17

3.4K 462 47
                                    

Selesai tugas jaga IGD, Bilal bergegas pulang. Perjalanan ke rumah hanya butuh waktu kurang dari setengah jam sebenarnya, tapi Bilal memilih tinggal di apartement yang berjarak tempuh lima menit dari rumah sakit.

.

Ayah, bunda, dan kedua adiknya ada di ruang keluarga.

"Dikunci, Yah, kamarnya?" tanya Bilal setelah mengecup punggung tangan kedua orang tuanya.

Hardian menggeleng. "Mau sendiri katanya."

"Biar aku yang jelasin," ucap Bilal lalu langkahnya mengayun menuju arah tangga.

.

Bilal agak ragu untuk membuka pintu kamar itu. Dia sendiri sebenarnya tidak tahu harus bagaimana memberikan penjelasannya. Padahal Bilal biasa menjelaskan tentang penjabaran penyakit yang pasiennya idap, bahkan pasien-pasien yang mengidap penyakit terminal, tapi di depan keluarganya dia tidak bisa, waktu itu juga Dokter Nirwan yang menjelaskan secara rinci tentang penyakit Rion kepada kedua orang tuanya, Bilal tidak bisa. Sepanjang mengemudi dia memikirkan dari titik mana dia harus menjelaskannya kepada Rion. Sejak kejadian Rion, bahkan Bilal menjadi sedikit merasa trauma, kadang sampai berpikir: apa ini karma untuknya yang selalu menyampaikan penjelasan tidak menyenangkan kepada pasien?

Cita-cita Bilal menjadi seorang dokter didasari oleh keinginannya agar bisa mengobati banyak orang yang sedang sakit, tapi dia tidak pernah punya keinginan untuk mengobati keluarganya. Bilal tidak mau ada anggota keluarganya yang sakit.

Setelah mengembuskan napas panjang, tangannya terangkat meraih gagang pintu. Didorongnya pintu dengan pelan. Ruangan kamar itu kosong dengan pintu menuju balkon yang sedikit terbuka. Kaki Bilal mengayun ke arah sana. Sedang apa anak itu di luar? Ini sudah hampir pukul 22.00 WIB.

Angin malam yang berembus terasa dingin menyapa kulit Bilal.

Rion duduk di kursi yang ada di sana, sedang memeluk lutut. Dia langsung mengusap-usap kasar pipi saat menyadari ada yang menghampiri.

"Kita ngomong di dalem," ucap Bilal, memecah hening yang sejak tadi menemani Rion.

Mengi samar terdengar menyelingi tarikan napas pendek itu. Tangan Rion memegangi inhaler. Dia memakai kaos pendek di tengah dinginnya embusan angin malam.

"Yong, kita ngomong di dalem," Bilal mengulangi.

Rion menoleh. Matanya merah dan dia tampak bernapas dengan mulut.

"Lo brengsek. Lo sama Erlin baik karena gue mau mati," ucapnya.

Nada suara Rion tidak tinggi, tapi tatap matanya tajam. Dia terbatuk-batuk dan terlihat tambah kepayahan dalam bernapas.

"Yong, ayok ke dalem dulu."

Bilal melangkah, meraih lengan Rion.

Rion menarik lengannya agar tangan Bilal terlepas.

"Lo bilang waktu itu kemungkinan bakal ada efek jangka panjang buat Gazza karena kecelakaan itu. Tapi kenapa ternyata jadi gue yang ngalamin jangka panjangnya?"

"Yong, biar gue jelasin di dalem."

"Karena kelainan genetik? Hah? Kalo gitu, kenapa gue yang kena? Yang anak pertama, kan, Erlin, terus elo. Kenapa jadinya gue yang kena?!"

Suara Rion akhirnya meninggi, diikuti dengan napas yang jadi terengah. Sesak karena emosi dan batuk-batuk, semakin mempersulitnya.

Rion mengocok inhaler dan hendak menghirup, tapi tangan Bilal mencekal pergelangan tangannya, menarik paksa Rion sampai terbangun dari kursi.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang