Keberangkatan

14 4 6
                                    



Benua melempar kayu bakar terakhir ke arah kepulan api yang hampir padam ketika puri datang menghampirinya. Gadis itu duduk disamping api unggun tak jauh dari benua, puri terkikik geli saat melihat raut tidak bersahabat dari pria itu. Mendekatkan kedua tangannya ke arah api unggun, benua menggeser posisi duduknya sedikit menjauh dari gadis yang paling ia benci di dunia. Kekesalan pria itu semakin menjadi saat mendengar suara tertawa puri disamping nya.

“Pergilah, aku benci ada wanita disamping ku,” menoleh sedikit benua dapat melihat puri berhenti tertawa dan memandangnya.

“Kalau begitu kau gay,” tersedak benua langsung memandang puri. Wajah gadis itu biasa saja walaupun ia baru saja melemparkan hinaan yang begitu kasar.

“Aku suka perempuan, kecuali itu kau!” benua menunjuk puri, kesal dan marah. Melirik ke sana kemari mencoba mencari teman-temannya yang entah hilang kemana.

“Kenapa kau benci aku?"

“Karna kau pembunuh!” Puri terdiam, wajahnya tidak lagi sesantai tadi. Jantungnya bergemuruh dan tangannya gemetar hebat, meski tahu benua adalah pria menyebalkan tapi tetap saja mendengar kata itu membuat puri ketakutan.

“Yang lain mungkin mempercayaimu, tapi aku tidak. Aku selalu yakin dengan pendirianku, dengan apa yang aku lihat, dengar, dan aku rasa benar."

Menghela nafas lelah, puri tersenyum tipis menepuk bahu benua meski berakhir penolakan. Pria itu semakin mengambil jarak dari puri, kini mereka dipisahkan oleh api unggun yang panas.

“Tetaplah begini sampai kita di arena nanti, aku suka pada pendirianmu walaupun harus aku akui kau cukup menyebalkan.”

Puri bangkit, memandang benua dan tersenyum lebar. Membuat benua mengernyit bingung sekaligus heran dengan sikap puri, “aku akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kita semua. Apapun, bahkan jika itu berarti harus menukar jiwaku.”

Benua bergerak tak nyaman, matanya terus saja terbuka. Saat ini mungkin saja sudah hampir pagi tapi matanya belum juga terpejam, beberapa jam lagi akan ada pesawat yang menjemput mereka. Ketakutannya bukan lagi tentang arena dan orang-orang di dalamnya, tapi tentang percakapan nya dan puri beberapa jam lalu, semuanya terasa begitu menganggu tatapan dan suara itu berlalu lalang dalam pikirannya. Dia tidak dapat membuang suara puri dari dalam kepalanya, tatapannya saat mengatakan dia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan semuanya. Siapa yang dia maksud semuanya? Apa yang sedang gadis itu rencanakan? Dan apa sebenarnya yang terjadi pada puri. Benua selama ini selalu menutup mata tentang gadis itu, berpura-pura tidak peduli disaat semua teman-temannya mengkhawatirkan puri, benua memilih acuh. Ia jelas benci gadis itu, dia membenci sifat sombong puri, dan dia selalu curiga jika puri ada hubungannya dengan semua ini. Dia selalu curiga dengan tatapan randu pada puri, gadis dan pria tua itu terlihat sering sekali bicara lewat tatapan. Entah yang lain sadar atau tidak, tapi benua menyadari itu. Dia memperhatikan setiap gerak-gerik puri, bagaimana gadis itu terlihat kotor dan kelelahan setiap ia pulang dari hutan, dan beberapa luka goresan kuku di tubuh gadis itu. Benua mengetahuinya, dia melihatnya, dan dia yakin jika puri pasti juga bertarung diluar sana. Pertanyaannya hanya satu, dengan siapa. Benua awalnya mengira mungkin saja selama ini randu lah lawan puri, tapi rasanya tidak mungkin. Lalu jika bukan randu, siapa? Apa mungkin ada orang lain diluar sana.

Menghela nafas, benua memandang wajah riuh. Semua orang memang sudah bersih dan terlihat seperti terlahir kembali, tapi tetap saja produk apapun dan sehebat apapun itu tidak akan bisa menghilangkan wajah lelah dan putus asa teman-temannya. Ketakutan dan jeritan putus asa mereka membuat benua merasa muak, berpura-pura baik-baik saja di depan satu sama lain padahal mereka begitu rapuh dan kesakitan, membuat benua marah.

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang