18: SATU HARI YANG BAIK-BAIK SAJA

72 17 8
                                    

Perjanjian yang mendeklarasikan persahabatan kita membuatku dengan dia jauh lebih dekat lagi. Terlebih dia yang serung membantuku menghadapi tekanan pekerjaan. Dia membantuku menemukan rutinitas baru, membantu menemukan hobi baru dan masih banyak lagi bantuan-bantuan yang datanh. Pada Sabtu kali ini, dia memgajakku ke suatu tempat.

Pada minggu kemarin dia mengajakku merangkai bunga. Seperti kelas bimbingan yang beejalan hanya sehari, disana kami bebas menentukan bunga-bunga apa saja yang ingin kami jadikan buket. Kadang ide anehnya itu suka muncul secara tiba-tiba dan mengajakku untuk mengikuti kemauannya yang dadakkan. Selama merangkai bunga aku mengalami banyak kesulitan.

Dari memotong tangkainya yang kepanjangan, atau lupa membuang daunnya, atau alu yang heboh karena melihat ulat di salah satu buket peserta lainnya. Melakukan hal baru itu menyenangkan juga ternyata. Aku baru menyadari selama hidup akhir pekanku terkurung dalam kamar melulu dan hal itu lah yang membuatku mudah tertekan.

Seperti yang sudah-sudah, dia datang membawa renaca baru untukku hari ini. Kedatangannya memang bukan dadakan, kami sempat merencanakan untuk bersama hati ini. Awalnya aku menceritakan tentang Bapak dan Biyung yang akan pergi umroh jum'at ini, lalu sebuah ide konyolnya datang secara tiba-tiba.

Suara ketukan pintu pada Sabtu pagi cukup mengganggu tidurku. Dengan mata yang cukup berat untuk dibuka, kutarik mukena untuk menyambut tamu dengan wajah yang kusut. Tidak, aku tidak melupakan rencana kedatangan dia, hanya saja dia tidak memberi tahu jam berapa dia akan berkunjung.

“Masuk, masuk,” kataku membuka pintu dengan lebar.

“Baru bangun, ya?” tanyanya.

“Seperti yang kamu lihat,” jawabku santai menghidupkan lampu ruang tamu.

Dia terkekeh. “Pantas.”

“Kenapa memangnya?” tanyaku. “Ini kan akhir pekan, orang-orang bebas bangun kapan saja diakhir pekan.”

“Bukan begitu, iler mu masih menempel di pipi,” katanya diambang pintu.

Aku terkejut malu sampai mematung, “Masa,” kataku sambil membersihkan pipi dengan mukena secara kasar.

Dia tertawa semakin jadi. “Buat apa aku berbohong,” katanya setelah tawanya selesai.

Aku memberengut, melihat dia yang masih berdiri diambang pintu aku mengajaknya masuk. “Kamu mau masuk gak?”

“Sepertinya gak usah, aku di teras saja,” jawabnya.

“Loh, kok begitu? Aku lagi sekucel ini males mejeng di luar,” ucapku.

Dia mendengkus. “Nanti digrebek pak RT.”

Aku membalasnya. “Pintu depan dibuka saja supaya gak digrebek pak RT,” kataku rasional.

Setelah pertikaian panjang, akhirnya dia masuk duduk di ruang tamu. Sementara aku naik ke lantai dua untuk membersihkan diri. Sejujurnya, aku tidak benar-benar tahu tujuan dia datang kemari. Biasanya jika ingin mengajak pergi ke suatu tempat dia akan bilang dulu sebelumnya lewat sebiah pesan. Namun, kemarin dia hanya mengabariku lewat panggilan ingin menemaniku yang ditinggal Bapak dan Biyung umroh.

“Tidak perlu, memangnya aku anak kecil,” kataku dibalik ponsel.

“Memangnya kalau sudah dewasa gak boleh ditemani,” jawabnya.

Aku mendengkus. “Ya sudahlah, suka-suka kamu saja,” kataku kalah.

Setelah selesai memebersihkan tubuh, aku buru-buru turun ke ruang tamu. Menemuinya yang masih sibuk dengan teh yang kusajikan dan buku bacaannya di tangan.

“Jadi, hal menyenangkan apa yang bakal kamu tunjukkan padaku hari ini,” kataku menghampirinya.

Dia mengangkat kepalanya, memandangiku yang sedang berjalan mendekatinya. “Tidak ada, aku hanya ingin bilang menemanimu, bukan.”

Kita, Cerita, Kamera.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang