EMPAT PULUH SEMBILAN

19 3 0
                                    

Malam harinya setelah Jade pulang ke rumah dari rumah sakit, ia memutuskan untuk menemui kedua orangtuanya di salah satu restoran Jepang yang menyediakan private room dan merupakan salah satu dari tiga restoran kesukaan kedua orangtuanya. Bahkan, Papanya Jade pernah sampai menyewa satu restoran Jepang yang bernama Ikigãi ketika istrinya yang tidak lain yaitu Jocelyn, untuk merayakan hari jadi mereka.

Jade berjalan melewati lorong demi lorong bersama dengan salah satu pelayan restoran. Ia menyempatkan diri untuk mengecek jam tangannya yang ternyata menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. "Tolong make suresemua makanan yang saya pesan sudah dikeluarkan pada saat kedua orangtua saya sampai di depan pintu gerbang saat mereka memberitahu nama mereka ya."

"Baik, Bu," jawab pelayan wanita tersebut.

"Saya minta ocha yang nantinya akan disajikan itu hangat. Tidak panas dan juga tidak dingin. Mama saya tidak menyukai minuman dingin," Jade kembali mengingatkan hal-hal yang sudah ia pesankan pada manager Ikigãi ketika memesan ruangan beberapa jam yang lalu, "dan untuk salmon yang akan digunakan, saya minta yang paling fresh. Apa kamu mengerti?"

"Setiap ikan salmon yang kami gunakan selalu dibeli di hari yang sama, Bu. Mereka masih segar tentunya," pelayan wanita tersebut berkata dengan lembut.

Ketika Jade sedang berjalan, ia secara tidak sengaja bertemu dengan satu orang yang sudah sangat lama tidak ia lihat, bahkan pria itu juga tidak menjenguknya ke rumah sakit. "Kian?" sapanya pada pria yang saat ini menggunakan kacamata dan memegang dua buah map transparan yang ada ditangannya.

"Hei!" sapa Kian kembali, ia cukup canggung untuk menerima sapaan dari Jade.

"Lo ngapain disini? Ada janji ketemu makan juga?"

"Ah, nggak," ia memegang belakang kepalanya, "maksud gue, ya, gue baru aja ketemu sama bokap untuk bahas mengenai pemilihan program internship dan exchange selama dua semester di luar negeri," Kian memberikan penjelasannya.

"Oh? Di kampus kita ada program pertukaran selama dua semester ya? Menarik banget!" Jade menyunggingkan senyuman ramahnya, "goodluck loh!"

"Ah, gue belum tentu bakalan ambil kesempatan ini sih. Bokap nggak setuju karena gue cuman satu-satunya anggota keluarga yang bersama sama dia. Ya, pada intinya adalah gue nggak bisa meninggalkan dia," Kian menghela nafasnya, "tapi, kayaknya lo tertarik? Mungkin lo mau coba?"

"Gue? Gue mah nggak bakalan keterima," kekeh Jade. Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan untuk pergi keluar dari Indonesia untuk waktu yang sangat lama. Ia lebih menyukai untuk tetap berada di zona nyamannya.

"Gue bisa pastiin lo dapat rekomendasi dari rektor dan kemahasiswaan bisa bantu daftarin lo, Jade," Kian terlihat sangat bersemangat, "gue bahkan bisa jadi mentor lo dengan sumber daya yang gue punya. Gue udah mengincar program ini dari lama, gue punya semua informasinya," ia tersenyum dengan antusias dan menatap perempuan yang sempat ia sukai itu dengan penuh harap.

Jade tertawa pelan melihat antusiasme dari kakak tingkatnya itu, perlahan ia mendaratkan tangan kanannya di bahu pria itu, "Sorry banget, Kak. Gue belum pernah kepikiran untuk ninggalin Indonesia. Kasihan juga kalau Kyla ditinggal sendirian buat hadapin Bu Indri," ia menutupnya dengan kekehan pelan setelah mengingat dosen mengerikan yang seringkali memarahi para mahasiswa yang ada dikelasnya.

"Gue yakin kalau Kyla bakalan setuju banget sama ide ini, Jade. Besides, bukannya semua sahabat itu selalu berharap kalau kita memutuskan keputusan yang membuat kita bahagia? Kecuali kalau mereka fake friend ya, itu lain cerita," kekehnya. "Gimana kalau gini aja? Gue kasih lo ini," Kian menyodorkan brosur dan map yang berisikan semua informasi program pertukaran mahasiswa yang ia miliki, "dan lo pertimbangin dulu, diskusi sama orangtua lo dan lo bisa kabarin gue hasilnya di tiga hari mendatang karena deadline pendaftarannya itu cukup mepet."

Jade yang merasa tidak enak itu mau tidak mau menerima map yang diberikan oleh Kian. "Gue bakalan pertimbangin sekali lagi ya, tapi tolong banget untuk nggak banyak berharap."

"That's totally fine. Gue cuman mau menawarkan solusi terbaik buat lo aja, Jade."

"Thank you so much, Kak."

"Kenapa lo jadi balik manggil gue formal gitu sih? Panggil aja Kian," ujar Kian, sedari tadi ia menyadari kalau Jade seakan menganggapnya sebagai orang asing. "Ketemu sama gue ngebuat lo canggung ya, Jade?"

"Nggak," Jade segera menggelengkan kepalanya, "bukan gitu. Cuman, gue udah lama nggak ketemu sama orang kampus kecuali Mave, Asher, Harry sama Kyla, mungkin itu yang ngebuat lo merasa kalau kita berdua itu canggung."

"I don't know why, but it kinda make sense," Kian mengangguk, kemudian ia mengernyitkan dahinya, "kapan terakhir kali lo ketemu sama Mave?"

"Mave?"

"Ya, kapan?"

"Kenapa emangnya, Kak?"

"Udah empat hari dia nggak masuk kelas. Bahkan, semua dosen udah mulai nyariin dia. Gue juga sangat bingung mau nyari dia dimana. Semuanya nggak ada yang tau soal kabar dia seakan dia menghilang begitu aja. Aneh."

Mave menghilang? Benar juga, sudah empat hari ia tidak mendengar kabar mengenai pria itu setelah pertengkaran keluarganya. Perasaan khawatir dan cemas mendadak Jade rasakan, ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari kontak dari pria itu. "Gue kira dia lagi sibuk di kampus loh," ia mengetikkan kalimat lo lagi dimana pada kontak pesan Mave.

"Gue kira gue akan mendapatkan jawaban kalau Mave selalu bareng sama lo selama empat hari ini, Jade."

"Nggak, dia nggak sama gue."

"Kalau gitu berarti gue masih ada kesempatan ya, Jade?"

"Ya?"

"Kalau nggak ada Mave disamping lo ... tandanya gue masih ada kesempatan untuk jadi pengganti Mave kan?"

"Penggantinya Mave?"

"Ya, penggantinya Mave, orang yang selalu disisi lo dan memperjuangkan lo."

Selama dua menit Kian menunggu jawaban dari Jade yang tidak kunjung datang dan hanya ada tatapan raut kebingungan dari wanita itu. Seakan mengerti maksudnya, Kian pun terkekeh canggung dan menaruh tangannya di belakang leher. "Nggak ada kesempatan ya? Nggak apa-apa kok."

Mendengar itu, Jade hanya meresponsnya dengan kekehan canggung juga. Sebetulnya, bukan karena ia tidak tau jawaban apa yang harusnya ia katakan, melainkan ia tidak tau bagaimana cara menyampaikannya agar tidak terjadi kesalahpahaman.

"Nggak apa-apa, Jade. Dari awal gue lihat interaksi lo dan Mave di Surabaya, gue udah menyadari kalau kalian berdua itu ditakdirkan bersama. Gue tau," ujar Kian dengan anggukan kepalanya sesekali ia juga tersenyum hangat.

"Sebenarnya bukan karena nggak ada kesempatan. Lebih tepatnya ... untuk saat ini gue yang memilih untuk nggak memberikan kesempatan pada siapapun, termasuk Mave. Nggak tau kedepannya gimana, tapi untuk saat ini gue memang mau sendiri dulu, Kak," Jade akhirnya memutuskan untuk berbicara agar tidak menimbulkan kesalahpahaman apapun terhadap siapapun yang nantinya akan mendengar hal ini, termasuk Mave.  

TAKE A CHANCE WITH MEWhere stories live. Discover now