•17•

2K 162 12
                                    

Apa yang diharapkan ketika dunia tidak berpihak padamu?

Takdir terkadang membuat iri. Dia berhak memilih siapa saja yang ingin dibahagiakan dan siapa saja yang disakiti.

Apa dunia sejahat itu? Tidak bisa membiarkan seseorang barang sedikit saja untuk bernafas lebih lega?

Kenapa hanya ruang gelap, kosong dan sesak yang disediakan untuknya..

Dia kecil dan rapuh. Bahkan kelahirannya pun menjadi julukan kesialan.

"Bagaimana keadaanmu?"

Di tengah lamunannya Gaby tersentak. Edgar masuk ke dalam kamar dengan nampan berisi makanan.

Ahh.. apa ia harus terbuai oleh sikap manis dari salah satu yang membuat dunia nya sakit?

Gaby tak menjawab, dalam hatinya dia masih was-was dan takut. Bisa saja kan orang ini memecah kepercayaannya? Rasanya takut untuk kembali percaya.

Edgar menghela nafas pelan. Dirinya tau adiknya sedikit terguncang akibat siksaan yang dirinya terima kemarin, Gaby pingsan di pangkuan Daddynya. Dengan wajah khas milik Gibran, datar. Gibran membawa Gaby ke kamar lebih bersih dan baru. Mereka memutuskan untuk memindahkan Gaby ke kamar yang lebih 'Layak'.

Ya, sebetulnya Edgar tidak terlalu membenci sosok rapuh ini. Hanya saja rasanya seperti tidak adil jika adiknya menjadi salah satu pihak yang membuat kesayangannya 'pergi'. Kenapa harus dirinya?

Edgar bukanlah sosok arogan seperti Gibran, Victor atau sifat menyebalkan seperti twins D.

Dia hanya akan diam menyaksikan ketika Gaby mendapat siksaan dari mereka. Ed akan diam tanpa ikut, atau menyelamatkan. Dia hanya akan menjadi bisu dan acuh. Egois.

Edgar duduk di tepi ranjang. Menatap wajah pucat dan sayu milik si kecil.

Jujur Ed merasa tidak tega. Dan kalau boleh, Ed ingin meminta maaf, menurunkan ego, menjadi manusia yang sesungguhnya hanya untuk sang adik tak sedarah.

"Makanlah.."

"..."

Gaby diam, Ed berusaha menahan gejolak kekesalan, tetap bersikap lembut demi menjaga perasaan adik kecilnya.

"Abang mohon makanlah sedikit, dari kemarin kamu belum dapat asupan sedikit pun"

Gaby menunduk, ia duduk di kepala ranjang, menyender dan memilin ujung selimut. Merasa sedikit takut dengan nada lembut namun berat milik Edgar.

Sigh~

Ed memijat pangkal hidung. Adiknya ini keras kepala ternyata.

Srett!

Gaby tersentak ketika Edgar tiba-tiba mengangkat dan mendudukkannya di atas pangkuan lelaki jangkung itu. Edgar melakukan dengan hati-hati ia takut pergerakan cepat dan kasar akan membuat lukanya kembali sakit.

"Tubuhmu seperti kapas, sangat ringan. Maka dari itu kamu harus menghabiskan bubur ini"

Ed menyendok bubur yang diletakkan di atas nakas sampai kasur. Bubur dengan suiran ayam serta bumbu pelengkap terlihat sangat enak.

"Buka mulutmu"

Gaby menggeleng lemah, wajahnya memerah menahan tangis.

"Gak mau hiks abang sakit hiks huaaaa!"

Gaby tak kuat, dia menangis keras. Seakan menumpahkan semua rasa sakit yang ia tahan. Ed berdiri lalu menimang sang adik agar tenang.

"Sshhtt.. tenanglah abang disini" bisiknya pelan. "Apa seperti ini rasanya menimang bayi?" -batinnya.

Gaby memeluknya erat, gak tau pokoknya sekarang yang dia mau hanya pelukan!

Dia gak peduli sama air mata dan ingus yang menempel di kemeja abangnya.

"Hiks.. Abang sakit.. punggung adek perih hiks hiks!"

Tangan besar Edgar menepuk pelan pantat si kecil, ia tak mau usapan pada punggung akan menambah rasa sakit yang di alami adiknya.

Mendengar tangisan pilu si kecil rasanya membuat hatinya tergores oleh benda tak kasat mata. Edgar merasa sangat bodoh akan semua hal yang membuatnya buta.

Cklek...

Sosok Victor muncul dengan wajah khas datarnya. Mata dinginnya menatap Edgar yang tengah menimang gumpalan gendut yang saat ini tertidur pulas.

"Bagaimana?" Vic bertanya.

Edgar nampak diam sesaat, dia gamang.
"Aku.. tidak tau"

Victor berdecih. Jawaban Edgar seperti tidak ada hasil sama sekali, terlihat bahwa pria 21 tahun itu seakan bimbang dengan jawabannya sendiri.

"Jadi kau mulai luluh? Ingat Ed. Dia terlibat dalam kasus itu"

"Apakah anak usia 5 tahun bisa menjadi sosok pembunuh, Bang?"

Victor bungkam, tangannya terkepal erat dan membuang muka.

Kenapa perkataan Edgar terasa benar adanya? Menampar telak ulu hati bahkan logikanya sendiri. Tapi bukankah siapa saja yang terlibat dalam luka masalalu dia tetap tersangka? Bahkan menjadi sumber masalah.

Victor tetap mempertahankan egonya. Ingin rasanya ia menonjok wajah Edgar adiknya.

"Turunlah, Daddy dan Twins sudah menunggu di meja makan"

Victor pergi.

Ed meletakkan Gaby ke kasur dengan hati-hati. Menyibak rambut lebat itu lembut, sedikit lepek karena keringat.

Wajah manis dan polos milik sang adik sangat menggemaskan, hidung merah, mata bengkak dan bibir mengerucut serta wangi khas bayi dan apel menjadi satu.

Apakah Ed sudah candu? Dadanya seperti tergelitik gemas, padahal anaknya lagi tidur.

Ed mengambil pacifier di dalam laci. Maid sebelumnya sudah menyiapkan semua yang mereka perlukan atas perintahnya. Termasuk pacifier bayi untuk si manis.

Plop!

Gaby menyedot rakus puting silikon tersebut.

Ed sedikit iba karena Gaby belum memakan apapun. Ia mengusap pipi sedikit dingin itu, kenyal dan halus.

"Aku bukan sosok lembut seperti yang terlintas di benakmu.. jangan dulu menyerah."

Cup...



•To be continued.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GABYARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang