Chapter 2 | Shape Of Devotion

103 29 14
                                    

				RUE ELEON—murid perempuan dari Panglima Ash Carina—adik perempuan Ratu Ashantra—kini merasakan sesak menjalari dadanya tanpa ampun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

RUE ELEON—murid perempuan dari Panglima Ash Carina—adik perempuan Ratu Ashantra—kini merasakan sesak menjalari dadanya tanpa ampun. Seusai mengejar Allen menyusup ke dalam Istana Dantair Ferosca Selatan, dirinya mendapati ratusan mayat prajurit kerajaan bergeletakan bersimbah darah merah dan nila di sepanjang koridor menuju aula utama. Bercak darah, bau amis, beserta properti yang rusak berceceran memenuhi lantai. Tiada seorangpun yang tengah berjaga dalam sepanjang perjalanan memasuki bangunan tersebut.

Semua orang telah mati.

Kemudian, ia menemukan Allen di aula singgasana—terduduk—tengah menumpu kepala sosok putri bungsu dari Raja Hecanos Grey, diam bak patung. Sendirian.

"Yang Mulia ... Noire ...."

Begitu setetes embun bening jatuh dari kelopak mata Rue, gadis berambut seputih susu tersebut tersentak. Sepasang netra yang identik ras vampir itu kontan membulat nanar. Pergerakan tubuhnya menjadi melambat seusai menatap mayat perempuan di sekitar Allen, di saat bersamaan Mana aneh terasa merambat cepat dari belakang punggungnya.

Seseorang datang, melesat memburu mereka.

Chapter 2

Shape of Devotion
◇───────◇───────◇

10 Tahun kemudian.


Sebuah istana penuh darah dan mayat bergelimpangan seketika beralih tempat menjadi sebuah makam sederhana di suatu tempat, dalam keadaan kuyup oleh hujan sekaligus langit yang meredup kehilangan mentari. Senoire Heragrey. Kira-kira begitulah batu nisan tersebut tertulis. Amber tetap menatap makam di hadapannya dengan tatapan kosong. Entah mengapa, bayang-bayang asing seperti ini selalu muncul secara acak, dalam bentuk mimpi pula ingatan. Sejak awal, ia merasa baik-baik saja, tetapi ternyata tak berlangsung lama.

Tubuhnya tiba-tiba sulit bergerak, napas terasa sesak, juga ia mencium bau tanah dan lumpur. Lalu, dunia seakan dibungkus kain gelap. Perlahan-lahan Amber tak lagi mampu mendapati makam atau istana asing sebelumnya. Semua serba hitam legam. Apa mata gadis itu sudah buta? Lantas, kedua kaki yang masih terasa bebas dipaksa melangkah cepat. Semakin Amber berlari, semakin kekangan asing pada tubuhnya mengendur.

Lalu, pandangannya diarahkan ke bawah.

Penasaran mengapa pergerakan gadis itu sukar dikendalikan, ia kemudian mengangkat kedua tangan. Menyaksikan pemandangan satu arah pada anggota badan sendiri.

Seluruh tubuhnya terikat kusut oleh ratusan benang semerah darah.

Sejenak terkesiap sekaligus nanar, Amber kalang kabut mendongak ke depan. Kali ini dirinya menangkap setitik cahaya oranye—seperti api di atas lilin—lalu tanpa pikir panjang sontak saja ia dekati. Meski dalam beberapa langkah kaki sosok tersebut nyaris tersandung, dorongan untuk bersikeras berlari padanya tidak sesekali menyurut. Benar saja, itu adalah api. Berukuran sebesar kepalan tangan, berkedip tak tenang seakan Amber membawa serta embusan semilir angin. Belum selesai di sana, Amber pun mendapati patung seorang pemuda asing menadahkan api itu sembari tertunduk.

The Ethereal: Quintessence of SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang