4: BENANG MERAH TAKDIR

227 30 11
                                    

Sesampainya di rumah, aku langsung membersihkan diri. Memakai piyama dan mengeringkan rambut, aku tidak ikut serta dalam makan malam yang Biyungku buat karena sebelum pulang kami ber-empat sempat melipir ke restoran sederhana yang menyajikan makanan laut. Sampai rambutku kering, aku langsung menghempaskan diriku ke atas kasur, merogoh-rogoh tasku, karena Alemong tadi berpesan akan mengirimi foto-foto yang tadi di group chat kami.

Begitu aku mengeliarkan ponselku dari dalam tas. Aku mengerutkan keningku, sambil mengira-ngira dan membolak-balikkan ponsel tersebut. Sampai, aku menekan tombol power dan tampilan ponsel itu berbeda dari milikku. Aku baru sadar keanehan pada ponsel milikku.

“Ini bukan punya gue!!” gumamku panik langsung terduduk.

Kepanikanku semakin pecah ketika aku sadar kalau aku tidak bisa menghubungi siapa pun. Pada titik kalut seperti ini, aku justru bingung untuk mencari solusinya. Aku tidak ingat nomor-nomor sahabatku, untuk menghubungi mereka. Barang kali salah satu dari mereka dapat membantu.

Lalu pikiranku terpecah menjadi pertanyaan baru. Lalu kemana ponselku? Ditangan siapa ponselku berada? Apa ponselku di tangan si pemilik ponsel ini? Bagaimana jika tidak? Bagaimana kalau sebenarnya ponselku hilang? Aku menggerang, kembali menjatuhkan seluruh tubuhku ke atas kasur. Aku bahkan tidak ingat nomorku sendiri, bagaimana aku menghubunginya? Kata Kibil kalau iphone hilang bisa dilacak, tetapi aku bahkan tidak mengerti bagaimana caranya? Mulailah aku memaki diri.

Seharusnya malam ini, ponselku ramai akan pesan-pesan yang dikirim sahabat-sahabatku. Seharusnya sekarang aku sedang tertawa-tawa membaca pesan-pesan mereka. Seharusnya aku sudah bisa menikmati foto-foto dari kamera digital Alemong. Mereka sedang membicarakan apa, ya, di group? Pasti sedang ramai-ramainya dan sedang seru-serunya. Bodoh sekali aku, tidak memeriksa barang bawaan sebelum pulang.

Sebab, tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku malah tertidur, tanpa mematikan lampu, untungnya aku menyempatkan solat isya terlebih dulu sebelum membersihkan diri. Sampai fajar menyingsing dan lantunan-lantunan pengajian terdengar, barulah aku terbangun dengan pikiran yang masih sama kalutnya. Masih mempertanyakan dimana ponselku sebenarnya.

Sampai pada siang hari ketika pekerjaan rumah telah kutuntaskan. Aku kembali kebingungan, setelah menjalankan solat zuhur, aku memutuskan untuk pergi ke toko buku untuk mendapatkan buku bacaan yang baru. Maka dari itu, dengan menaiki Trans Jakarta, sampailah aku di Matraman sendirian.

Aku sampai pada pukul dua, toko buku besar yang memiliki dua lantai ini cukup ramai di karenakan akhir pekan. Namun, tidak mengurangi kenyaman pengunjung satu pun. Aku menyusuri lorong-orong buku ‘Best Seller’ dimana berbagai judul terpampang dengan penulis-penulis hebat yang berbeda.  Seperti trilogi Bumi karya Tere Liye yang kukoleksi sejak kuliah, atau bahkan buku lama seperti trilogi buruh karya pram yang sudah kupunya sejak SD.

Aku mengambil beberapa buku yang belum pernah kupunya, membaca belakang bukunya untuk setidaknya mengetahui gambaran isi buku fiksi tersebut. Langkahku berpindah dari satu rak menuju rak lainnya. Jika dirasa buku tersebut bagus akan kumasukkan kedalam keranjang, jika tidak akan kuletakkan kembali ketempat semula. Sampai mataku terpaku pada buku berjudul Dawuk karya Mahfud Ikhwan.

Tanganku baru saja meluncur untuk mengambil buku tersebut, sampai tangan seorang yang lain mendarat pada buku yang sama. Aku terkejut, cepat aku menarik tangan dan menoleh sembari menyerukan maaf dengan spontan. Tetapi, begitu sadar orang yang berdiri disampingku adalah orang yang sama yang kupeluk lengannya saat di dufan, aku justru mengutuk diri.

“Oh, maaf, maaf. Ini bukunya Mbak yang ambil saja,” katanya sopan seolah tidak terjadi apapun diantara kita.

Aku menggeleng cepat, dengan rona wajahnyang memerah. “Gak usah Mas, kan Mas duluan yang ambil.”

Kita, Cerita, Kamera.Where stories live. Discover now