34. Dear Raninta

3K 374 10
                                    

Ranin duduk di depan cermin, mengeringkan rambut panjangnya setelah selesai berkeramas. Rintikan hujan masuk melalui satu jendela kayu di kamarnya lantas Rani mengunci jendela itu dengan rapat. Setelah selesai, Rani berjalan ke dapur dan mengambil gelas untuk menyeduh teh yang di berikan Saka.

Saka?

Ranin menghela nafas berat. Usai memutuskan niat baiknya, Saka masih tetap baik hati mengantarkan Ranin sampai rumah walaupun selama di perjalanan pria itu memperlihatkan ekspresi kecewanya.

"Aku ngga terima kamu putusin gitu aja" ucapnya sebelum pergi

Namun Ranin masih tetap pada keputusan awalnya, ia tidak mau menyakiti orang lain hanya karena masa lalunya.

Benar yang dikatakan Saka, Ranin tidak berhak melampiaskan masa lalunya pada orang yang berada di masa depannya.

Masa lalu Ranin yang mencekam itu belum sepenuhnya sembuh, berbagai alternatif sudah ia lakukan namun hasilnya masih tetap sama. Karena itu, Ranin enggan memulai hubungan saat hatinya belum pulih.

Kini, Ranin malu untuk mengkonsumsi teh yang diberi Saka. Mengembalikannya pada box, Ranin mengganti tehnya dengan teh yang biasa ia pakai.

Bibir berbentuk hatinya berdesis menyadari tehnya terlalu panas. Dengan hati-hati, ia meletakkan gelas kembali di atas meja.

Ranin kemudian melangkah menuju kamarnya, membawa teh hangatnya dan duduk di tepi ranjang yang setengah dipakaikan kelambu. Tatapannya secara tidak sengaja jatuh pada ponsel yang sudah lama ia isi baterainya. Sudah lebih dari satu jam, mungkin. Ranin mencabut ponsel itu dari charger dan menekan tombol power. Dia menunggu beberapa detik, hingga akhirnya layar ponsel menyala dan menampilkan gambar seorang wanita berambut pendek dengan seragam PDU dan memegang bendera merah putih, sedang membelakangi. Rani tak bisa menahan senyum getir saat melihat gambar itu, sebuah lukisan yang ditorehkan dengan pensil.

Saat itu, notifikasi masuk dan Rani dengan refleks mengetuknya.

From Niscala Putra

"Dear Raninta..."

Ranin melempar handphone itu secepat kilat menjauh seakan ia mendapat pesan yang mengancam. Kegelisahan merasuki hatinya, seakan ada kekuatan gaib yang menempel pada kata-kata tersebut. Dalam sekali hentakan, ponsel terhempas ke ranjang yang sedang ia duduki.

Baginya itu memang ancaman, ancaman yang menyelubungi kisah kelam yang selama ini ia sembunyikan di balik senyumnya yang mempesona. Kenyataan yang tak ingin ia hadapi kembali muncul dengan serentetan huruf yang terpampang di layar ponselnya.

Nafas Ranin memburu dan tangannya tiba-tiba bergetar. Ia menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan bayang-bayang masa lalunya yang kini datang menghantuinya. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak ia terakhir kali mendengar nama itu, dan apakah mungkin ada kemungkinan nama itu memiliki seseorang yang sama dikenalinya dengan nama Raninta?

Dear Raninta 

Handphoneku mendadak hilang seperti  jejakmu yang sulit di temukan. 

Ranin merasakan detak jantungnya semakin cepat saat berani membuka pesan itu, dan kembali ke tampilan awal daftar berbagai pesan masuk, semuanya dari orang yang sama.

Dear Raninta 

Wali kelas Biru barusan bilang kalau dia sering ketiduran di kelas sampai banyak pelajaran yang tertinggal, tetapi pelatih basketnya bilang, dia rajin berlatih dan paling berprestasi. Mirip kamu.

Dear Raninta

Malam ini aku berangkat ke Jepang, mendadak Biru menangis dan bilang, "Aku takut papa kenapa-kenapa dijalan, aku ngga mau pisah sama papa". Aku belum pernah merasa di cintai seperti ini oleh seseorang selain orang tuaku.

The Exploranin : where are you? [END]Where stories live. Discover now