•10•

2.2K 170 0
                                    

"Permisi, tuan ini kopi anda".

"Hm. Letakkan disitu" titahnya.

OB itu membungkuk, menaruhnya dimeja lalu keluar.

Pria dengan rahang tegas, bibir tebal, bermata runcing, hidung bangir dan alis tebal. Serta tatapan datar yang kharismatik itu terlihat sangat menawan. Yang mampu membuat para gadis diluar sana terpincut hanya dengan tatapan tajamnya.

Edgar, beberapa kali mengecek dokumen yang sedang ia kerjakan. Sebetulnya ia tak perlu susah untuk melakukannya, karena sekertarisnya mampu mengerjakan jika hanya proyek kecil seperti ini.

Holkay mah bebas, apa ngiri?

"Lio?"

Pria berkacamata itu lantas menoleh, melihat sang atasan memanggilnya ia langsung menghampiri.

"Kenapa Pak?"

"Apa kamu sudah mengecek semua dokumen kemarin?"

"Sudah Pak, dan semuanya sudah saya kerjakan. 80% mereka menyetujuinya. Sisanya hanya tinggal tanda tangan persetujuan anda." balasnya tersenyum ramah, 'si bodoh ini, apa tidak lelah selalu memanfaatkan tali persahabatan? Ingin ku cincang rasanya' umpatnya dalam hati.

Buk!  

"Kerjakan itu. Ambilkan dokumen kemarin"

"Anjing" umpatnya.

"Kau mengatakan sesuatu?"

"Ahh tidak kok pak, hehe." lio tersenyum lebar.

Padahal dalam hatinya sudah banyak sumpah serapah. Ia mengambil dokumen kemarin dengan kasar, dan kembali dengan senyum sumringahnya.

"Ini pak."

"Baik, pergi sana."

Lagi-lagi Lio tersenyum lebar. Sepertinya ia harus meminta lebih banyak lagi kesabaran kepada Tuhan untuk menghadapi sifat menyebalkan bosnya.

Bruk brak!

"Kau kenapa?"

"Ah.. Tidak kok pak, itu tadi kursi saya keseleo"

"Lelucon lucu, terimakasih Lio"

"Daritadi kek bilang makasih, kenapa harus dipancing dulu biar peka." 

Lio mendengus, jika bukan sahabatnya, sudah sejak lahir ia melempar wajah rupawan edgar dengan popok.

Mereka bekerja di satu ruangan. Liontria Requeen Zeffalo berada disebelahnya. Hanya saja berbeda meja. Dengan alasan Edgar ingin melihat cara kerjanya bagus atau tidak. Lio benar-benar tak habis pikir dengan sifat aneh manusia sebelahnya.

『••✎••』

   
"Daddy?"

"Ada apa ini?"

Gaby meringis karena pergelangannya mulai memerah.

'Shh.. Sialan ni om-om! Kuat banget tenaganya'  

Gaby menelisik pria bertubuh besar dihadapannya ini. Proporsi tubuhnya tak jauh beda dengan ayahnya.

"Hey son, ingat rumah?"

Gibran menyeringai. Yang hanya dibalas tatapan datar saja.

"Hm."

'Mampus lo kadal gurun! Dibales ham hem doang awokwok' inner gaby.

Gibran terkekeh, selalu seperti ini. Anak pertamanya sangat dingin dan tak tersentuh.

"Istirahatlah, daddy memiliki urusan yang belum selesai."

Mata elang pria itu seketika menatap bocah kecil yang sedang cekikikan tak jelas dibelakang daddy nya.

Apa dia gila?

"Maksudnya dia?"

"Seperti yang kamu lihat son"

"Kalau begitu aku saja, sudah lama aku tak bermain daddy."

Deg...

"Pstt.. Tuan!"  

Gaby terlonjak. Ia merutuki bubu yang muncul tiba-tiba di pikirannya. Tapi kenapa? Tumben sekali.

"Ngagetin aja si! Kenapa?" 

"Anda harus berhati-hati dengan pria itu."

"Maksudnya yang sama daddy?"  

"Iya tuan." 

Gaby berpikir sejenak. Ia menebak-nebak alur scane ini. Awal pertama dia masuk ke dalam novel alurnya masih baik-baik saja. Namun karena perubahan ada sedikit yang masih abu-abu.

Sistem menyuruhnya untuk berhati-hati pada pria itu. Tapi dia seperti tak asing dengan melihatnya, karena sifatnya yang mengingatkan pada salah satu karakter antagonis novel ini.

Dingin, tak tersentuh.

"Victor Lu Cuvier Dewatara, kamu yakin dengan itu?"

"Yes Daddy"

Deg...

Bodoh bodoh bodoh! Ia merutuki dirinya yang begitu lemot. Kenapa ia bisa lupa dengan kakak pertamanya? Victor, iblis berdarah dingin. Karakter yang sangat ia benci.

BRUK! 

"Daddy serahkan padamu, aku sudah muak dengan anak haram itu."

"Of course"

Gaby meringis karena dilempar ke lantai, dengan rasa tak bersalah Gibran meninggalkan mereka berdua. Victor menyeringai, wajah melas itu sangat lucu. Pikirnya.

"Mari kita bermain adik manis~"

Gaby merinding, itu terdengar bukan sebuah ajakan. Tetapi panggilan kematian.

Lebay   

Ia segera bangkit dan berlari. Namun kecepatannya kalah dan berakhir diangkut layaknya karung beras.

"LEPASIN BANGSAT! LEPAS AKHH!"

"Diam. Atau kurobek mulutmu?"

"SIALAN ANJING! LO PIKIR GUE TAKUT HAH?! TURUNIN GUE BANGSAT! JANCOOOK!"

Vic tak peduli. Yang ia pikirkan hanyalah bersenang-senang dengan caranya. Dia sangat beruntung ketika datang sudah disuguhi pandangan tadi.

Mereka sampai diruangan dengan nuansa hitam. Vic menguncinya, ruangan ini kedap suara.

BRUK!! 

"ANJ— Daritadi gue dibanting-banting mulu! Dikiran barang kali. Untung empuk."  

Biarpun empuk gaby terus meringis, kepalanya pusing karena digendong tak manusiawi.

Vic tersenyum tipis. Memperhatikan bocah itu yang sedang panik. Ekspresinya sungguh lucu, rasa takut, bingung, dan marah menambah kesan manis pada sosok mungil itu.

Segera gaby bangkit, namun tertahan karena Victor tiba-tiba menindih nya. Menahan tangannya disisi kepala.

"ANJING! LEPASIN GUE BANGSAT!!!"

"Setelah kutinggal tiga tahun, mulutmu semakin berani ternyata?"

"PSIKOPAT GILA! SINGKIRIN TUBUH KOTOR LU DARI GUE SIALAN!"

Victor tertawa kencang, dan itu menyeramkan dimata gaby.

Jantungnya berdetak 3kali lipat.

Apa gak mati?

"Tidak, sebelum kita bermain sayang."

"TOLOOONG! UGH! LEPASIN TANGAN GUE BANGSAT INI SAKITT!" 

"Sshtt... Jangan teriak sayang, tenggorokanmu bisa sakit."

Wajahnya sudah memerah karena tangis, ya gaby menangis. Karena rasa takutnya mendominasi. Gaby terus berontak minta dilepas. Menatap Victor marah dan takut.

Yang malah mengundang stigma baru di benak Victor.

"T-tolong.. Lepas— hmpphh!"

•To be continued.

Bukan bxb.

GABYARTAWhere stories live. Discover now