Ketakutan Puri

20 5 1
                                    

Keesokan paginya, saat mentari baru saja menampakkan pesonanya. Dengan cahaya perak berkilau dengan udara sejuk menenangkan. Sirine yang sama berbunyi, menggemparkan manusia seisi pondok. Puri tersentak dari tidurnya, mengintip dari balik jendela tua disamping tempat tidurnya. Angka 2 kembali menggantung di atas sana, memberikan peringatan pada mereka jika hari besar akan segera tiba. Riuh muncul dari balik pintu saat suara itu menghilang, berjalan dengan tampak bodoh menyerupai kodok mendekati puri dan duduk tanpa diminta diujung tempat tidur gadis itu. Puri mengangkat alisnya saat mendapati riuh hanya diam sambil memandangnya.

“Begini puri, apa boleh kau membawa ku melihat-lihat hutan?” riuh menggaruk tengkuknya, melihat puri yang masih terdiam dengan kening berkerut.

“Tempat itu terlarang bagi kalian, apa itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaanmu,” puri menyingkap selimut coklat lusuh miliknya, turun dari ranjang dan melipat benda itu kemudian menyimpannya di atas bantal.

Riuh mengamati setiap aktivitas puri, mencoba menemukan kata yang pas untuk membujuk gadis yang lebih tua dua tahun darinya itu. “Aku hanya ingin tahu bagaimana di dalam sana, aku mohon hanya sebentar saja. Kau bisa membawa aku kemana pun kau mau.”

Puri menghela nafas jengah, ia membanting sikat gigi miliknya dan berbalik memandang riuh dengan wajah masam.

“Kau pikir aku bodoh,” tangan puri terangkat, ia menunjuk tepat di depan wajah riuh.

“Maksudmu?” tanya riuh berpura-pura tidak mengerti.

“Aku tahu kalian mencurigaiku melakukan hal-hal buruk diluar sana. Siapa yang memintamu?” puri melirik keluar kamar, tepat dimana anak laki-laki tengah duduk di atas meja makan dengan gelisah, sembari memakan sepotong roti keras ditemani air putih, “apa pemuda yang selalu mengeluh itu? Atau si sok kuasa?” Puri sengaja menaikan suaranya, kembali melirik ke arah benua yang sudah terlihat ingin mengambil ancang-ancang berlari dan menyerang puri. Sayangnya tangan pria itu ditahan jiwa dari bawah meja.

“Tidak puri, dengar jika tidak bisa, tidak masalah. Aku akan pergi keluar dan mencari kayu bakar disekitar sini.” Riuh berlari melesat keluar, membanting pintu cukup kencang dan hilang dibaliknya. Puri kembali menatap wajahnya di depan cermin, kemudian berjalan keluar kamar, mengambil sepotong roti yang sama tanpa memperdulikan virgo yang tersenyum padanya dan benua yang tengah menahan amarahnya. 

Puri lagi-lagi pergi memasuki hutan, ia melewati jalur kiri di selatan. Bertemu dengan pohon sebesar sepuluh pelukan orang dewasa dan melewatinya. Puri memotong jalan ke arah kanan, melewati jembatan akar yang memisahkan antara jurang dengan sisi seberang. Lalu setelah berhasil, ia dapat melihat hamparan langit biru cerah diujung sana, puri mempercepat langkahnya saat jarak ia dan tempat tujuannya sudah dekat.
Hamparan awan putih dan langit biru menyambut puri saat kakinya berhenti diujung hutan. Dimana terdapat tebing tinggi ditempat ia berdiri, puri tidak bisa melihat ujung dari jurang dibawah sana, sekeras apapun ia mencoba. Sejauh mata memandang, dia hanya bisa menemukan kabut putih. Puri tidak pernah membayangkan hal apa yang ada dibawah sana. Jika ia jatuh, mungkin tubuhnya akan lebur bersama angin. Puri berjalan ke samping, dimana terdapat pohon beringin besar dan batu seperti kursi dibawah nya. Menjatuhkan bokongnya di atas batu itu, puri kembali tersesat di dalam pikirannya.

Gadis itu terdiam, mengamati cerahnya lapangan kapas putih diantara birunya samudera sang kuasa. Bersiul kecil, puri memainkan irama lagu yang biasa ayahnya nyanyikan, lagu yang dulunya mampu membuat puri tenang dan berhenti dari tangisnya. Diakhir siulannya, puri berhasil mendatangkan sosok ayahnya. Di atas sana, diantara putihnya awan dan ditengah birunya samudera langit. Wajah ayahnya terukir jelas disana, tersenyum begitu indah menatapnya. Puri terpesona, ia tenggelam dalam kuasa khayalannya, dimana ayahnya datang dalam sosok putih di atas sana. Namun, puri tiba-tiba berteriak ketakutan saat wajah tersenyum ayahnya berubah menjadi wajah kesakitan. Ayahnya kesakitan, dan dia dapat merasakan itu di hulu hatinya. Air mata puri jatuh tanpa bisa ia tahan, apa yang sudah terjadi dengan ayahnya. Kenapa ayahnya kesakitan? apa yang sudah mereka lakukan pada pria paruh baya itu. Apa mereka menyiksanya? Tapi kenapa? Puri sudah mengikuti semua kemauan mereka. Puri membunuh, menjaga jarak dari teman-temannya, berkhianat, bahkan berbohong. Apa semua itu masih kurang?

Game Over Where stories live. Discover now