12: DUA RASA YANG MENYATU

107 20 9
                                    

Semua rasa itu terasa semakin nyata, ketika sehari setelah kemederkaan Indonesia di tahun berikutnya, sekolah kami mengadakan sebuah lomba kemerdekaan. Aku, Lola dan Cahyo memasuki kelas yang sama kelas 11 IPA-1 sedangkan Kibil dan Alemong memasuki kelas 11 IPS-2. Diantara kami berlima, hanya aku dan Cahyo yang mengikuti perlombaan, karena tiga lainnya sibuk menjadi panitia OSIS.

Lomba antar kelas yang dilakukan pada pukul delapan berlangsung, setelah upacara. Lomba pertama yang diadakan adalah lomba balap karung. Suasana meriah mengisi lapangan sekolah, semua murid, guru bahkan kepala sekolah ikut turun memeriahkan perayaan tersebut. Sesekali jeritan temembuncah dalam gerombolan-gerombolan tiap kelas, kadang ada tawa yang pecah di tengah lomba dan semangat berapi-api yang berkobar. Sorakkan yel-yel kelas padat memenuhi lapangan sekolah dengan wajah-wajah yang berseri.

Lalu, lomba selanjutnya adalah lomba sapi buta, dimana aku, Cahyo dan dua teman kami yang lainnya ikut serta dalam perlombaan ini. Lomba ini dinamakan sapi buta sebab, tiga orang di depan yang memimpin jalan dengan ditutup matanya. Menggunakan sandal bakiak yang menyatu dan hanya orang yang paling belakang lah yang menuntun tiga temannya untuk sampai ke garis finis. Dengan menepuk-nepuk pundak orang yang berdiri di baris ketiga untuk menentukan arah, selayaknya seorang pengembara sapi.

Cahyo berdiri di baris pertama, sedang aku di belakangnya. Awal mulanya semua berjalan sebagaimana semestinya, kedua tanganku yang masih bertengger pada bahu Cahyo, begitu juga dengan temanku yang di belakang. Sampai kita memutar balik arah, kami hampir tersandung. Pekikkan dan tawa terlontar riuh bagi mereka yang menonton. Begitupula, dengan aku yang berjengit dan teriak takut terjatuh.

Kami memang sudah hampir terjatuh, sebab Cahyo dan aku sudah membungkuk dan hampir tersungkur. Lalu ketika kami ingin berdiri, aku tidak sengaja memindahkan tanganku pada pinggang Cahyo. Mungkin jika berhenti di situ saja, tidak akan ada bunga-bunga yang bermekaran pada hatiku. Namun, setelah kami berhasil berdiri dan tegak kembali, ketika aku ingin memindahkan tanganku pada bahu Cahyo. Tangan Cahyo menumpu pada punggung tanganku yang mencengkram baju Cahyo pada daerah pinggangnya.

Aku tertegun seketika, pada detik itu pula aku merasa semua hiruk pikuk lapangan sekolah mengabur. Kasak-kusuk teriakan dari suppoerter lama-lama hilang, tergantikan oleh suara gejolak jantungku yang berpacu cepat. Hangat! Tangan Cahyo berbanding terbalik dengan wajahnya yang selalu dipasang dingin. Rasa nyaman tersebut menjuluri tepat menuju otakku, membuat darahku mengalir lebih cepat dari biasanya yang menciptakan rona kemerahan pada pipiku.

Sampai pada garis finis, kami memenangkan perlombaan tersebut yang akan diadu kembali dengan pemenang kloter-kloter selanjutnya. Penutup mata kami dibuka dan mataku langsung tertuju pada punggung tanganku yang masih ditumpu oleh telapak Cahyo. Sorakkan gembira dari kelasku menguar, tetapi aku masih terfokus pada punhgung tanganku. Hingga Cahyo melepas tumpuan tangannya, Cahyo menoleh dengan wajah datar. Seketika aku mengalihkan pandang, karena tidak berani menatap kembali bola matanya dengan wajah yang telah merona panas.

“Lo sakit, Jey?” tanyanya.

Aku menggeleng sebagai jawaban tanpa mampu bersuara takut dengan intonasi suaraku yang tiba-tiba berbeda. Sebab, degub jantung yang kurasakan masih berpacu sama seperti awal tangan Cahyo menumpu punggung tanganku. Lalu, Cahyo yang tidak peduli hanya ber-oh panjang dan ikut merayakan kemenangan kelas kami.

Lomba selanjutnya yang kami ikuti adalah lomba estafet kelereng menggunakan sendok. Lomba tersebut diadakan setelah jam istirahat. Aku berada pada urutan ketiga awalnya dan tidak bersebelahan pada Cahyo. Sengaja, jantungku masih belum bisa berdetak dengan normal. Namun, karena arahan oleh panita, urutan baris kami ditukar dan pada akhirnya aku kembali bersebelahan pada Cahyo. Entah aku harus meruntuk atau bersyukur.

Perlombaan dimulai, begitu pula degub jantungku yang tidak beraturan bermain, apalagi kala tubuh kami saling sejajar dan berdekatan hanya untuk mengoper kelereng. Sebab gejolak yang tidak biasa, menyebabkan bagian tubuhku lainnya ikut gemetar, termasuk sendok yang ada pada mulutku. Saat kedua tanganku yang dingin mengepal di depan dada. Entah dengan sengaja atau tanpa di sengaja, tangan Cahyo kembali bermain. Memegangi kedua bahuku agar berhenti gemetar. Seketika aku termangu kaku, sementara telapak dan kakiku kian mendingin, lagi aku bisa menrasakan hangat tubuh Cahyo yang dialirkan melalui tangannya.

Rasanya nyaman juga menenangkan itu menyirami seluruh perasaanku. Gejolak dalam jantungku berpacu kian lebih cepat dari sebelumnya dan kini rona pada pipiku menguar tanpa malu-malu lagi. Ketika petang membentang, ketika perlombaan selesai, ketika waktu pulang berjalan, aku masih bisa merasakan hangat pada tangan Cahyo pada telapakku. Aku telah jatuh cinta pada sahabatku sendiri.

**

Perasaanku semakin membesar dan yakin bahwa kami memiliki perasaan yang sama kala, Pak Dodi guru Bahasa Indonesia mulai memasuki kelas. Setelah jam pergantian pelajaran Agama, tanpa basa-basi dan bahkan belum duduk pada tempatnya Pak Dodi langsung berbicara.

“Keluarkan rangkuman yang bapak suruh waktu itu,” titahnya.

Semuanya mengeluarkan rangkuman pada kertas folio yang disuruh oleh Pak Dodi. Lalu tanpa disuruh, nampaknya satu kelas paham akan maksud Pak Dodi. Sehingga satu persatu anak maju dan mengumpulkan tugasnya diatas meja guru. Ada beberapa anak yang menitip mengumpulkan rangkuman pada teman sepermainannya, ada yang menitip dan mengopernya kedepan dan ada yang dengan mandiri mengumpulkannya sendiri.

Sementara aku masih duduk pada tempatku. Mencari-cari kertas folio tersebut dengan membongkar isi ranselku yang tidak kunjung kutemukan. Lalu, aku beralih pada kolong mejaku yang sama nihilnya. Memeriksa kembali lembar-lembar kertas pada buku-buku yang kubawa berharap terselip di sana, tetapi sayangnya tidak.

Karena tempat dudukku dan Lola cukup strategis untuk dilirik guru. Pak Dodi menyadari kejanggalan padaku lalu kembali berkata. “Yang tidak membawa tugas saya silahkan keluar dan lari keliling lapangan sampai jam pelajaran saya selesai,” titahnya lagi membuatku terkesiap.

Sialan!

Sembari mencari-cari kertas folioku dengan membongkar tas dengan tenang, tetapi hatiku bergejolak, Cahyo yang duduk disampingku saat Lola tidak hadir menggeser kertas miliknya. Aku menatapnya bingung dan butuh penjelasan.

“Cepat ganti namanya sebelum ketahuan Pak Dodi.”

Aku mengangguk, mengikuti perintahnya walau pikiranku masih bertanya-tanya. Lepas aku mengganti nama Cahyo. Cahyo sendiri berdiri lalu membungkuk sopan seolah meminta maaf pada Pak Dodi, karena sedang berpura-pura tidak membawa tugasnya. Setelahnya, tanpa sepatah kata dari Pak Dodi, Cahyo keluar kelas untuk menjalani hukuman yang keliru itu. Sedangkan aku hanya bisa mematung menyaksikan kejadian tersebut yang begitu cepat. Selanjutnya bisa kulihat dari jendela kaca kelas, Cahyo yang sedang berlari mengelilingi lapangan sekolah dan pelajaran Bahasa Indonesia pun berlangsung.

Sebagian dari hatiku teriris melihat Cahyo yang berlari ditengah sengitnya mentari, tetapi sebagiannya lagi mengembang berbunga-bungga seperti menyambut musim semi. Bukankah hali itu menandakan kalau Cahyo rela berkorban untukku.

Kita, Cerita, Kamera.Место, где живут истории. Откройте их для себя