LIMA PULUH SEMBILAN

18 5 0
                                    

Sudah tidak di taman, Mave dan Jade saat ini berada di depan mini tent yang sengaja disediakan oleh pihak hotel guna para pengunjung untuk bersantai. Mereka berdua juga sudah memutuskan bahwa hari ini akan menginap di hotel milik keluarga Mave dan telah ijin dengan keluarga masing-masing. Tentunya, mereka berdua akan tidur terpisah di kamar masing-masing dengan pakaian yang akan dibawakan oleh pekerja hotel atas permintaan Mave tadi.

"Mave, kalau misalkan gue nggak jadi ke Liverpool, menurut lo apa yang bakalan terjadi?"

"Lo bakalan jadi pacar gue. That's a first."

Jade berdecih, mengalihkan pandangannya dari Mave dan berkata, "Pede mampus." Matanya melihat ke langit yang sudah berubah menjadi gelap sejak tadi. Satu hal yang dapat dipastikan oleh Jade adalah mencari bintang bukanlah hal yang mudah karena selama delapan belas tahun ia hidup, tidak pernah sekalipun ia menemukan bintang. Hanya ada bulan yang terlihat di malam hari olehnya. "Bintang, mungkin kalau gue nggak ke Liverpool, hal pertama yang bakalan gue lakuin adalah lihat bintang di Bandung."

"Lihat bintang?"

"Ya, I really want to see a star. Lebih tepatnya gue harus melihat bintang sebelum gue meninggalkan dunia sih. Kan, nggak lucu ya kalau gue ditanya sama penghuni diatas sana, pernah lihat bintang ga? Jawaban gue nantinya nggak pernah. Bakalan diketawain ya nggak sih?" Jade tidak mengalihkan pandangannya dari langit, ia melanjutkannya dengan, "Kayak bodoh banget?"

Mave tertawa mendengar lelucon yang disampaikan oleh Jade sekaligus tidak percaya kalau perempuan itu belum pernah melihat bintang satu pun di sepanjang hidupnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri kalau ia akan memastikan Jade dan bintang untuk bertemu. "Setelah lo pulang dari Liverpool, Jade."

"What?"

"Nggak apa-apa."

"Lo mau bawa gue lihat bintang setelah gue pulang dari Liverpool?"

"Mungkin?" Mave mengedikkan bahunya, pura-pura untuk tidak berjanji pada perempuan itu. "Lihat nanti aja."

Jade melirik ke arah Mave dan pertama kalinya dalam sejarah, ia begitu menyukai rupa dari wajah pria yang ada disampingnya. Biasanya dia akan mengelak dan tidak mau mengakui, tapi ada kesan yang berbeda untuk malam ini. Tingkat ketampanan Mave dengan pakaian yang ia gunakan sangatlah di luar nalar dan membuat pesonanya semakin bertambah. Tuhan, tolong percepat waktu penyembuhan dan mencari jati dirinya agar ia dapat menyebut pria tampan ini miliknya. Eh? Apa? Miliknya adalah satu kata yang tidak pernah ia ucapkan ketika bersama dengan Ian.

"Do you like what you see?" sindir Mave yang melihat tatapan mata Jade dari ekor matanya. Ia tersenyum hangat dan tertawa pelan, "Jujur, time flies so fast. Gue pernah ngomong nggak ke lo kalau pada awalnya gue nggak mau berhubungan apapun sama lo. Bahkan, pas pertama kali gue lihat lo di lapangan basket aja gue udah bilang ke teman-teman gue kalau gue nggak akan ada urusan apapun sama lo."

"Kenapa?"

"Nggak tau sih tepatnya gimana, tapi ada perasaan janggal yang gue rasain pas pertama kali dan gue tafsirin sendiri kalau akan ada hal negatif yang terjadi. Tapi, sekarang gue malah merasa kalau gue adalah orang yang paling beruntung," Mave berkata dengan pelan, matanya kali ini sudah berpindah ke arah Jade, menatapnya dengan hangat dan penuh arti. "ketemu sama lo adalah hal yang paling gue sukai dan syukuri setiap harinya, berada di hidup lo meskipun harus long distance relationship pun membuat gue bahagia secara nggak langsung."

Jade terdiam, memahami setiap perkataan yang keluar dari Mave namun ia malah memikirkan hal yang lain dan tentunya memancing pertanyaan dari pria yang menatapnya lekat-lekat. "Gue punya satu ide gila sih, ya, kayaknya gila deh?" ia ragu-ragu untuk memberitahu Mave. "Gimana kalau selama gue di Liverpool, lo dan gue nggak boleh saling berhubungan secara langsung."

"Maksudnya?"

"Lo nggak boleh chat gue, begitupun sebaliknya."

"Dan?" Mave mengerutkan dahinya, "gimana caranya kita bisa komunikasi?" ia tidak paham. Tadinya, ia berpikir untuk tetap berkomunikasi meskipun tidak rutin, tapi kalau sekarang seluruh jalur komunikasi mereka berdua akan diputus, bagaimana kedepannya?

"Karena kita berdua sama-sama mau take a break, ya gimana kalau sekalian kita jangan berkomunikasi?"

Mave menatap Jade tidak paham, namun tangannya melepaskan jaket yang ia pakai dan mengambil selimut bersih yang ada di belakang tenda. Ia menyampirkan jaket terlebih dahulu pada Jade dan disusul dengan selimut diatasnya. Angin malam begitu dingin menusuk tulang-tulang mereka dan membuat Jade sakit sebelum perempuan itu pergi ke Liverpool adalah hal terakhir yang ia inginkan.

"Thanks," ujar Jade, menerima perhatian yang diberikan oleh pria tampan disampingnya. "Kita bisa saling kirim postcard untuk komunikasi. Tapi hanya sebatas itu aja."

"Jadi, gue nggak boleh melakukan apapun kecuali mengirimkan lo sebuah postcard?" Mave mengerutkan dahinya, ia tidak pernah menyangka kalau Jade akan menyarankan hal yang begitu kuno dan di luar nalarnya. Tapi, sepertinya lebih baik seperti itu dari pada tidak berkomunikasi sama sekali? "I guess I am fine with that, tapi bisa lo kasih gue satu alasan kenapa kita harus melakukan itu dan tidak berkomunikasi lewat panggilan suara ataupun hal lainnya yang bergantung pada teknologi?"

"Karena gue mau kita tetap fokus sama tujuan kita masing-masing."

"Take a break and find yourself? Oh, one more thing, to explore the world?" tanya Mave yang dibalas dengan anggukan kepala secara cepat tanpa perlu dipikirkan kembali oleh perempuan yang saat ini sedang tersenyum sangat lebar, seakan menunjukkan bahwa ia adalah orang yang paling bahagia di dunia saat ini. Mave sangat menyukai senyuman Jade dan berharap saat ini ia dapat mengabadikannya ke dalam sebuah foto, tapi ia akan membiarkan kepalanya yang merekam semua momen ini. "Kalau gitu kita akan pakai cara old school untuk berkomunikasi," ia menyetujui.

TAKE A CHANCE WITH MEWhere stories live. Discover now