Bab 3

28 4 0
                                    

Masih stay ngg nih🥹
Semoga kalian nyaman sama bawaannya.
Klo misalkan ada yg janggal ato salah dlm penulisan, tolong kasih komentar ya🙌🏻

Dengan kalian menginginkan aja, bisa buat aku semangat ngetik🥹

Semoga stay sampe akhir.
Temani Staicy yg harus hidup ama Jonathan yaaa🤤

Temani Staicy yg harus hidup ama Jonathan yaaa🤤

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

Jadi, kalian voter keberapa neeeh?🥹


Sebelum dipindahkan ke kota ini, Staicy selalu membuat dirinya was-was dengan keadaan keluarganya yang memiliki banyak musuh. Pengejaran yang dilakukan berkali-kali pada dirinya, selalu membuat dirinya takut dan mendapatkan keberanian di waktu yang sama. Kalau tidak dirinya, orang terdekat Staicy juga ikut terlibat. Dijadikan sebuah ancaman kala Staicy diusahakan untuk disembunyikan jejaknya. Tidak sedikit juga yang mengorbankan nyawa demi dirinya, hingga Staicy benar-benar begitu disembunyikan dan jejaknya tidak dapat ditemukan hingga berhasil dipindahkan ke kota ini yang jaraknya puluhan mil setelah pemakaman ayahnya.

Beruntung kalau Jonathan bukan salah satu korban penyembunyian dirinya. Pria itu ternyata sempat berkelahi dengan seorang pria saat menemui wanita itu. Dan pastinya, Staicy tidak mengerti apa-apa soal itu. Apalagi saat Jonathan dan Vincent membahasnya.

"Kenapa tidak diterima saja, sih? Lagipula katanya itu hadiah karena kau menjadi anak teladan di tempat kerja. Kalau tidak, tidak akan seperti ini juga," racau Vincent kala menyuapi bubur sebagai pengganjal perut Jonathan pagi ini.

"Salahnya juga. Keras kepala." Jonathan tidak ingin disalahkan dengan kejadian yang sudah menimpanya semalam.

"Dia menyukaimu. Kau saja yang tidak peka sejak awal." Vincent menyendok lagi bubur ke dalam mulut Jonathan.

"Aku menyadarinya. Hanya saja tidak mau punya hubungan dengan orang seperti dia." Jonathan menegaskan kalimatnya. Wajahnya terlihat masam walaupun wajahnya babak belur. Kerutan di dahinya terlihat menggambarkan dirinya sedang kesal.

"Memang apa salahnya?" Bukan Vincent namanya kalau tidak terus berbicara dengan kawannya yang terlihat sangar ini. Sejauh ini, memang dirinya belum tahu apa alasan Jonathan tidak pernah menerima gadis yang sedang dibicarakan itu.

"Sudah, jangan dibahas. Aku muak." Jonathan tampak mengalihkan matanya dari Vincent dan melihat ke arah jam dinding. "Kau harus bekerja, Vin."

Vincent menghela napasnya ringan. Kepalanya mengangguk, mengiyakan ucapan temannya. "Ya sudah, aku pergi." Vincent beranjak mengambil topi baseball putihnya dan berjalan keluar. Sebelum menghilang dari ambang pintu, ia sempat berkata pada Staicy. "Dia rada sensitif saat ini. Jangan banyak bicara pada pria itu." Senyum di akhir kalimat pria itu tidak lupa dilihatkan sebelum wajahnya menghilang dari balik pintu.

Boxer CampOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz