36: DENGAN RASA YANG SAMA

98 16 9
                                    

Di usiaku yang ke 60, aku memutuskan pensiun. Usahaku dan suamiku dipegang oleh ponakanku dari suami yang cukup dekat dengan keluarga kami. Dengan berhentinya aku dari bekerja, aku semakin menyadari betapa sepinya rumah megah yang telah berdiri kokoh selama lebih dari 50 tahun ini. Maka dari itu, aku memutuskan untuk tinggal ditempat jauh lebih hangat lagi suasananya.

Aku tinggal di sebuah panti jompo swasta yang megah. Disana aku dikelilingi oleh orang-orang sebayaku, membuat aku bisa kembali menjalin silaturahmi lebih dari sekedar rekan bisnis. Aku mendapatkan kegiatan bermacam-macam dengan teman-teman baruku. Dari senam sehat bersama, coffe break tiap pukul satu dan aku biasanya bermain catur bersama. Berkumpul pada acara teh petang, bahkan kami ada kelas merajut bersama-sama. Seperti bersekolah lagi dan tinggal disebuah asrama dengan aturan yang lebih ringan.

Disini, tiap sanak saudara bebas mengunjungi orang tuanya. Begitu pula dengan kami yang telah sepuh, bebas keluar masuk panti. Pada malam hari, di awal bulan Febuari aku terbangun dengan gelisah. Belakangan ini, aku memang kerap kali mengenang masa mudaku. Sampai tiba-tiba Hassan mendatangi mimpiku, dalam mimpi tersebut aku berada disebuah kedai kopi tempat aku dan dia pertama kali bertemu.

Aku duduk dekat jendela kaca besar yang menghadap jalanan, sedang dia duduk tidak jauh dari meja kasir bersama dengan segerimbolan orang yang tidak kukenali sambil berbincang-bincang. Mataku terpaku pada senyumnya yang terulas, sampai dia menangkap pandanganku dari kejauhan. Dia tersenyum padaku, anehnya senyum itu seolah seperti kita sudah saling mengenal dengan lama. Padahal seharusnya masa masa itu adalah kali pertamanya kita bertemu.

Dengan mata teduhnya, senyum dari bibirnya yang tipis, hidung bangkirnya, kaca matanya, semuanya aku ingat. Sejak kepergianku ke Singapur, aku tidak lagi mengunjungi makamnya. Mungkin aku merindukannya, atau mungkin dia memintaku berkunjung? Oleh sebab itu, aku terbangun dengan perasaan malu. Seharusnya aku sudah melupakannya.

Pagi harinya, aku dengan sopir pribadiku mengunjungi makam suamiku. Aku terpaku di depan makamnya, lalu berjalan untuk duduk disamping nisannya. Kutaburkan kelopak mawar merah indah kesukaannya dan air mawar yang membuat makamnya harum, lalu kubelai lembut nisannya.

Namanya terukir indah, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kematiannya, aku memang selalu mengunjungi makam suamiku secara teratur setiap awal bulan. Walau, ada pengurus kebersihan yang senantiasa membersihkan makam suamiku, aku tetap megunjungi dan merapihkannya sebisaku.

Assalamu’alaikum, sayang,” panggilku. Lalu kupandangi nisan yang senantiasa tidak pernah berubah itu. “Aku baik-baik saja, kehidupanku di panti menyenangkan. Aku belajar merajut syal,” tambahku.

Lalu ketika angin menerpa kuat membuat dedaunan berterbangan ada salah satu daun yang jatuh tepat dipucuk kepalaku. Aku mengambilnya, memandangi daun tersebut untuk sekadar bernostalgia singkat. Lalu kualihkan lagi pandanganku pada nisan suamiku.

“Syal yang kurajut berwarna merah, warna kesukaanmu yang sekarang sedang kupakai. Kenapa kamu jarang mengunjungi mimpiku, bahkan akhir-akhir ini tidak pernah,” kataku mengeluh. “Kunjungilah aku sesering mungkin, agar aku tidak melupakan wajahmu,” lanjutku lalu tersenyum.

Aku menarik napas panjangku ketika angin musim hujan kembali berdesir. “Sayangku, maaf aku membuatmu malu. Ingatanku mulai kabur, aku sudah tidak bisa lagi mengingat suara tawamu, aku selalu meraba-raba rupamu. Maaf aku gagal untik menjafi isteri yang baik.”

Tiba-tiba mataku dihantam oleh awan kelabu. “Bagaimana kabar dua putri kita? Maaf aku tidak bisa menjaganya…,” ucapanku tersendat oleh air mata yang tiba-tiba datang.

Mungkin jika dua putriku masih ada aku akan datang ke makamnya bersama-sama dengan mereka. Aku merindukan gadis pertamaku yang bawel yang selalu punya pendiriannya sendiri dan si bungsu yang manjanya luar biasa. Jika mereka masih hidup akankah mereka hidup bahagia bersama keluarganya. Apa mereka akan sering-sering mengunjungiku di rumah megah kami? Atau justru mereka lupa?

Kita, Cerita, Kamera.Where stories live. Discover now