ya dia?" mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang.

"Mungkin sih, dia kan anak satu-satu. Mungkin urusan bisnis papanya. Tapi masa iya kan, lima menit aja enggak bisa pegang handphone.

"Lo udah ke rumahnya?" tanya Arga.

"Belum sih, tapi kan dia pergi. Ya mana mungkin di rumah," jawab Lina.

"Ya siapa tahu, dia bolos baru pulang dari luar kota. Tapi lupa ngabarin lo."

"Iya gak mungkinlah. Eh tapi boleh deh. Sepulang sekolah aja, Ga. Boleh kan?" Lina menarik turunkan alisnya.

"Iya iya, dasar."

***

D

ua hari yang lalu Lutfi sudah melakukan CT scan. Kata dokter hasilnya sudah keluar. Seperti biasa, dia masih menunggu papanya ke rumah sakit. Sebenarnya dia juga tidak ingin membuat papanya jadi bolak-balik seperti ini. Tapi, papa nya lah yang minta sendiri. Kalau hasilnya sudah keluar, bilang ke papa.

Lutfi membenarkannya letak kacamatanya. Iya, sekarang Lutfi sudah harus terbiasa memakai kacamata. Entahlah, mungkin karena penyakitnya. Saraf matanya rusak dan akibatnya jadi minus dan harus pakai kaca mata.

Pintu terbuka, Tara masuk dengan setelan kantorannya.

"Maaf lama, ya. Langsung ke ruang dokter aja?"

"Iya, Pa. Dokter Gilang udah nunggu dari tadi," jawab Lutfi.

Lutfi segera bangkit dan menghampiri sang Papa. "Ayo, Pa."

"Biar papa aja, ya. Kamu di sini aja." Lutfi lekas menggeleng.

"Enggak, Pa. Aku juga mau dengar yang dokter bilang. Ini tubuh aku, Pa. Aku juga harus tahu keadaan tubuh aku gimana."

Tara menghela napas. Tidak punya pilihan lain, mereka pun segera berjalan menuju ruangan dokter Gilang yang satu lantai dengan kamar Lutfi.

Di ruangan, sudah ada dokter Gilang yang sedang memperhatikan layar komputer.

Mereka pun mendekati meja dokter Gilang. Beliau yang menyadari segera mengalihkan pandangannya pada Tara dan Lutfi.

"Maaf maaf, saya tidak sadar kalian sudah di sini."

"Tidak apa, Dok. Bagaimana hasilnya, Dok?" tanya Tara.

Lutfi hanya bisa diam saja. Dia hanya ingin mendengar perkataan sang Dokter.

"Dari hasil pemeriksaan CT Scan kemarin. Lutfi positif Glioblastoma."

"Glioblastoma?" tanya Tara yang memang tidak begitu paham dengan istilah kedokteran.

"Glioblastoma itu tumor otak, Pak. Hanya saja tumor jenis ini tidak seperti tumor otak lain yang dimulai di dalam tubuh dan ke menyebar ke otak. Glioblastoma dimulai di otak atau sumsum tulang belakang. Tumor muncul dari astrosit, sel berbentuk bintang yang memelihara sel saraf di otak."

"Tapi kenapa anak saya bisa kena tumor, Dok? Anak saya sedari enggak pernah terbentur." masih tidak terima, Tara terus bertanya.

"Tumor jenis ini timbul secara spontan dan bisa menimpah siapa saja dan pada usia berapa saja, Pak."

"Saya bisa sembuh, Dok?" tanya Lutfi.

Tara menoleh. "Kamu pasti bisa, Nak. Ya kan, Dok? Tolong sembuhkan anak saya. Apapun caranya."

"Karena stadium kanker yang di derita Lutfi sudah masuk ke stadium tiga. Saya sarankan untuk melakukan kemoterapi. Karena tumor yang semakin besar akan sangat berisiko untuk melakukan operasi."

"Kemoterapi?" tanya Lutfi.

"Iya, kamu jangan khawatir. Kemoterapi itu sama dengan infus. Hanya saja ada beberapa efek yang akan timbul setelah kemoterapi dilakukan."

"Kapan bisa dilakukan, Dok?" tanya Lutfi lagi.

"Mungkin lusa kita bisa melakukannya. Kita lihat dulu, kondisi kamu dua hari ini. Kalau stabil kita bisa melakukannya."

"Jadi saya harus tinggal di rumah sakit sampai kemo saya selesai, Dok? Sekolah aku gimana, Pa? Aku udah lama bolos."

"Kalau sehabis kemo kondisi kamu baik terus, kamu bakal cepat dipulangkan," jelas Gilang.

"Kamu enggak perlu khawatir soal sekolah. Papa udah izinkan kamu. Udah bicara sama kepala sekolah soal kondisi kamu." Lutfi segera menoleh dengan terkejut.

"Kamu tenang aja, papa udah bilang kalau enggak ada yang boleh tahu."

Lutfi pun menghela napas lega.

"Kalau gitu kami permisi dulu, Dok," pamit Tara.

Tara dan Lutfi pun keluar dari ruangan dokter yang entah kenapa terasa mencekam.

Sekarang, hari-hari Lutfi sudah beda. Dia tidak bebas seperti dulu lagi. Tara pasti akan selalu mencemaskannya.

Lina? Apa kabar dengan kekasihnya itu. Orang yang enggak ada dia kabarin sama sekali. Salahkan saja ponselnya yang tertinggal di rumah. Tapi, setelah dipikir-pikir ada baiknya Lutfi tidak memberi tahu pada Lina. Karena dia tidak mau Lina khawatir padanya.

"Kenapa melamun?" tanya Tara yang menyadari Lutfi sudah diam saja saat memasuki kamarnya.

"Enggak apa kok, Pa." Lutfi memaksakan senyumnya. Dia tidak mau terlihat sedih di depan papanya.

***

Maaf banget aku telat lagi.
Seperti aku gak update setiap hari, ya. Karena aku pasti bakal ngaret terus.

Berhubung banyaknya tugas sekolah plus alhamdulillah lagi banyak orderan cover. Aku jadi enggak sempat nulis. Bahkan udah beberapa hari ini aku enggak ada buka wattpad sama sekali.

Makasih yang udah mau setia nungguin. Oh ya, aku bakal update seminggu minimal dua - tiga kali. Kalau lebih, berarti bonus.

Love you, All.

29.10.20

Friendzone✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang