iv

8 5 0
                                    

Raja Otak Pemikir mulai frustasi, balasan apa yang cocok untuk menanggapi pertanyaan yang diajukan Alde?

"Apa pertanyaan mengenai kabar ibumu bikin kamu muak?" Darea menanggapi seraya memalingkan pandangannya dari mata Alde.

Alde berdecak, "Seharusnya kamu tahu maksudku Rea. Kamu bukan merpati pengirim pesan."

Darea menggigit bagian bawah bibirnya, kukunya mulai menggaruk pelan surat milik Vanessa. "Aku cuma bantu teman."

"Aku menolak. Aku muak lihat kamu dimanfaatin Rea. Tolong bilang ke dia, aku ga tertarik dengan hal semacam ini." Alde menutup bukunya keras, ia mengambil tasnya dengan kasar lalu berpindah haluan ke belakang untuk menghindari Darea.

Darea menelan ludahnya, pahit. Masalahnya bertumpuk, seperti membuat menara dengan kelereng. Suatu hal yang tidak mungkin ia selesaikan walau harus diberi perekat.

Tidak ada hal yang lebih runyam dibandingkan hari ini. Notifikasi di ponselnya membuat Darea semakin menggila dan memaki dirinya sendiri.

♪★*☆♪

❤️: "Maafkan saya yang telah terlupa memberitahukan mengenai masalah ini Yang Mulia Raja Otak Pemikir".

🧠: "Jadi, bagaimana bisa Darea besok tampil sebagai pemain piano dikala ia tidak pernah menyentuk benda tersebut sekalipun?"

❤️: "Ini adalah keputusan Darea yang diambil secara cepat sebelum lawan bicaranya selesai menyelesaikan kalimatnya."

🧠: "Bagaimana dengan latihannya? Bisakah Darea berangkat setelah pulang les?"

❤️: "Anda benar Yang Mulia, Darea mungkin bisa berlatih sekitar satu jam sampai pukul lima sore. Namun, bukan itu permasalahan utamanya."

🧠: "Apakah Darea akan terkendala di transportasi?"

❤️: "Bukan, Vanessa adalah salah satu anggota band tersebut."

Raja Otak Pemikir terdiam, ia ingin sekali saja menampar pipi Darea dengan segala kekuatannya. Cukup sekali saja.

♪★*☆♪

Darea terdiam lama sekali, saat ponselnya berbunyi ia baru mengerjap dan sadar. Darea bermaksud menyusun kalimat semanis mungkin untuk Vanessa, ia tidak ingin membuat Vanessa bersedih karena perkataannya. Darea ingin memperhalus jawaban yang ia dapat dari Alde.

Namun, apakah Vanessa pernah peduli pada kondisi Darea?

"Halo Rea! Mungkin sinar matahari sore membuatmu semakin bersinar, sepertinya aku akan meleleh karena kecantikanmu Rea!" Vanessa menghampiri Darea dengan riang, memegang lengannya dan berkata pelan pada Darea.

"Jadi bagaimana?" cukup jelas rona semu berwarna merah muda pada pipi Vanessa tidak diakibatkan oleh sinar matahari sore.

Darea berjalan pelan dengan lengan yang masih dipeluk erat oleh Vanessa, mereka kemudian duduk di sofa berwarna maroon yang terletak tepat di sebelah piano.

"Alde sepertinya belum siap menjalin hubungan seperti sepasang kekasih. Ia terlihat ingin fokus pada studinya, tapi aku yakin Alde akan menjadi teman yang baik kalau kamu mau menjalin pertemanan dengannya." Darea menjelaskan panjang lebar secara berhati-hati sambil menyerahkan surat yang Vanessa berikan padanya tadi siang.

Vanessa terdiam, ia perlahan melepaskan pelukannya dari lengan Darea.

"Jadi Rea, Alde belum membaca suratku sama sekali? Aku bisa anggap kalau kamu kurang berusaha mendukung hubunganku dengan Alde kan? Terima kasih Rea, kamu sudah bikin aku malu dihadapan Alde."

Darea terdiam, ia bertanya-tanya dalam hati. "Berarti dia salah?"

"Aku dengar, kamu belum pernah menyentuh piano kan? Sepertinya hal ini memberatkanmu Rea. Kami akan mencari pemain yang mahir bermain piano. Kamu bisa pulang sekarang." ujar Vanessa sambil tersenyum kecil.

Darea sebenarnya sangat antusias saat kembali ke rumah lebih awal. Namun ia merasa hampa. Apakah ia baru saja dikalahkan?

♪★*☆♪

❤️: "Sepertinya mengumpat akan bagus untuk kesehatan Darea."

🧠: "Mari kita dinginkan pikirannya terlebih dahulu. Bila Darea masih kesal, saya dengan senang hati akan menyiapkan umpatan yang sempurna untuk esok hari."

Surat PercobaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang