LIMA PULUH

12 5 0
                                    

Suasana hening menyelimuti private room nomor satu dari restoran Ikigãi. Tidak ada yang membuka pembicaraan, mereka hanya fokus memperhatikan pramusaji yang mulai menata semua makanan yang dipesankan oleh Jade. Jade meremas tangannya sendiri dibalik meja makan, dengan gugup ia bertanya pada kedua orangtuanya, "Papa sama Mama masih suka makanan-makanan dari Ikigãi kan? Aku pesan beberapa menu yang biasanya kita makan sama-sama."

"Ya! Pastinya!" seru Jocelyn dengan antusias ketika matanya berhenti pada Chawan mushi kesukaan dirinya dan suaminya yang disajikan dengan daun bawang, udang kukus dan bonito flakes yang ada diatasnya. Ia menoleh pada suaminya, "She ordered you Tonkatsu," dengan senyuman yang hangat ia berkata.

"I know," Julian berkata dengan canggung.

"Aku pesenin papa Chawan mushi tanpa daun bawang juga," Jade kemudian menunjuk nampan keempat yang dibawakan oleh pramusaji. "They add more bonito flakes for you."

"Yes, Papa melihatnya dengan sangat baik."

"Kita makan dulu kalau begitu?" Jocelyn bertanya pada anak perempuannya, "kita akan ngobrol setelah itu, gimana?" ia berkata seperti itu dengan maksud setidaknya mereka bertiga harus makan seperti keluarga dulu, sebelum adanya kericuhan ataupun nada-nada tinggi setelah itu. "Makanannya terlalu enak untuk kita lewati cuman karena mau bahas mengenai masa lalu, ya kan?"

"Ya, sure, Ma. Aku ikut aja," jawab Jade, berbeda dengan Papanya yang langsung berdeham dan mengatakan, "sepertinya kita bahas dulu saja sebelum kita makan."

"Ah, sure," Jade mengangguk dengan canggung, tidak biasanya ia merasa canggung seperti ini didepan kedua orangtuanya. Meskipun ia jarang berkumpul dengan Jocelyn dan Julian, hubungan mereka tidak pernah seperti ini.

"Jul, aku kira lebih baik kalau kita makan terlebih dahulu. Aku juga nggak melihat ada permasalahan untuk menunda pembicaraan itu," Jocelyn berbicara.

"Nggak, lebih baik untuk lebih dulu menyelesaikannya," tegas Julian.

"Ah, ya, nggak ada masalah sama sekali, Pa, Ma. Kita bisa mulai pembicaraan mengenai kejadian satu minggu yang lalu dibandingkan untuk makan," Jade menyunggingkan senyumannya meskipun terkesan awkward. "Aku minta maaf atas kesalahpahaman satu minggu yang lalu. Aku sadar kalau aku nggak pantas untuk mengatakan kata-kata kejam yang udah aku sebutkan waktu itu untuk kalian."

Julian dan Jocelyn yang mendengar itu hanya terdiam, mencoba untuk menjadi pendengar yang baik sebelum mereka mengatakan alasannya ataupun berbicara akan hal yang lain.

"Aku akui kalau aku terlalu emosi pada saat itu karena aku merasa bahwa selama ini kalian berdua selalu nggak pernah mementingkan aku dan jarang sekali kita menghabiskan waktu bersama. Biasanya aku akan merasa biasa aja dengan hal tersebut. Namun, ketika aku bangun dari koma dan nggak melihat Papa dan Mama yang ada disamping aku, aku merasa nggak adil dan merasa kalau seharusnya kalian ada disana. Lalu, alasan yang kalian berikan ke aku pada saat itu ... terkesan," Jade menarik nafasnya pelan, "aku merasa kalau kalian benar-benar nggak peduli sama aku dan hidupku. Seakan kepentingan orang lain lebih didahulukan dibandingkan aku, anak kalian satu-satunya yang hampir kehilangan nyawanya."

"Lalu, obat tidur," Jade melanjutkan pembicaraannya, "dan sesi konseling yang aku hadiri setiap minggu. Kedua hal itu sudah aku lakuin sejak lama, sejak aku duduk dibangku dua SMA. Psikolog pertama yang aku datangi pada saat itu adalah Tante Mia, sahabat mamanya Ian. Tapi, setelah Ian pergi dari hidup aku, aku memutuskan untuk nggak bersama dengan Tante Mia lagi. Aku takut kalau Tante Mia akan berbicara mengenai aku kepada Ian."

Jocelyn menahan nafasnya, tangan kanannya sudah berada diatas dan menutupi mulutnya sendiri. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh anaknya itu, "Sudah dua tahun dan kami baru tau sekarang, Jade? Kamu ... pasti sangat menderita karena kami ya?"

"No, no, Ma. Mungkin memang pertamanya aku konseling karena kalian ... namun permasalahan di hidup aku bukan hanya karena kalian saja. Ya, pada intinya, semuanya adalah permasalahan aku."

"Mama minta maaf, Jade."

"Nggak, Ma. Ini bukan kesalahan Mama," Jade menggelengkan kepalanya, mengatur nafasnya sendiri dan menghapus air mata yang mengalir perlahan di wajahnya, "aku pergi ke psikiater setelah Tante Mia, lalu disana aku mulai diberikan beberapa obat yang termasuk salah satunya adalah obat tidur karena aku kesulitan tidur semenjak kepergian Ian dan kekosongan rumah yang selalu menjadi trigger, satu dari banyaknya hal."

Jade mengambil tiga botol obat yang ada di tasnya dan menaruhnya diatas meja makan. Ia sudah memutuskan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan dan kesalahpahamannya, ia harus terbuka. Jadi, ia mulai menunjuk satu persatu botol yang ada disana, "Ketiga obat inilah yang selalu aku konsumsi sejak satu tahun yang lalu."

Julian dengan raut wajahnya yang khawatir pun mulai melihat satu persatu botol yang ada. Kemudian, ia menyadari akan satu hal yaitu anaknya memang sangat membutuhkan pertolongan medis ataupun tenaga kesehatan lainnya yang memiliki spesialisasi dalam bidang kesehatan mental. "Ketiga obat ini, apakah memiliki efek samping untuk kamu, Jade?"

Jade yang mulai mendengar suara Ayahnya itu pun menyunggingkan senyumannya, "Nggak ada, Pa. Aku sudah memesan obat yang memang tidak ada efek samping sehingga tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Lalu, aku juga mengikuti saran dari dokter untuk melakukan banyak aktivitas di kampus."

"Maaf, kami minta maaf, Jade. Mama sama Papa nggak tau kalau kamu mengalami hari-hari yang berat dengan berbagai permasalahan. Kami hanya tau kalau kamu sedih akan kepergian Ian, that's all," Jocelyn tidak kuasa menahan air matanya yang sudah tidak terbendung lagi. Ia ikut tersakiti melihat anak perempuan satu-satunya tersakiti.

"Nggak, Ma. Akan menjadi nggak adil kalau aku hanya menyalahkan kalian atas apa yang terjadi sama aku. Aku nggak mau menjadi anak yang seperti itu meskipun aku sudah melontarkan banyak banget kalimat kebencian sama kalian," Jade menggelengkan kepalanya sekali lagi, "bukan salah kalian."

"Untuk saat ini, apa kamu udah baik-baik aja, Jade?"

"Sudah jauh lebih baik daripada tiga tahun yang lalu, Ma," jawab Jade dengan senyuman yang lirih seakan setiap ia mencetak senyumannya, ada perasaan yang teriris secara bersamaan.

"Kami," Julian mengambil waktunya, "minta maaf karena tidak menyadari ini semua sejak awal. Mama dan Papa sibuk untuk mengurus hal-hal lain sampai melupakan kamu karena kami selalu menganggap kamu adalah anak yang selalu ceria, mandiri dan dewasa. Kami salah, Jade." Tangannya mengarah pada obat-obat yang ada di meja, hatinya begitu remuk melihatnya, membayangkan anaknya yang harus ke tenaga profesional sendiri tanpa orangtua adalah hal yang paling menyakitkan. "Lain kali kalau kamu mau pergi konseling, kamu bisa beritahu Papa dan Mama mengenai itu?" ujarnya lirih.

"Bisa, Pa," Jade menganggukan kepalanya, air matanya menetes begitu saja.

"Lalu, mengenai kenapa kami tidak pernah datang selama kamu koma adalah kami berdua tidak berada di kota dan negara yang berbeda," Julian berbicara, "Papa dan Mama sibuk menguatkan diri kami di rumah."

"Papa dan Mama tidak diluar negeri atau kota?" Jade mengernyit.

"Tidak, kami langsung pulang begitu mendengar kabarmu," kali ini Jocelyn yang berbicara, "kami pernah datang sekali ke rumah sakit secara diam-diam, tidak mau membuat kehebohan. Tapi, yang kami temukan hanya kamu," tangannya menutup mulutnya, "terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan berbagai peralatan penopang hidup."

Jocelyn melanjutkannya dengan lirihan, "Kami tidak sanggup, Jade. Pengecut, bukan?"

"Nggak, Ma," Jade menghampiri Mamanya dan membawanya ke dalam pelukannya, "aku paham. Maaf karena aku nggak tau. Maaf, Ma," ia lalu melirik Papanya yang saat ini sudah menangis, Papanya yang tidak pernah menangis saat ini sedang menangis tanpa suara, "maaf, Pa."

TAKE A CHANCE WITH MEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora