EMPAT PULUH DUA

15 3 0
                                    

Keesokan harinya, Mave terbangun ketika mendengar teriakan dari seorang suster yang masuk ke dalam kamar Jade, dengan panik suster tersebut berteriak, "Suster Nia! Tolong panggil Dokter Agus untuk memeriksa pasien! Pasien sudah mulai merespons dan bergerak!" ia kemudian berlari dari arah pintu untuk memberikan pesan, lalu ia kembali ke ranjang Jade dan memastikannya kembali. Anggap saja beruntung, bagi Suster Tiya yang baru saja kembali dari cuti panjangnya dan ditugaskan untuk memeriksa kondisi seorang pasien koma yang kemudian memberikan respons yang begitu positif.

"Suster?! Apa yang suster maksud? Jade, apa Jade akan bangun?" Mave berlari dengan kencang meskipun jaraknya tidak begitu jauh dengan Jade.

"Ya! Saya melihat ada kemungkinan, namun harus dipastikan kembali dengan dokter. Mohon menunggu ya, Mas," ujar Suster Tiya, memberikan sedikit harapan bagi Mave.

Setelah satu jam kemudian, apa yang dikatakan oleh Suster Tiya adalah hal yang benar. Dokter Agus sudah memeriksa Jade dan perlahan wanita itu membuka matanya sehingga saat ini, Mave yang begitu senang tidak karuan itu sedang menghubungi semua sahabat Jade dan dirinya untuk cepat-cepat datang ke rumah sakit. Ia juga tidak lupa memberitahu kedua orangtua Jade melalui pesan karena panggilan teleponnya tidak dapat tersambung dengan mereka.

"Jade!" Mave tidak habis-habisnya menyunggingkan senyumannya seakan hanya ada reaksi itu yang dapat ia lakukan.

' "Bisa udahan nggak senyumnya? Senyum lo itu bener-bener bikin resah tau nggak?" Jade saat ini masih tiduran di ranjang rumah sakit, meskipun dokter sudah menyatakan bahwa efek samping obatnya tidak begitu parah, ia tetap diberikan ultimatum untuk tidak banyak bergerak dan melakukan aktivitas berat setelah baru sadar dari koma singkat.

"I really missed you voice," Mave berkata dengan senyumannya itu.

"Please, no," balas Jade.

"I miss you," Mave melebarkan kedua tangannya seolah membentuk lingkaran yang sangat besar, "this much, much bigger sih sebetulnya."

Jade terkekeh, kemudian memberikan reaksi seakan dia sedang muntah karena terlalu mual dengan pernyataan dari Mave, "Jijik tau nggak?"

"Bodo amat," balas pria itu.

"So, care to explain how I ended up here?" Jade sedari tadi masih belum paham bagaimana ia dapat koma, bagaimana ia bisa dibawa ke rumah sakit, siapa yang menemukannya di kamar? Ia kira tidak akan yang menemukannya kecuali Bi Haya karena perempuan paruh baya itu selalu menghampiri kamarnya setiap satu jam untuk memastikan kondisinya.

"Hello? Gue kangen sama lo," pria itu mengulang pernyataannya, "dan lo malah mau gue ceritain tentang kejadian beberapa hari yang lalu? You are mean, you know that, don't you?"

"Ya, ya, ya, I know that and I also know that no words can explain the way you're missing me. Tapi, gue benar-benar pengen tau bagaimana gue bisa berakhir di rumah sakit ini dan kemana kedua orangtua gue? Dan, lo nginap disini buat temenin gue?" Jade mengerutkan dahinya ketika matanya menangkap ada tas besar yang diduga berisikan baju-baju pria itu dan terlebih lagi ada bantal serta selimut bulu berwarna hitam yang ada di sofa rumah sakit yang membuatnya bertanya, "lo nginap disini, Mave?" ulangnya.

"Yes, bingo! You are totally right," Mave menjawab apa yang dikatakan oleh Jade mengenai tidak adanya kata yang dapat mendeskripsikan betapa ia kangen dengan wanita itu. Ia menganggukan kepalanya setelah itu, menunjuk selimut dan bantal yang sudah menemaninya dalam beberapa hari ini dan berkata, "gue sangat beruntung karena lo dengan cepat sadar dari koma karena kemungkinan besar gue akan beli ranjang kecil beserta guling untuk menemani gue tidur disini kalau lo masih ada di rumah sakit," ia menatap sofa hitam itu dengan sinis, "I really hate that sofa. Oh, perhaps, gue bakalan buang semua sofa kecil yang ada di rumah gue dan menggantinya dengan yang lebih besar. I really hate small sofa now. Kayaknya gue trauma deh," ujar pria itu dengan dramatis. "Lo bisa bayangin kan betapa tingginya gue yang sama sekali nggak cocok dengan sofa itu?" ia menunjuk sofa malang bagi Jade.

"Traumas, my ass," sindir Jade.

"Apa gue harus ngomong sama Kyla untuk minta kakeknya mengganti semua sofa yang ada di rumah sakit? Sangat tidak bagus untuk seukuran pria dengan tinggi sempurna seperti gue, Jade," ia berusaha keras untuk tidak tertawa ketika tangannya membentuk pistol dan ditaruh dibawah dagunya.

"Apa hubungannya sama Kyla?"

"Kyla?"

"Ya."

"Lo nggak tau?"

"Nggak, tau tentang apa?"

"Kyla adalah cucu dari pemilik rumah sakit ini. Yeah, karena gelar itu yang mempermudah segala persoalan administrasi, pengobatan dan sebagainya," sebetulnya Mave merasa tidak enak dengan Kyla, namun untuk Jade, ia berusaha untuk menyampingkan rasa tidak enaknya. Bahkan, pernah sakali ia diam-diam memasukkan sejumlah uang sebagai donatur anonim miik yayasan keluarga Kyla agar wanita itu tetap menerimanya tanpa mengetahui apapun.  

TAKE A CHANCE WITH MEWhere stories live. Discover now